Doktor Ilmu Budaya Unand: Keabsahan Gelar Sangsako Diragukan

Doktor Ilmu Budaya Unand: Keabsahan Gelar Sangsako Diragukan

Salah satu bangunan di Komplek Istano Pagaruyung Tanah Datar (Foto/A. Paderi)

Lampiran Gambar

Salah satu bangunan di Komplek Istano Pagaruyung Tanah Datar (Foto/A. Paderi)

Padangkita.com – Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas (Unand) Hasanuddin mempertanyakan keabsahan gelar sangsako yang beberapa tahun belakangan diberikan oleh lembaga adat ataupun pihak kerajaan di Minangkabau kepada sejumlah tokoh. Ia meragukan keabsahan pemberian gelar tersebut untuk zaman sekarang.

Berdasarkan realitas yang dicermati oleh Hasanuddin, ada dua gelar pada masyarakat Minangkabau, yaitu “gelar biasa” dan “gelar sako”.

“Gelar biasa” adalah gelar yang diberikan kepada laki-laki Minangkabau ketika memasuki masa dewasa, yang ditandai dengan ritual pernikahan. Hal itu sesuai dengan prinsip ketek banamo gadang bagala. Dalam konteks ini, gala adakalanya diberikan oleh ayah/bapak/induak bako atau adakalanya oleh mamak, sesuai dengan ketentuan adat salingka nagari.

Sementara itu, gala sako adalah kekayaan sebuah suku (clan) dan diberikan turun temurun kepada primus interpares mereka ketika dinobatkan menjadi pangulu.

“Lalu, bagaimana dengan gala sangsako yang konon kewenangannya ada pada Raja Pagaruyung? Saya justru mempertanyakan, ‘Apakah masih ada kerajaan tersebut dan apakah gelar dimaksud diklaim sebagai gelar Minangkabau?’ Sebab, Minangkabau yang saya pahami, sejauh ini, adalah sebuah komunitas masyarakat dengan budaya yang khas: matrilineal, hidup bersuku-suku, berkarakter egalitarian, dan demokrastis; bukan masyarakat dengan sistem sosial politik kerajaan,” ujar Hasanuddin saat dihubungi Padangkita.com, Kamis (01/02/2018).

Hasanuddin menerangkan bahwa satuan sosial politik tertinggi di Minangkabau adalah nagari. Nagari didirikan ketika terpenuhi syarat setidaknya empat suku. Sebuah Nagari adalah sebuah “negara demokratis”. Tidak ada lembaga absah yang bersifat “supra nagari”. Ada banyak nagari di Minangkabau, masing-masing otonom, sehingga banyak ahli dan pengamat menyatakan bahwa sistem politik Minangkabau serupa dengan “Sistem Polis” atau sistem “Negara Kota” di Yunani Kuno.

Sistem demokrasi di “Negara Nagari”, lanjutnya, adalah kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, nan bana barajo ka alue jo patuik (bana badiri sandirinyo). Kekuasaan di nagari ada di tangan “karapatan pangulu”, sedangkan “wali nagari” adalah pelaksana eksekutif. Dengan kata lain, kekuasaan bukan pada raja (dalam arti seorang penguasa tunggal), karena yang menjadi raja adalah “mufakat yang berlandaskan kepada kebenaran”.

Selanjutnya, ia menjelaskan ada dua sistem berbeda yang berlaku dan diberlakukan dalam sistem kepemimpinan Minangkabau yang disebut lareh. Ada Lareh Bodi Caniago dan ada Lareh Koto Piliang.  Lareh Bodi Caniago, diciptakan oleh Datuk Parpatih nan Sabatang, sedangkan Lareh Koto Piliang oleh Datuk Katumanggungan. Lareh pertama diidentifikasi berciri demokratis dan yang kedua aristokratis. Walaupun Lareh Koto Piliang berciri aristokratis, tetapi operasionalisasi sistem itu tetap ada unsur musyawarah mufakatnya, tidak dalam bentuk kerajaan yang kita kenal seperti di Dunia Melayu atau di Jawa.

Lalu, di manakah kedudukan raja? Dalam sejarah Minangkabau, kata Hasanuddin, memang ada beberapa kerajaan yang bercokol, terutama Pagaruyung. Namun, faktanya raja tidak berdaulat, walaupun gelarnya misalnya Daulat Yang Dipertuan Agung. Hal itu karena ada Undang-Undang Minangkabau yang menegaskan bahwa luhak bapangulu rantau barajo.

Artinya, Minangkabau itu berbasis pada luhak sebagai daerah inti, dan pada daerah inti itu yang berkuasa adalah pangulu. Dengan demikian, sistem politik yang berlaku di Luhak adalah sistem ‘Negara Nagari’ karena kekuasaan di nagari itu ada di tangan Karapatan Pangulu. Rantau barajo bermakna raja hanya ‘diberi kekuasaan’ (bukan berkuasa dengan sendirinya) di daerah rantau, seperti rantau pesisir Pariaman atau rantau dataran tinggi Dharmasraya, dan lainnya.

