Jika jalan tol itu untuk memperkuat perdagangan antar wilayah dan meningkatkan daya saing pariwisata di Sumbar, investasinya jadi terlalu mahal. Lebih baik, Sumbar mengembangkan infrastruktur non tol, yang mengoneksikan sentra perdagangan dan tempat pariwisata.
Cipta lapangan kerja, nama awal dari Undang-undang (UU) yang lagi kontroversial itu. Tapi di tengah jalan, diubah oleh pemerintah menjadi RUU Cipta Kerja (CK). Perubahan itu karena diplesetin sama para aktivis buruh dan lingkungan menjadi RUU Cilaka.
Secepat kilat RUU CK isinya mengubah ketentuan lebih dari seribuan pasal di 79 UU disahkan. Seperti sudah diprediksi, UU ini menuai protes banyak pihak. Mendorong buruh, mahasiswa dan aktivis turun ke jalanan. Buruh merasa kelompoknya yang paling banyak terdampak dari UU ini. Mereka menganggap itu sebagai model perbudakan di zaman modern.
Saya lebih suka disebut UU Cipta Lapangan Kerja. Maknanya tentu berbeda dibanding UU Cipta Kerja. Kalau cipta lapangan kerja, yang dibangun adalah ekosistem pekerjaan. Bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan yang layak sebanyak mungkin. Masyarakat pekerja bebas memilih sesuai kompetensinya.
Tapi, cipta kerja maknanya jadi sempit. Ekosistem pekerjaannya hilang. Yang ada adalah bagaimana menciptakan para pekerja sebanyak mungkin. Bisa jadi semurah mungkin. Supaya investasi mempunyai daya saing. Hak-hak buruh berupa penghidupan yang layak dipinggirkan. Yang penting investasi masuk, apa pun bentuknya, siapa pun investornya: hitam maupun putih.
Tapi, apa pun namanya, secara substansi isinya sama saja. Saya secara pribadi menolak UU ini, baik itu secara proses pembentukannya maupun substansi dari isinya. Ini memang UU Cilaka!
Tapi, kita tak membahas itu di sini. Kita membahas mengenai jalan tol Sumbar-Riau. Apakah ini jalan tol Cilaka? Maksudnya, jalan tol yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sehingga berdampak terhadap perekonomian Sumbar.
Secara prinsip, investasi jalan tol itu harus dihitung berdasarkan nilai biaya dan manfaat. Disebut layak, ketika manfaat yang didapat lebih besar dibanding biaya yang dikeluarkan.
Di sini, kita tak masuk ke analisis ekonomi mikronya. Pasti proyek yang investasinya besar, sudah punya hitung-hitungan kelayakan ekonomi. Kita akan membahas dari aspek ekonomi makro. Jadi, manfaat yang dimaksud adalah manfaat bagi masyarakat dan perekonomian Sumbar.
Secara deskripsi, jalan tol Sumbar-Riau itu bagian dari pengembangan jalan tol Trans Sumatra. Proyek ini sudah masuk ke dalam proyek strategis nasional (major project) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Jadi, apa pun masalah yang dihadapi dari proyek ini, jalan tol ini tak boleh gagal. Termasuk masalah substansi, seperti pembebasan lahan dan dampak ekologi, tak boleh menggagalkan bahkan menghambat proyek tersebut.
Jika ada masalah, lazimnya, Presiden Jokowi langsung turun tangan. Biasanya, jika presiden turun ke lapangan, masalah selesai. Meski, yang terjadi adalah pemaksaan kehendak, seperti penggusuran paksa atau proyek menyalahi analisis dampak lingkungan (Amdal). Tak penting itu. Apalagi dengan akan adanya UU CK, semuanya serba mudah dilakukan sekarang.
Jalan tol Sumbar-Riau itu sendiri membentang sepanjang lebih kurang 242 kilometer. Sepanjang 148 kilometer berada di Sumbar dan 94 kilometer di Riau. Dilengkapi dengan terowongan sepanjang 14 kilometer. Ini menjadi terowongan jalan tol terpanjang di Indonesia. Investasinya diperkirakan sebesar Rp 78 triliun. Itu setara dengan 10,5 kali jumlah APBD Sumbar 2020. Kemungkinan besar pembiayaannya berasal dari hutang. Apakah hutang itu nanti berasal dari China? Saya tak tahu.
