Menyebut pengkritik dengan kata berkonotasi negatif merupakan wujud sikap antikritik. Oknum merupakan kata berkonotasi negatif. Dua orang pengkritik Gubernur Sumbar disebut sebagai oknum dalam sebuah berita di situs Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Barat (Sumbar). Kalau begitu, apakah Pemprov Sumbar antikritik? Sebelum memberikan penilaian, mari kita lihat dulu persoalannya.
“Disebut dua orang oknum sebagai sosok yang kurang tanggap dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang diberitakan beberapa media online, dianggap Gubernur Sumbar Buya Mahyeldi, sebagai suatu hal yang biasa saja.” Begitulah paragraf pertama berita berjudul “Disebut Kurang Tanggap Covid-19, Gubernur: Mahyeldi Cuma Manusia Biasa” (Sumbarprov.go.id, 27 Juli 2021).
Dua oknum yang dimaksud tersebut ialah dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan, Farhan Abdullah, dan pengamat hukum kesehatan dari Universitas Ekasakti Padang, Firdaus Diezo. Dalam berita “Dokter dan Pengamat Kritik Sikap Gubernur Sumbar Hadapi Covid-19” (Langgam.id, 26 Juli 2021), Farhan yang juga mantan Dirut Semen Padang Hospital itu mengatakan bahwa Mahyeldi tidak memberikan teladan kepada masyarakat dalam penggunaan masker karena ia melihat Mahyeldi berfoto dengan memakai masker di dagu dan kadang-kadang tidak menggunakan masker. Sementara itu, Diezo mengatakan bahwa Mahyeldi sibuk bepergian ke berbagai tempat untuk menjalankan agenda seremonial di tengah lonjakan kasus Covid-19. Ia khawatir bahwa tindakan Mahyeldi pergi ke berbagai pelosok dengan mengumpulkan banyak orang itu menjadi pembenar bagi orang yang tak percaya terhadap keberadaan Covid-19.
Kata oknum tidak pantas disematkan kepada kedua orang itu, apalagi kritik mereka bagus. Mengapa pengkritik tidak pantas disebut oknum? Dalam konteks itu, oknum berarti ‘orang atau anasir (dengan arti yang kurang baik)’ (Kamus Besar Bahasa Indonesia V). Kata anasir dalam definisi itu berarti ‘sesuatu (orang, paham, sifat, dan sebagainya) yang menjadi bagian dari atau termasuk dalam keseluruhan (suasana, perkumpulan, gerakan, dan sebagainya)’ (Kamus Besar Bahasa Indonesia V). Dalam konteks orang, kata oknum lazim digunakan untuk menyebut individu yang melakukan perbuatan buruk yang tidak mewakili kelompok atau profesi individu tersebut, atau perbuatan yang bertentangan dengan moral kelompok atau profesi individu tersebut. Misalnya, seorang polisi menerobos lampu merah. Polisi itu disebut oknum polisi karena melanggar lalu lintas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan institusi kepolisian dan profesi polisi.
Individu dari suatu kelompok disebut oknum karena perkumpulan itu dinilai bermoral atau memiliki prinsip yang positif di mata publik. Individu dari kelompok yang tidak bermoral tidak bisa disebut sebagai oknum. Misalnya, individu dari gerombolan perampok tidak dapat disebut oknum perampok karena gerombolan itu tidak bermoral di mata publik. Dengan kata lain, individu pada komunitas yang dipandang negatif tidak disebut oknum karena memang keseluruhan perkumpulan itu dipandang negatif.
Sekali lagi, kata oknum dipakai agar perbuatan buruk yang dilakukan oleh seseorang tidak digeneralisasi sebagai perbuatan yang dilakukan oleh kelompoknya, atau perbuatan yang tidak sesuai dengan prinsip profesi atau kelompoknya. Kata tersebut sebenarnya tidak terlalu penting dipakai—untuk tidak menyebutnya tidak berguna. Tanpa kata itu, publik pun paham bahwa perbuatan buruk individu memang tidak mewakili perbuatan satu kelompok. Misalnya, jika seorang wartawan memeras narasumber, tentu saja perbuatan itu tidak dianggap sebagai perbuatan semua wartawan atau perbuatan yang dilakukan berdasarkan standar profesi wartawan.
Dalam berita di situs Pemprov Sumbar itu kedua pengkritik tersebut tidak disebut sebagai oknum apa. Penyebutan seperti itu tidak lazim karena kata oknum biasanya diikuti oleh profesi, misalnya oknum polisi, oknum jaksa, oknum dokter, dan oknum guru. Selain itu, kata oknum diikuti oleh jabatan, seperti oknum kepala sekolah, oknum kepala desa.