“Jadi, kalau pun ada raja (Pagaruyung), keberadaannya hanyalah bersifat simbolik, karena tidak memiliki daulat atas rakyat di luhak. Oleh karena itu, saya tidak bisa menyimpulkan kalau raja demikian adalah Raja Minangkabau. Dari referensi yang saya baca, Adityawarman saja tidak pernah mengklaim bahwa dia adalah Raja Minangkabau,” ujarnya.

Lalu bagaimana dengan KAN dan LKAAM? Sebagaimana yang disampaikannya bahwa dalam sistem sosial politik Minangkabau, nagari adalah satuan terbesar, tidak ada lembaga absah yang bersifat “supra nagari”.  Ketika Minangkabau dijadikan bagian dari sistem pemerintahan lebih besar, terutama NKRI, maka nagari berubah menjadi satuan terkecil setara dengan “desa” di Jawa. Sebagai konsekuensinya, muncullah satuan “supra nagari” berupa kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara. Secara administratif, hal itu sudah tidak ada masalah.

Akan tetapi, nagari adalah juga merupakan sebuah “satuan masyarakat adat”.  Untuk itu, diperlukan sebuah kerapatan adat. Namun, perlu diingat bahwa pada praktiknya, KAN tidaklah persis memerankan fungsi dan peran sebagaimana “karapatan pangulu” dalam sistem banagari nan asali. Menurutnya, LKAAM juga dibentuk untuk mewadahi adanya “lembaga supra nagari” dalam persoalan adat di tingkat kecamatan, kabupaten, dan provinsi.

“Persoalannya, di manakah LKAAM “baurek” dan kemanakah ia “bapucuak”? Bagi saya, jika pemberian gelar sangsako, dengan mengatasnamakan Minangkabau, dan ditujukan untuk kepentingan “politik praktis”, oleh siapa pun, saya menolak. Berpolitiklah untuk kemajuan adat dan masyarakat Minangkabau, tetapi jangan “jual” Adat Minangkabau untuk tujuan politik praktis,” pungkasnya.

Di sisi lain, Budayawan Minangkabau Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto tidak mempersoalkan tentang pemberian gelar sangsako kepada orang tertentu. Syaratnya, seseorang mesti mengaku mamak ke salah seorang penghulu adat di suatu nagari.

“Gelar di bawah penghulu itulah yang akan diberikan. Sebab pemberian gelar itu ada lima macam, yaitu batali aka (bertali akar), batali aia (bertali air), batali ameh (bertali emas), batali budi (bertali budi), dan basuku ka induak (bersuku ke ibu),” ujarnya.

Basuku ke ibu berarti gelar yang diturunkan berdasarkan garis keturunan ibu dan termasuk pusako turun temurun, harus jelas ranjinya. Sementara itu, batalia aia adalah gelar ayah yang diberikan ke anak. Batali aka adalah gelar yang diberikan kepada orang yang bersuku sama, tetapi berbeda penghulu. Kemudian, batali ameh adalah gelar yang diberikan ke orang yang disantuni, tetapi ia mesti mengisi adat ke nagari (membantai seekor sapi atau semacamnya tergantung tingkat ekonomi). Adapun batali budi adalah gelar yang disayangi, tetapi ia mesti mengisi adat ke nagari.

Ia juga meluruskan bahwa pemberian gelar adalah hak para penghulu di setiap nagari. Jadi kurang tepat bila gelar diberikan oleh pihak kerajaan ataupun LKAAM.

“Secara adat, tidak ada wewenang raja untuk memberikan gelar. Dan tidak ada pula hak LKAAM untuk memberikan gelar. Yang bisa memberikan gelar itu adalah nagari melalui penghulunya. Tapi kalau inisiatornya LKAAM, jadi mediator dia untuk menjembatani suatu nagari untuk memberikan gelar, itu sah-sah saja,” ujar pria yang akrab disapa Mak Katik ini.

Baca Juga

Ini Lima Tokoh Daerah yang Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional Tahun 2022
Ini Lima Tokoh Daerah yang Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional Tahun 2022
Presiden Jokowi ke Sumbar lagi, Lihat Langsung Penanganan Korban Gempa Pasbar
Presiden Jokowi ke Sumbar lagi, Lihat Langsung Penanganan Korban Gempa Pasbar
Sampaikan Duka Cita, Presiden Jokowi Perintahkan Liga 1 Stop Sementara
Sampaikan Duka Cita, Presiden Jokowi Perintahkan Liga 1 Stop Sementara
Harga Pertalite dan Solar Subsidi Resmi Naik Mulai Pukul 14.30 WIB Tadi
Harga Pertalite dan Solar Subsidi Resmi Naik Mulai Pukul 14.30 WIB Tadi
Ini Pernyataan Tegas Jokowi Soal Perpanjangan Masa Jabatan Presiden dan Presiden 3 Periode
Ini Pernyataan Tegas Jokowi Soal Perpanjangan Masa Jabatan Presiden dan Presiden 3 Periode
Presiden Jokowi: Selamat Berpuasa dan Boleh Mudik Lebaran, tapi Lengkapi Vaksin dan Booster Covid-19
Presiden Jokowi: Selamat Berpuasa dan Boleh Mudik Lebaran, tapi Lengkapi Vaksin dan Booster Covid-19