Padang, Padangkita.com - Viralnya berita penolakan Ustad Abdul Somad (UAS) saat berkunjung ke negara Singapura masih jadi perbincangan hangat di kalangan netizen. UAS yang setelah diperiksa pihak Imigrasi setempat yang berujung dideportasi ke Indonesia menuai pro dan kontra, namun lebih banyak yang menolak kebijakan negara petro dollar tetangga muda Indonesia tersebut.
Fakta rumitnya masuk ke negara Singapura ternyata banyak juga dialami masyarakat Indonesia, sekalipun hendak berlibur dan menyumbang pendapatan negara tersebut. Seperti yang dialami Hendri Burhan, seorang warga Provinsi Riau.
Bagaimana kisahnya, berikut tulisan lengkap Hendri Burhan yang dilansir Padangkita.com dari accouunt Facebook yang bersangkutan.
KAPOK KE SINGAPURA
Oleh: Hendri Burhan
Ketika berita UAS dideportasi Singapura viral sejagad maya, seketika saya teringat kembali kenangan buruk di Pulau Tumasik itu akhir tahun 2019 lalu. Saat itu kali pertama saya ke Singapura via penyeberangan laut dari Sekupang Batam. Ngapain saya ke sana? Jalan-jalan, bersama rombongan guru-guru sekolah saya mengajar di SMPN 2 Bangkinang Kota.
Sudah menjadi tradisi sekolah kami jalan-jalan tiap tahun ke berbagai tempat, Jogja, Bali, Lombok, Malaysia, Singapura sudah jadi agenda rutin. Perjalanan ke Malaysia Singapura ini sudah beberapa kali diadakan sekolah, namun baru kali itu saya ikuti.
Terus terang saya tak begitu tertarik ke Singapura, tetapi karena perjalanan ini sepaket juga dengan ke Malaysia, saya jadi berminat. Terlebih saya sangat penasaran dengan Genting Highland, negeri di atas awan itu. Singapura hanya menawarkan wisata buatan, tidak alami, dan mahal pula. Paling-paling yang murah hanya Merlion, patung singa menyemburkan air dari mulut itu yang diuber-uber turis negeri +62. Makanya jika Anda melihat banyak teman-teman memposting foto di patung itu, nggak usah kagum-kagum amatlah ya, hehe...
Oke, kembali ke masalah. Begitu sampai di pelabuhan Singapura, saya dan ratusan orang lainnya langsung antri di bagian imigrasi untuk diperiksa segala kelengkapan. Meskipun tertib, antrian itu luar biasa panjang dan berputar-putar. Lalu tibalah giliran saya, tanpa prasangka apa-apa saya memberikan paspor dan KTP seperti yang lain. Petugas itu menatap lama ke dokumen saya dan menatap tajam ke saya, dan tiba-tiba ia memanggil seorang petugas. Entah apa yang mereka katakan, petugas itu menghampiri saya dan langsung dibawa ke luar antrian.
Meski keheranan dan bingung, saya patuh saja berjalan di lorong yang cukup panjang, dan tiba di sebuah ruangan yang berisi beberapa petugas berseragam. Setelah semua dokumen dan dompet saya diambil paksa, saya dimasukkan ke dalam sebuah ruangan kecil yang ternyata ada 10 orang Indonesia lain di dalamnya. Petugas itu menutup pintu yang handelnya cuma satu dan ada di luar.
Saya paham, ada masalah, namun sebisanya saya tenang seperti separuh yang lain. Sisanya gelisah, kebelet buang air, dan mengomel. Pintu dibuka selang beberapa menit untuk memanggil kami satu persatu bergiliran, lalu ditutup lagi. Secara naluriah, kami saling berbicara tentang apa yang terjadi. Ternyata nama kami yang jadi masalah. Sepertinya Singapura amat paranoid dengan nama berbau arab, dan rata-rata yang ada dalam ruangan itu bernama sejenis itu.
Lah, saya? Nama saya kan nggak berbau Arab? Apa salah saya? Saat dipanggil keluar, saya diinterogasi oleh petugas muda belia yang dengan entengnya berkamu-kamu ke saya. Satu pertanyaan saya kembali ke ruang isolasi, dan beberapa menit kemudian dipanggil lagi dengan pertanyaan kedua, begitu seterusnya. Nelangsa rasanya, sejak kecil saya adalah warga yang taat hukum, jangankan polisi, berurusan dengan hansip saja tak pernah, tahu-tahu kini saya diinterogasi petugas imigrasi di negeri asing. Mimpi apa saya?
Berjam-jam saya dalam ruangan itu, dehidrasi, emosi, dan pasrah berbaur jadi satu. Begini rasanya jadi pesakitan, terhina rasanya, padahal di seberang sana saya adalah guru, dihormati, dan tak pernah macam-macam. Interogasi berikutnya saya menjawab dengan lebih lantang dan dengan tatapan menantang, karena mereka juga bertanya dengan setengah membentak tanpa ada sopannya.
“Mengapa kamu ke Singapura?” tanya si petugas mata sipit.“Saya hanya lewat di negara kalian, mau ke Malaysia,” jawab saya.“Kenapa tidak ada uang dolar singapura di dompet kamu?”“Sudah saya katakan saya ke Malaysia. Tidak menginap di sini. Saya bersama rombongan travel yang sudah berjam-jam menunggu saya di luar.
”“Bagaimana kamu mau makan nanti?”“Sudah diatur biro travel saya.”“Apa kerjamu di Indonesia?”“Saya guru, sudah mengajar 25 tahun.”
Kembali saya ke ruang isolasi, mulai stres berpikir kapan ini selesai. Seperti paham yang saya rasakan, wanita di sebelah saya berkata menenangkan.
“Tidak usah cemas, Pak. Saya tiap bulan bolak-balik ke Singapura, dan selalu ke ruangan ini dulu. Ya begini pula cara mereka, kita bisa apa?”
Saya mengangguk berterima kasih. Kemudian saya dipanggil lagi, dan nampaknya ini interogasi terakhir karena separuh dari kami sudah dilepas. Petugas itu tak berbicara, ia hanya menaruh kembali dompet, paspor, dan KTP saya di antara kami, dan saya paham ia menyuruh saya mengambil barang-barang itu. Saya dengan berani bertanya, “Ada lagi yang kalian tanyakan?”
Ia menggeleng tanpa memandang saya, dan saya pun balik kanan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, keluar dari ruangan itu, berjalan sendiri di lorong yang panjang, yang ujungnya sudah menunggu guide kami dengan tatapan lega.
“Alhamdulilah, kami di luar semuanya sudah risau, Pak,” katanya.“Berapa lama saya di dalam tadi?” “Tiga jam, Pak.”
Tiga jam! Hanya butuh tiga jam untuk merobek-robek harga diri yang susah payah dijaga seumur hidup, di sebuah negeri yang besarnya hanya sepersekian ribu persen dari Indonesia Raya. Saya sudah tak berselera lagi dengan bekas koloni Inggris ini, bahkan ketika teman-teman berebutan selfie di patung singa itu, saya hanya berdiri melihat dari jauh. Bagi saya sudah cukup, takkan dua kali saya menginjakkan kaki di negara ini.
Bangkinang, 18/5/2022
Tulisan Hendri Burhan telah dibagikan ratusan pengguna Facebook lainnya dan mendapatkan ribuan komentar. Rerata para netizen menyayangkan sikap Singapura yang sangat tidak ramah terhadap wisatawan, terutama jika memiliki nama yang bernuansa Islam. [*/isr]