Kalau yang dimaksud oknum oleh penulis berita di situs Pemprov Sumbar itu ialah oknum dokter dan oknum pengamat kesehatan, mereka tidak layak disebut oknum karena tidak melakukan perbuatan buruk. Mengkritik gubernur, apalagi mengkritik untuk tujuan kebaikan, bukanlah perbuatan buruk. Sementara itu, jika yang dimaksud oknum itu ialah oknum pengkritik, pengkritik bukanlah “profesi” yang tidak bermoral. “Komunitas” pengkritik merupakan sebuah “komunitas” bermoral dalam demokrasi. Kritik merupakan moral itu sendiri dalam demokrasi. Mengkritik kekuasaan atau pemegang kekuasaan dalam demokrasi merupakan sebuah keniscayaan karena, sebagaimana yang dikatakan sejarawan Inggris, Lord Acton (1834—1902), kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara mutlak.
Mengatakan kedua pengkritik Gubernur Sumbar itu sebagai oknum justru menegaskan bahwa pengkritik merupakan semacam “komunitas” atau “profesi” yang bermoral. Meskipun begitu, stempel oknum terhadap dokter dan pengamat kesehatan itu tidak tepat karena kritik mereka positif. Mereka tidak mengkritik sambil mencaci-maki.
Selain itu, hal buruk lain dari cap oknum itu ialah bahwa oknum harus disingkirkan atau perilaku yang buruk dari oknum itu harus dibuang karena merusak nama baik perkumpulan tempat oknum itu berada atau profesi yang dilakoni oknum itu. Misalnya, oknum jaksa penerima suap harus disingkirkan karena merusak kredibilitas kejaksaan dan profesi jaksa.
Menstempel pengkritik dengan kata oknum berarti ingin menyingkirkan pengkritik. Oleh karena itu, mengecap kedua pengkritik Gubernur Sumbar sebagai oknum dapat disimpulkan sebagai sikap antikritik.
Hal itu berpotensi merugikan Mahyeldi jika pembaca berita itu salah paham karena tidak cermat memahami berita. Pembaca bisa saja menganggap Mahyeldi antikritik, padahal Mahyeldi tidak begitu karena dia tidak mengatakan pengkritiknya sebagai oknum. Yang antikritik ialah penulis berita itu, bukan Mahyeldi, apalagi Pemprov Sumbar. Oleh sebab itu pula, penulis berita yang menyebut pengkritik Mahyeldi sebagai oknum itu, jika kata oknum itu perlu dipakai, layak disebut oknum Pemprov Sumbar. Dia layak disebut oknum karena kita menganggap bahwa Pemprov Sumbar merupakan insitusi bermoral, yang menghargai demokrasi, kritik, dan kebebasan berbicara. Karena dia oknum, dia atau perilakunya harus disingkirkan dari tempatnya bekerja sekarang sehingga tidak merusak institusi Pemprov Sumbar.
Meskipun begitu, saya ingin berbaik sangka terhadap penulis berita di situs Pemprov Sumbar itu. Dia menyebut pengkritik Mahyeldi sebagai oknum mungkin karena tidak ingin menyinggung kedua pengkritik itu dengan menyebut langsung nama mereka. Kalau benar begitu, barangkali dia tidak tahu bahwa kata oknum berkonotasi negatif. Mungkin dia berpikir bahwa oknum merupakan kata yang digunakan untuk menyebut orang yang dibicarakan, yang tidak disebutkan namanya. Dalam hal ini, prinsip bahwa bahasa merupakan kesepakatan menemukan kebenarannya. Jika seorang penutur menggunakan sebuah kata dengan makna berbeda dari kesepakatan masyarakat penutur bahasa tersebut, mitra tutur akan mengeluarkan reaksi yang bertentangan dengan maksud penutur atau tidak diinginkan penutur, misalnya tidak memahami kata itu, salah paham terhadap maksud tuturan, atau marah terhadap penutur.
Baca juga: Rahasia Holy Adib Menjadi Penulis Esai Bahasa yang Rutin dan Konsisten
Jika benar bahwa si penulis berita tersebut tidak tahu arti kata oknum, saya bisa memaklumi ketidaktahuan itu. Oleh sebab itu, dia hanya perlu ditegur agar kali lain berhati-hati memilih kata dalam menulis berita. Agar tidak salah memilih kata, dia dapat melihat kamus untuk mengetahui arti leksikal sebuah kata. Namun, jika dia tahu bahwa oknummerupakan kata berkonotasi negatif, lantas dia sengaja menyebut pengkritik Mahyeldi sebagai oknum, dia harus meminta maaf kepada publik dan menghapus kata tersebut dari berita di situs Pemprov Sumbar. [*]
Holy Adib, Esais Bahasa