Pengerjaannya oleh BUMN, lewat penunjukan langsung. Tapi, di lapangan, nantinya, hampir semua dikerjakan oleh pihak ketiga dengan sistem sub-kontrak. Bagaimana sistem sub-kontrak itu dilaksanakan, saya tidak paham. Tapi, kadangkala, ada praktek sub-kontrak fiktif, seperti temuan KPK baru-baru ini terhadap proyek infrastruktur yang dikerjakan oleh BUMN. Bisa jadi hal itu juga terjadi di proyek jalan tol Sumbar-Riau. Wallahualam.
Apa manfaat jalan tol ini? Bisa dipastikan, membuka lapangan kerja baru pada tahap konstruksinya. Meski demikian, belum tentu untuk tenaga kerja lokal. Biasanya, untuk pekerjaan infrastruktur jalan tol, tenaga kerjanya kebanyakan dari Pulau Jawa dan sudah berpengalaman di pekerjaan jalan tol sebelumnya di sana.
Apalagi, di level manajemen dan tenaga kerja terampil, biasanya perusahaan sudah punya pekerja yang siap pakai. Yang tersedia bagi pekerja lokal paling untuk tenaga kerja non terampil (buruh kasar) dan petugas keamanan. Itu lazimnya.
Jadi buanglah impian bahwa pembangunan jalan tol ini bisa menyerap tenaga kerja lokal. Ini bukan pekerjaan jalan atau selokan desa yang bisa dikerjakan secara massal oleh penduduk setempat. Sekali lagi, jangan terlalu berekspektasi tinggi. Nanti, bikin kecewa. Ujung-ujungnya demo.
Setelah proyek selesai, apakah bisa meningkatkan investasi dan daya saing usaha yang berujung terciptanya lapangan pekerjaan. Di daerah yang perekonomiannya digerakkan oleh sektor manufaktur, jalan tol bisa mengenjot daya saing usaha. Tapi belum tentu menciptakan lapangan pekerjaan skala luas, bila industrinya padat modal dan padat teknologi.
Sumbar, basis perekonomiannya bukan industri manufaktur. Tapi pertanian, terkhusus lagi pertanian tanaman pangan, bukan perkebunan skala luas atau kehutanan. Infrastruktur yang paling dibutuhkan adalah infrastruktur yang mampu meningkatkan produktivitas lahan pertanian dan pengolahan paska panen. Sepertinya, jalan tol kurang cocok untuk itu.
Sumbar lebih butuh irigasi dan jalan yang bisa mengintegrasikan antara sentra pertanian dan sentra perdagangan. Tentu teknologi pertanian dan sumber daya manusia yang kompeten juga sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing komoditas pertanian yang dihasilkan.
Jalan tol bisa bermanfaat untuk menyalurkan hasil pertanian ke Riau. Saat ini, Riau sangat tergantung sumber bahan pangannya dari Sumbar. Adanya jalan tol ini, akan memperlancar supply bahan pangan tersebut. Tentu akan membuat harga bahan pangan di Riau menjadi murah.
Dampaknya, inflasi di Riau akan turun signifikan. Karena inflasi tertinggi itu disebabkan oleh harga kebutuhan pokok. Daya saing perekonomian Riau akan semakin meningkat, jauh meninggalkan Sumbar. Tapi, Sumbar tak perlu bersedih hati. Perekonomian Riau itu akan sulit berkelanjutan, karena sering terjadi kebakaran hutan dan lahan serta korupsinya merajarela.
Dengan potensi pertanian yang terbaik di Pulau Sumatra. Sumbar seharusnya bisa untuk go international. Kualitas produk pertanian Sumbar itu sudah standar pasar internasional. Yang perlu dilakukan adalah memperbaiki kualitas paska panen dan kemasan yang bagus. Saya yakin, pertanian Sumbar bisa bersaing dengan Thailand.
