Kalau idealnya jabatan publik diisi oleh seseorang untuk menghadirkan kepemimpinan yang visioner dan transformatif, apa jadinya kalau pemimpin yang mengisi jabatan publik tersebut ternyata belum selesai dengan urusan syahwatnya? Mungkinkah hal itu akan terwujud? Malangnya, kenyataan semacam inilah yang terbaca dalam putusan perkara permohonan poligami yang diajukan oleh salah satu wakil bupati di Sumatra Barat lewat putusan perkara nomor 543/Pdt.G/2021/PA.LK, yang diajukan di Pengadilan Agama Tanjung Pati.
Adapun dalil yang dibawa untuk mendapatkan restu poligami dalam perkara tersebut tergolong berbahaya. Terutama dalam memosisikan perempuan, anak, dan memandang institusi pernikahan. Sebuah potret nyata mengakarnya patriarki atau bapakisme dalam cara berpikir dan bersikap manusia.
Wajah Patriarki
Secara sederhana patriarki atau bapakisme bisa diartikan sebagai sistem, nilai, tradisi, sikap atau pemikiran yang mengutamakan laki-laki. Oleh Simon de Beauvoir (1949) disebut sebagai jenis kelamin kedua–akibat selalu dinomorduakan dalam berbagai hal, karena adanya upaya demestikasi peran perempuan sebatas urusan domestik. Serupa pameo yang akrab di kuping orang Indonesia, kalau perempuan itu urusannya sebatas “dapur-sumur-kasur, bekerja dari terbitnya matahari hingga terbenamnya mata bapak”.
Hal ini lah yang tergambar sangat jelas dari dalil yang dimohonkan oleh sang wakil bupati sebagai pemohon. Setidaknya kita patut untuk percaya, bahwa apa yang disampaikan merupakan sebuah kejujuran. Sebab ketika berurusan dengan pengadilan, rasanya tidak ada orang yang datang untuk mempermalukan dirinya sendiri. Dengan begitu, apa yang didalilkan tentu merupakan sebaik-baiknya alasan yang dimiliki. Index animi sermo. Dalam bahasa Indonesia adagium tersebut berarti, “cara seseorang berbicara menunjukkan jalan pikirannya”. Dan dari permohonan wakil bupati tersebut, kita mampu membaca jalan pikiran patriarkinya.
Pemohon menyatakan bahwa, “pemohon merasakan bahwa menikah dengan dua istri tersebut adalah kebutuhan. Pemohon selalu bekerja keluar daerah dengan intensitas tinggi. Apabila pemohon tidak menikah dengan dua istri maka pemohon khawatir untuk terjebak dalam perbuataan yang dilarang agama (zina)”. Kemudian dilanjutkan oleh pemohon, “termohon karena sudah memiliki tiga anak tidak bisa mendampingi pemohon dalam setiap urusan pekerjaan pemohon. Maka dengan niat menjaga diri dari perbuatan zina, dan untuk membangun rumah tangga yang samara, pemohon memutuskan untuk menikah lagi pada tanggal 5 April 2018”.
Argumentasi untuk poligami tersebut cukup untuk menjelaskan bagaimana kompleksitas permasalahan patriarki atau bapakisme pada diri pemohon. Tanpa bermaksud mengukur tebal dan tipisnya keimanan, entah sadar atau tidak sadar pemohon telah mengakui kalau beliau adalah orang yang mudah tergoda untuk berbuat zina. Oleh karena itu ia ingin selalu didampingi oleh istri.
Akan tetapi di sinilah letak persoalan utamanya. Sudut pandang pemohon hanya melihat peran istri sebatas media pelampiasan hasrat seksual agar terhindar dari zina. Kemampuan istri untuk selalu mendampingi pemohon berbanding lurus dengan kemampuan keterhindaran pemohon dari perbuatan zina. Ada objektifikasi dari cara berpikir ini, di mana melihat ketersediaan istri pemohon untuk menjadi pelampiasan hasrat seksual. Ini adalah bentuk perendahan terhadap peran perempuan dalam sistem sosial.
Persoalan lainnya juga disebutkan, agar membangun rumah tangga samara. Sudut pandang dan cara berpikir pemohon seolah mengatakan terlampiaskannya hasrat seksual adalah cara agar terwujudnya keluarga samara. Pemohon tanpa sadar telah mengerdilkan keberadaan institusi pernikahan atau rumah tangga sebatas urusan hubuang seksual semata. Dan itu tergantung ada atau tidaknya istri mendampingi dalam arti upaya domestikasi. Domestikasi perempuan secara sederhana merupakan upaya pengiburumahtanggaan, atau suatu paham yang menempatkan perempuan sebagai makhluk yang hanya berperan dalam urusan kerumahtanggaan saja, dalam hal ini pendamping suami semata.
Di sisi lain pemohon ikut mendalilkan, memiliki tiga orang anak membuat istri pertamanya (termohon) tidak dapat selalu mendampingi. Hal ini secara implisit menegaskan ketertundukan pilihan termohon atas keinginan pemohon. Selain juga membentuk sebuah stereotip tanggung jawab dalam berumah tangga perihal keberadaan anak sebagai konsekuensi adanya pernikahan. Bahwa konsekuensi memiliki anak hanyalah konsekuensi domestik istri, dan itu tidak berimplikasi kepada suami. Jika mau lebih keras menyimpulkan, maka pemohon hanya tidak menyebutkan kalau dengan adanya tiga orang anak hasrat seksual pemohon jadi terhalang.
Baca juga: Seorang Wakil Bupati di Sumbar Ajukan Permohonan Poligami ke Pengadilan Agama
Wajah patriarki yang ditampilkan oleh pemohon dalam permohonan poligaminya kepada termohon sangat amat mengkhawatirkan. Selain tidak selesai dengan dirinya sendiri, pemohon akan sulit menciptakan kepemimpinan yang visioner dan transformatif, karena ia masih terjebak dengan urusan-urusan domestik. Sulit untuk berharap akan adanya perubahan, terutama dari sisi keadilan sosial. Sebab ada wajah patriarki dalam watak kepemimpinannya, dan patriarki adalah potret ketidakadilan perilaku dan cara berpikir itu sendiri. (*)
Penulis: M Nurul Fajri, Penulis Neo-Ibuism in Indonesian Politics: Election Campaigns of Wives of Regional Heads in West Sumatra in 2019.