Padang, Padangkita.com – Buya Hamka atau Hamka sebetulnya adalah sebuah akronim atau singkatan dari nama ulama besar dan sastrawan asal Sumatra Barat (Sumbar).
Seperti halnya banyak mubalig dan dai kondang yang dikenal punya nama akronim, seperti UAS (Ustaz Abdul Shomad), UAH (Ustaz Adi Hidayat), UFS (Ustaz Fahmi Salim), UYM (Ustaz Yusuf Mansur) dan lainnya.
Melansir Muhammadiyah.or.id, ternyata mubalig yang pertama kali memakai nama akronim adalah Buya Hamka. Hamka sendiri adalah akronim dari Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Buya Hamka adalah ulama Muhammadiyah yang menjadi pendiri dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama periode 1977-1981.
Buya Hamka lahir di Sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat pada Minggu petang malam Senin tanggal 16 Februari 1908. Ia awalnya diberi nama Abdul Malik.
Ayahnya, yang merupakan seorang ulama bernama Dr. Haji Abdul Karim Amrullah memberikan nama ‘Abdul Malik’ untuk mengenang anak dari gurunya ulama besar asal Nusantara, Syekh Ahmad Khathib Al-Minangkawabi di Makkah, yang bernama Abdul Malik pula.
Menurut Mohammad Damami dalam ‘Tasawuf Positif’ (dalam pemikiran HAMKA) (2000), penamaan Abdul Malik juga dimaksudkan sebagai doa kepada Hamka.
Nama ‘Abdul Malik’ disempurnakan dengan penyematan nama ayahnya, yakni ‘Karim Amrullah’ di bagian belakang sehingga Hamka memiliki nama lengkap Abdul Malik Karim Amrullah.
Perubahan nama Abdul Malik Karim Amrullah menjadi Hamka mula-mula terjadi setelah dirinya menunaikan ibadah haji di Makkah pada tahun 1972, sebagaimana ditulis Nasir Tamara dkk dalam ‘Hamka di Mata Hati Umat’ (1983).
Perubahan nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah menjadi akronim Hamka memiliki banyak alasan. Salah satunya adalah untuk melepaskan diri dari bayangan nama besar ayahnya yang merupakan ulama terkenal di Sumatera dan murid ulama besar Syekh Ahmad Khatib.
Namun, alasan lain yang lebih mungkin adalah untuk memudahkan namanya mudah diingat oleh orang lain, mengingat nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah terlalu panjang untuk disebut atau dituliskan berkaitan dengan profesi yang dia tekuni sebagai ulama dan penulis. Hal ini terangkum dalam ‘Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka’ (1983).
Alasan terakhir ini mendapat dukungan dari berbagai sumber. Sarwan dalam ‘Sejarah dan Perjuangan Buya Hamka di Atas Api di Bawah Api’ (2001) menegaskan bahwa penyingkatan namanya dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah menjadi Hamka berkaitan dengan aktivitas beliau dalam bidang penulisan.
Seperti diketahui Hamka berprofesi menjadi aktivis dakwah, hingga jurnalis. Tercatat, dirinya pernah menjadi wartawan berbagai surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Panji Masyarakat.
Dalam dunia kepengarangan, Hamka juga kadang-kadang menggunakan nama samaran, yaitu A.S. Hamid, Indra Maha, dan Abu Zaki. Soal ini disebutkan pada laman Badan Bahasa Kemdikbud.
Sebagai seseorang yang berpikiran maju, Hamka produktif dalam menyampaikan ide-ide cemerlang melalui ceramah, pidato, dan berbagai macam karya dalam bentuk tulisan. Hingga ia wafat pada 24 Juli 1981, Hamka telah menghasilkan 85 karya tulis.
Namun, jumlah itu dinilai belum keseluruhan. Sebab, banyak yang berpendapat bahwa karya-karya Hamka masih banyak yang belum terkumpul. Misalnya, artikel-artikel di berbagai surat kabar.
Baca juga: Punya Banyak Anak Angkat, Kenapa Hanya Jusuf Hamka yang Membawa Nama Buya Hamka?
Putra Hamka yang bernama Rusyi menyebutkan bahwa keseluruhan karya Hamka sebanyak 118 jilid tulisan yang telah dibukukan. Ini masih ada yang belum terkumpul dan dibukukan. Tentang hal ini tercatat dalam ‘Pribadi dan Martabat Buya Hamka’ (1983). [*/pkt]