Usman Idris, Putra Minangkabau yang berhasil melanglang buana ke berbagai negara, khususnya Eropa. Ia bahkan pernah mengajar di Universitas Humburg selama sembilan tahun.
Tanah Minangkabau patut berbangga dengan salah seorang putranya pernah menjadi pengajar di Universitas Humburg. Namanya Oesaman Idris gelar Soetan Pangeran atau biasa disebut Usman Idris.
Ia adalah pelajar Minang yang mampu terbang ke mana-mana semasa mudanya. Bahkan namanya pernah terbit di berbagai dokumen dan media luar negeri.
Biodata lengkap Usman Idris telah dimuat di Koran Belanda Het Vaderland ’s-Gravenhage edisi 26 April 1931.
Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa Usman Idris merupakan anak Datuak Putiah, seorang mantan demang (districthoofd) di Padang yang pernah ke Mekah tapi diusir dari Jeddah oleh rezim Ibnu Saud, seperti ditulis dalam Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, Batavia, 10 Maret 1931.
Filolog dan pengajar Universitas Leiden Suryadi dalam laman pribadinya menulis putra Minang yang lahir di Payakumbuh ini menamatkan sekolah rakyat di Inlandse School saat masih duduk di bangku kelas dua.
Setelah itu ia melanjutkan studinya ke Kweekschool (Sekolah Raja) Fort de Kock. Menurut Mohammad Hatta, sekolah itu tidak pernah ditamatkannya.
Lepas dari sana, Usman kemudian belajar di Koningin-Wilhelminaschool (K.W.S.) di Batavia.
Seiring berjalannya waktu, Usman lalu lulus ujian ke tingkat dua dalam bidang arsitektur (bouwkundig) di K.W.S. pada 03 Mei 1917.
Dengan otaknya yang cerdas, Usman mampu menamatkan sekolahnya di tahun itu juga dan langsung mendapat pekerjaan di Maatschappij “Koepang” di Surabaya. Kemudian ia pindah kerja sebagai awak kapal yang memberi kesempatan kepada Usman untuk melihat negeri Cina, Amerika, dan Australia.
Tak lama setelah itu, Usman terus ingin mengembangkan sayapnya hingga akhirnya ia pindah bekerja menjadi karyawan di onderneming di Medan. Setelah itu beralih lagi ke Bagan Siapi-api sebagai pegawai pemerintah (onder–opzichter).
Hanya delapan bulan bertahan, Usman pun di-PHK. Lalu pada Januari 1920, putra Minang ini memutuskan untuk terbang ke Eropa.
Kota pertama yang ditujunya adalah Antwerpen. Di sana ia belajar di Kunstacademie (Akademi Seni) di kota itu selama empat bulan lamanya.
Ditulis dalam Haagsche Courant, Den Haag, 20 Januari 1921, perjalanan awal Usman di “Benua Dingin’ tersebut ia mulai dari Belanda. Ia tiba di Amsterdam pada 14 Januari 1920 setelah menumpang kapal api S.S Vondel dari Batavia untuk memulai kehidupan barunya di Eropa.
Beranjak dari Antwerpen, Usman kemudian pergi ke Brussel dan Perancis. Selang 18 bulan lamanya ia menjelajah di Perancis, Usman lalu pergi ke Leiden dan tinggal bersama kenalannya yang juga merupakan seniornya di Sekolah Raja Fort de Kock bernama Baginda Dahlan Abdoellah yang sudah berada di Belanda sejak 1913. Dahlan diketahui berangkat ke Belanda bersama dengan Tan Malaka, teman sekolahnya di Sekolah Raja Fort de Kock dulu.
Waktu itu Dahlan menjadi Hulpleraar bahasa Melayu di Universitas Leiden yang mengasisteni Prof. Ph.S. van Ronkel.
Muhammad Hatta pun kala itu menulis tentang kehidupan Usman dalam memoarnya. Hatta menceritakan bahwa ia bertemu dengan Usman di Hamburg ketika sedang jalan-jalan ke Jerman dan beberapa negara Eropa lainnya bersama Baginda Dahlan Abdoellah untuk mengisi liburan Natal 1921.
Berikut tulisan Hatta soal kunjungannya ke Hamburg kala itu.
"Pada waktu itu bekas Residen Sumatera Barat Tuan Le Febvre sudah pensiun dan tinggal di Hamburg. Jadi aku mempunyai kenalan di sana (sebelumnya Hatta sudah kenal Le Febvre di Padang). Dahlan Abdullah juga mempunyai seorang kenalan di sana, bersama Usman Idris, yang dahulu bersama-sama [jadi] murid dengan dia di sekolah raja di Bukittinggi.
Usman Idris tidak pernah tamat sekolah raja [Fort de Kock]. Selagi duduk di kelas V sekolah raja, ia keluar dari sekolah dan pergi “melancong” ke Medan. Kemudian ia menyambung sekolahnya di sekolah teknik menengah, kalau aku tak salah KWS (Koningin Wilhelimina School).
Tamat sekolah teknik itu ia bekerja sebagai opzichter, bagian pembangunan rumah-rumah dan banyak ia memperoleh hasil. Dengan hasil yang diperolehnya itu kira-kira tahun 1919 [yang benar: Januari 1920], habis Perang Dunia I, ia pergi ke Nederland. Di Amsterdam dibukanya sebuah kantor membuat rumah-rumah. Kantornya di Amsterdam, tetapi dia sendiri tinggal di Haarlem. Tiap-tiap hari dia pergi ke kantornya dengan mobil.
