Padang, Padangkita.com - Sepanjang tahun 2019, terdapat 105 kasus kekerasan seksual di beberapa kota dan kabupaten di Sumatra Barat. Ironisnya, pelakunya didominasi orang terdekat, dan lokasi kejadian ada di rumah.
Hal di atas terungkap dalam Catatan Tahunan Nurani Perempuan yang disampaikan di Aula Pertemuan Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kemensos, Padang, Senin (24/2/2020) siang.
"Kekerasan seksual terjadi di ranah keluarga, ranah privasi. Pelakunya adalah suami, ayah, abang, dan kakek," kata Plt Direktur Nurani Perempuan, Rahmi Meri Yanti saat merilis Catatan Tahunan Nurani Perempuan.
Di sisi lain, Rahmi memaparkan, kejadian kekerasan seksual ternyata paling banyak dialami para korban di rumah sendiri.
Ketua Harian Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPTPPA), Ermianti memaparkan, kekerasan berlarut karena pembiaran dari masyarakat.
"Masyarakat cenderung mengabaikan tindak kekerasan karena takut akan terseret ke dalam persoalan," ujar Ermianti.
Kata dia, masyarakat yang menyaksikan kekerasan memilih diam karena menganggap itu ranah persoalan keluarga dan menganggap keluarga tersebut mampu menyelesaikan persoalannya sendiri.
"Mereka takut mengadukan ke RT atau RW karena nanti diminta sebagai saksi dan sebagainya," ucapnya.
Terkait hal itu, PPTPPA membentuk Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM). Sebuah gerakan dari jaringan atau kelompok warga pada tingkat masyarakat yang bekerja secara terpadu untuk mencapai tujuan perlindungan anak layanan berbasis gerakan masyarakat untuk pengaduan tindak kekerasan yang terjadi di kelurahan.
"PATBM ini ada di setiap kelurahan di Kota Padang namun ada yang aktif dan ada yang tidak. Mereka betugas sebagai pelapor ke PPTPPA bila terjadi tindak kekerasan," jelasnya.
Sementara itu Nurani Perempuan perempuan terus mendorong dan menutut keseriusan pemerintah dalam menangani kasus kekerasan seksual.
"Kita butuh keseriusan pemerintah dalam menangani kasus, negara harus menjamin perlindungan korban, pemulihan korban, dan pencegahan terjadinya kekerasan," ujar Meri.
Ia juga menegaskan alasan seperti tidak adanya anggaran tidak terus didengungkan, "Pemerintah harus memastikan pemulihan dan ruang aman bagi perempuan, semoga kita tidak mendengar lagi soal tidak adanya alokasi dana," ucapnya.
Berdasarkan kasus kekerasan yang terjadi, Nurani Perempuan WCC mendorong Pemerintah, Akademisi, Ormas dan Masyarakat agar membangun strategi bersama untuk pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender.
Nurani Perempuan juga mendorong Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS), meenghadirkan kebijakan dan aturan yang berpihak kepada perempuan dan anak korban kekerasan.
"Kita juga mendorong lembaga pendidikan agar memiliki kebijakan untuk tidak mencabut hak pendidikan korban kekerasan berbasis gender, khususnya korban kekerasan seksual," papar Meri. (PKT-28)