Padangkita.com – Tepat 60 tahun lalu, pada 15 Februari 1958, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) resmi dideklarasikan di Padang, Sumatra Barat, dulu dikenal Sumatra Tengah.
Gerakan ini, dianggap pemerintah Sukarno sebagai gerakan makar yang memberontak pemerintahan pusat. Padahal, PRRI adalah sebuah gerakan aspirasi oleh para pejuang kemerdekaan di daerah yang menuntut otonomi lebih luas dari pusat.
Baca juga:
Mula PRRI
Lagu Minang Bercita Rasa PRRI
Sayangnya, deklarasi PRRI di Padang yang didukung oleh wilayah Sumatra Utara dan Selawesi Tengah ditanggapi Sukarno dengan mengirim pasukan dan militer ke Sumatra Barat. Penyelesaian secara militer.
Suryadi Sunuri, Dosen dan Peneliti Universitas Leiden, Belanda menuliskan dalam blog pribadinya soal pertentangan daerah terhadap pemerintahan pusat, atau kekal dikenal sebagai PRRI itu.
“Tak lama setelah para lelaki parlente dalam foto di atas mendeklarasikan PRRI, Presiden Soekarno mengirim mesiu, mitraliur, bom, dan Yani beserta anak buahnya yang sudah digosok ketiak mereka dengan tarason ke Sumatra Barat. Tentara Jawa merangsek ke darek tanpa tertahankan, membunuhi para lelaki Minangkabau, membuat banyak lelaki lainnya ijok ke hutan – hutan, dan mempelasah para wanitanya. Sampai lama kemudian, gigil ketakutan, walau makin sayup, masih mengalir dalam sel – sel otal dan darah orang Minangkabau,” tulisnya, dikutip Padangkita.com, Kamis (15/2/2018).
Ia menyampaikan bahwa gerakan PRRI itu telah menaburkan pilu dan darah di Ranah Minang. Sekaligus, yang tersisa dari peristiwa itu hanyalah keperihan yang mendalam.
Padahal, Minangkabau sebelumnya, adalah tanah lahirnya para pemikir yang paling berjasa mendirikan negara Republik Indonesia.
Dalam wacana akademis, imbuh Suryadi, para sarjana masih berdebat tentang apakah PRRI adalah aksi makar atau koreksi terhadap pemerintahan pusat (Sukarno) ?
Yang jelas, PRRI dikumandangkan oleh para pejuang bangsa yang kecewa terhadap pemerintah pusat, sehingga menuntut otonomi lebih luas.
Otonomi ini penting agar pembangunan di daerah lebih merata, dan dirasakan oleh masyarakat di seluruh pelosok negeri. Apalagi, Indonesia adalah negara yang sangat luas, yang memiliki lebih dari 17.000 pulau.
Akhirnya, perjuangan PRRI yang menuntut otonomi lebih luas baru terwujud setelah lahirnya reformasi 1998.
Lalu, siapa saja para tokoh yang memperjuangkan otonomi melalui PRRI itu ? dari foto yang diambil jurnalis asing James Barke di Padang pada 1958, mereka terdiri dari, berdiri di latar depan Kolonel Dahlan Djambek (Menteri Pos dan Telekomunikasi PRRI), dan Burhanuddin Harahap.
Kemudian, Letkol Ahmad Husein (dua pimpinan yang memimpin Dewan Revolusi PRRI), Sjafruddin Prawiranegara (Perdana Menteri PRRI), Maludin Simbolon (Menteri Luar Negeri PRRI), dan Mohammad Sjafei (baju putih, Menteri PP&K dan Kesehatan PRRI).
Sjafruddin Prawiranegara lahir di Serang, Banten pada 28 Februari 1911 dan meninggal dunia di Jakarta pada 15 Februari 1989 dalam usia 77 tahun.
Ia adalah pejuang kemerdekaan, pernah menjabat menteri dan gubernur Bank Indonesia, Wakil Perdana Menteri dan pernah menjabat Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Juga Perdana Menteri cabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Letnan Kolonel Ahmad Husein lahir di Padang pada 1 April 1925 dan meninggal pada 28 November 1998. Ia adalah pejuang dan dikenal sebagai pimpinan PRRI.
Lalu, Kolonel Dahlan Jambek lahir di Bukittinggi pada 1925 dan wafat di Bonjol pada 29 September 1961 dalam usia relatif muda 36 tahun. Ia juga dikenal sebagai pejuang PRRI.
Kemudian, ada Burhanuddin Haharap yang lahir di Medan pada 1917 dan meninggal di Jakarta pada 14 Juni 1987, dikenal sebagai Perdana Menteri ke 9 RI yang memerintah dari Agustus 1955 hingga Maret 1956. Ia kemudian juga dikenal sebagai pimpinan PRRI.