Tidak lama ternyata padanya bahwa ongkos hidupnya lebih besar daripada pendapatan. Mula-mula ongkos itu dibayarnya dengan uang simpanan yang dibawanya dari Indonesia. Tetapi, akhirnya uang itu habis juga.
Sungguhpun berbulan-bulan dirasainya dalam hidupnya ‘lebih besar pasak daripada tiang’, ia tidak mau mengubah cara hidupnya. Akhirnya terpaksa ia menggulung tikar dan hidupnya mulai terlantar.
Dengan pertolongan kawan, ia terpaksa bekerja di Indische Restaurant di Laan van Meedervoort, Den Haag, sebagai jongos. Dengan keadaan semacam itulah, ia ditemui oleh Dahlan Abdullah kira-kira pada tahun 1921.
Atas pertolongan Dahlan Abdullah, yang ada kenalannya seorang lektor bahasa Melayu, Dr. Eichele, di Universitas Hamburg, Usman Idris dapat diperbantukan kepadanya sebagai guru bantu bahasa Melayu.
Gaji Usman Idris kecil sekali, hampir tidak mencukupi. Dicukupinya buat hidup sederhana sekali sebab ia dapat makan dengan bayaran murah di Studentenheim, tempat makan mahasiswa.
Dalam keadaan itulah, kami dapati dia, waktu Dahlan Abdullah dan aku sampai di Hamburg, dapat kami membantu-bantu hidupnya sedikit”.
Tak hanya itu, dalam Koran Het Vaderland juga ditulis soal riwayat lain Usman Idris yang sempat selama sembilan tahun mengajar di Universitas Hamburg.
Perhitungan itu dilakukan pada 1931 ketika tarikh Het Vaderland memberitakan tentang penelitiannya di Sumatera. Artinya, putra Minang itu mulai mengajar di Universitas Humburg sekitar tahun 1922 silam.
Seolah memanfaatkan waktu selama di Eropa, pada setiap masa vakansinya, Usman mengunjungi banyak negeri lain, seperti Denmark, Swedia, Norwegia, Finlandia, Rusia, Turki, Cekoslowakia, Austria, Italia, Swiss, Spanyol, Portugal, dan lainnya.
Ia kemudian menikah di Konsulat Mesir di Hamburg dengan seorang mahasiswi Jerman yang belajar sejarah seni Asia pada 1926. Dari pernikahannya itu ia dikaruniai anak perempuan. Sayangnya, istri Usman itu meninggal tahun 1930.
Meski telah banyak melanglang buana di negeri Eropa, pada tahun 1931 Usman kembali ke Sumatra bersama dua rekan yang juga dosen di Universitas Hamburg untuk mengadakan penelitian.
Kedua koleganya itu adalah Dr. Borschard seorang medikus dan Dr. Hellbig seorang geolog.
Penelitian Usman itu difokuskannya pada bahasa dan budaya lokal di daerah Pasemah dan daerah-daerah yang didiami orang Kubu di Sumatera Selatan dan di Rejang serta Lebong, masa itu masuk wilayah Lampung.
Sementara Dr. Boschard memusatkan penelitiannya di Gunung Merapi dan Dr. Hellbig di daerah Tapanuli.
Perjalanan hidup Usman terus-menerus berlanjut di Eropa. Namun, di akhir Januari 1936 terdengar kabar bahwa Usman Idris diberhentikan sebagai dosen di Universitas Hamburg karena masalah izin tinggalnya di Jerman sudah habis.
Meski begitu, juga ada isu lain soal pemberhentiannya itu berhubungan dengan kondisi kesehatannya. Usman jatuh sakit dalam waktu yang lama dan tidak dapat mengajar sehingga ada yang menggantikannya.
Mengenai itu, universitas tempatnya mengajar mendengar kabar Usman sudah balik ke Belanda. Oleh sebab itulah ia diberhentikan dari pekerjaannya.
Sebab dari pemberhentian Usman ini agak simpang siur informasinya. Selain kabar soal surat izin tinggalnya yang sudah habis dan ia jatuh sakit, juga ada isu lain terkait pemberhentiannya itu.
Konsulat Jendral Belanda di Hamburg kala itu menginformasikan bahwa Usman diberhentikan karena posisinya di Universitas Hamburg dianggap tidak penting lagi seperti yang dimuat dalam De Sumatra Post pada 22 Januari 1936.
Dibeirtakan De Sumatra Post, 12 November 1935, kontrak putra Minang itu dengan Universitas Hamburg dikabarkan berakhir sekitar bulan Desember 1935 karena sebulan sebelum Usman diberhentikan, berita tersebut sudah sampai ke telinga kuli tinta.
Begitulah sederet kisah perjalanan putra Minang yang sudah melanglang buana ke berbagai negara di dunia ini di awal abad ke-20.
Ia menjadi satu di antara orang kampung yang saat masih banyak yang belum tahu dengan pakaian bersih dan hanya pernah berjalan baru sejauh batas nagari-nya.
Usman Idris adalah contoh anak Minangkabau yang bagak di nagari saja ibarat 'atak dalam tempurung. Ia mampu membuktikan bahwa putra Minang mampu mengeksplorasi dunia. [Jly]