Gempa Padangpanjang 1926 dan Respons Beraroma 'Tahayul'

Gempa Padangpanjang 1926 dan Respons Beraroma 'Tahayul'

Kerusakan Pasar Serikat Padangpanjang Batipuh X Koto akibat gempa 28 Juni 1926. (Foto: KILTV-Media)

Padangkita.com - Minggu, 13 Agustus 2017, sekira pukul 10.08 WIB, tiba-tiba bumi Sumatera berguncang, mengayunkan secara horizontal pelbagai bangunan. Seketika warga Kota Padang berhamburan keluar rumah, mencari tempat lapang jauh dari bangunan.

Gempa itu begitu terasa di Kota Padang. Wajar, mengingat gempa berhulu di 75 km Bengkulu Utara, dengan episentrum berpusar di kedalaman 10 km. Pantas, jika kiranya hentakannya terpapar kuat hingga ke Sumatera Barat.

Secara historis, gempa bukan perkara baru menyapa Padang, atau lebih luas lagi Sumatera Barat. Berkali-kali, dengan cara sama; datang tiba-tiba, dan mengejutkan.

Paling diingat generasi hari ini tentu saja gempa 30 September 2009. Kejadian sore ini, berdampak di tujuh kabupaten dan kota di Sumatera Barat.

Sekira 1.175 orang meninggal dunia, ratusan ribu orang cidera, dan tentu saja ratusan ribu rumah rebah.

Bagaimana pun gempa adalah peristiwa bencana yang datang tiba-tiba, tanpa bisa dipastikan secara persis. Responsnya semakin kesini, mungkin sedikit bijak dibanding masa lalu.

Sederhananya, getaran horizontal atau kadang vertikal sekian detik, maka akan langsung berpikir itu gempa. Seterusnya, mereka yang merasakan langsung berhamburan menjauh dari bangunan.

Gempa yang memiliki riwayat panjang di Sumatera Barat, punya cerita tersendiri dalam hal respons.

Gempa 1926 yang berpusat di Padangpanjang, tidak seperti sekarang, sebagian masyarakat kala itu memaknainya berbeda.

Senin, 28 Juni 1926, sekira pukul 10.00 pagi. Muhammad Radjab yang berusia 13 tahun kala gempa terjadi, sedang bermain dengan teman sebayanya di Sumpur, 14 km dari Padangpanjang.

Dia dan juga temannya mengira ada komet yang jatuh ke sisi lain bumi, menghancurkan Amerika, dan getarannya sampai di Sumatera.

Momen nalar ilmiah semasa kecil ini tidak tahan lama ketika meringkuk bersama orang-orang lain di dalam surau dan kabar yang berhembus bahwa Padangpanjang telah hancur.

Saat gempa mengguncang itu, Radjab mengingat, ayahnya mengatakan bahwa dunia memasuki kiamat.

“Dia menasehati orang-orang kampungnya di Nagari Sumpur, yang sedang meringkuk di surau agar bertawakal,” tulis Radjab dalam buku otobiografinya Semasa Ketjil Dikampung.

Kiamat dianggap sebagai konsekuensi dari semakin banyaknya manusia melakukan kejahatan dan perbuatan dosa lainnya.

Radjab mengingat, orang-orang kampungnya ketakutan, langsung mengumandangkan takbir atau seruan minta pengampunan kepada Tuhan.

Kejadian gempa ini sedikit banyaknya mengusik sisi regilius masyarakat Sumpur, dengan gambaran sesaknya surau sewaktu shalat zuhur.

Menafsirkan catatan Radjab yang terhimpun dalam buku Semasa Ketjil Dikampung, dikatakan Hadler dalam buku Sengketa Tiada Putus, gempa bumi itu mematahkan cara berpikir ayah Radjab yang cenderung konservatif atau menganggap itu adalah azab, dan sekaligus membenarkan rasionalitas modernis pada saat krisis spiritual.

“Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh gempa berupa penghancuran fisik dan sosial, mengingatkan orang Perang Paderi seabad sebelumnya,” tafsir Hadler.

Dalam kejadian gempa Padangpanjang, kaum tradisionalis masih bersikeras bahwa itu adalah hukuman Tuhan atas orang yang semakin menggandrungi modernitas yang dianggap merusak dan sedang menuju kehancuran.

Paradigma ini semakin kuat ketika melihat kota yang hancur adalah tempat tinggal orang-orang komunis, madrasah-madrasah reformis, dan administrator-administrator kolonial.

Sebagaimana diketahui, Padangpanjang era 1920-an adalah pusat persemaian ideologis. Bukan hanya Islamisme tapi juga komunisme. Perguruan Sumatera Thawalib seakan menjadi pabrikasi ideologis kala itu.

Ahmad Khatib Datuak Batuah menjadi dedengkot dan pengembang komunis di lingkungan Thawalib Sumatera yang menular di sekitar Padangpanjang, bahkan Sumatera Barat.

Datuak Batuah merupakan salah seorang murid kesayangan Haji Rasul yang pada akhirnya menjadi seteru.

Keduanya bersimpangan jalan ideologis; Haji Rasul ulama berpandangan konservatif, menolak keras komunis yang distigmakan anti Tuhan. Sementara Datuak Batuah membawa ajaran komunis di lingkungan Thawalib.

Selanjutnya...

Halaman:

Baca Juga

Bank Nagari Cabang Painan Gerak Cepat Bantu Korban Banjir di Pesisir Selatan
Bank Nagari Cabang Painan Gerak Cepat Bantu Korban Banjir di Pesisir Selatan
Padang Dikepung Banjir, Andre Rosiade Turunkan Tim Bagikan Ribuan Nasi Bungkus untuk Warga
Padang Dikepung Banjir, Andre Rosiade Turunkan Tim Bagikan Ribuan Nasi Bungkus untuk Warga
Curah Hujan Tinggi dan Marapi masih Erupsi, Ini Perintah dan Imbauan Gubernur Mahyeldi
Curah Hujan Tinggi dan Marapi masih Erupsi, Ini Perintah dan Imbauan Gubernur Mahyeldi
Mentawai Rawan Bencana, Pemprov Sumbar Isi Logistik  Lumbung Sosial Senilai Rp386 Juta
Mentawai Rawan Bencana, Pemprov Sumbar Isi Logistik Lumbung Sosial Senilai Rp386 Juta
Sejarah Balai Kota Padang dari Masa ke Masa, dari Kawasan Muaro ke Aie Pacah
Sejarah Balai Kota Padang dari Masa ke Masa, dari Kawasan Muaro ke Aie Pacah
Hari Ini 1926, Padang Panjang Luluh Lantak Dihoyak Gempa dan Danau Singkarak Tsunami
Hari Ini 1926, Padang Panjang Luluh Lantak Dihoyak Gempa dan Danau Singkarak Tsunami