Seharusnya, investasi yang paling dibutuhkan adalah bagaimana cara untuk meningkatkan daya saing komoditas pertanian. Kalau orientasinya ekspor, sistem logistik yang perlu dikembangkan adalah pelabuhan dan bandara. Artinya, jalan tol ini masih menempatkan komoditas unggulan Sumbar itu di pasar regional. Sayang sekali sebenarnya.
Tapi begitulah, presidennya mau jalan tol. Ia ingin menasbihkan dirinya sebagai bapak pembangunan, terkhusus jalan tol. Sebagai prestasi yang dikenang masyarakat selama kepemimpinannya.
Jika jalan tol itu untuk memperkuat perdagangan antar wilayah dan meningkatkan daya saing pariwisata di Sumbar, investasinya jadi terlalu mahal. Lebih baik, Sumbar mengembangkan infrastruktur non tol, yang mengoneksikan sentra perdagangan dan tempat pariwisata.
Khusus pariwisata, keelokan alam Ranah Minang itu belum tentu lebih indah, jika harus lewat jalan tol. Bisa jadi, infrastruktur jalan yang sudah ada sekarang merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan, seperti jalan yang lewat Lembah Anai, jalan kelok 44, jalan di pinggiran Danau Singkarak, jalan menuju Kawasan Wisata Mandeh dan sebagainya. Infrastruktur ini tinggal diperbaiki, sehingga layak digunakan untuk kenyamanan wisatawan.
Perlu juga diantisipasi. Adanya jalan tol, berpotensi akan mematikan sentra UMKM, yang telah menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat kecil di Sumbar. Mereka akan terpinggirkan oleh usaha besar, yang akan menguasai rest area di sepanjang jalan tol. Jalan tol ini bisa menjadi cilaka tiga belas bagi pelaku UMKM. Seperti yang sudah terjadi di jalan tol trans Jawa. Banyak sentra UMKM di sepanjang jalur Pantura mati.
Terakhir, biaya pembangunan jalan tol tak hanya dihitung dari pendekatan ekonomi, berupa besaran investasi. Tapi, harus dihitung juga biaya non ekonomi, seperti kerusakan ekologi. Dengan panjang jalan tol mencapai 242 kilometer, banyak sekali melalui kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Saya yakin, dampak ekologinya sangat besar.
Saya juga yakin, dampak ekologi ini tak akan dimitigasi risikonya. Bila terjadi kerusakan ekologi yang dapat menimbulkan banjir bandang dan sebagainya, mereka anggap itu sudah takdir dari Yang Maha Kuasa. Hilangnya flora dan fauna endemik tak dianggap kerugian besar. Padahal, itu menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem. Yang berdampak buruk terhadap keberlanjutan pembangunan.
Seperti UU CK, tol Cilaka ini tentu penuh debat. Sebanyak yang pro, sebanyak itu juga yang kontra. Biarlah itu jadi pemanisnya. Saya secara pribadi adalah penerima manfaat dari tol ini. Meski begitu, kritik harus tetap disampaikan sebagai masukan untuk perbaikan. Saya maklum, jika kritik itu hanya dianggap sebagai 'angin lalu' oleh penguasa. Karena itulah cerminan penguasa kita saat ini: anti kritik.
Setiap tahun, saya berkunjung ke rumah mertua di Riau dari Jakarta. Biasanya, saya akan singgah ke kampung halaman saya, di Kota Padang. Bersilaturahmi dengan sanak saudara di sana. Jalan tol ini akan mempercepat perjalanan saya nantinya.
Tapi, saya berjanji, jika jalan tol ini jadi dan saya terpaksa lewat di sana. Saya tak akan selfie dan upload fotonya ke sosial media. Takut di bully oleh buzzer dan influencer fanatiknya bapak pembangunan jalan tol itu. Mereka akan bilang: Pengkritik jalan tol, lewat jalan tol, kenapa tak lewat jalan becek saja. Lalu dikirimin foto jalan becek, berdampingan dengan foto presiden meresmikan jalan tol. Malukan! [*]
Wiko Saputra
Praktisi Ekonomi dan Perantau Minang