Padang, Padangkita.com - Koto Tangah, kecamatan di pinggir utara Kota Padang yang berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat (Sumbar), merupakan lokus utama penyebaran Islam pada abad ke-17.
Di sinilah, hidup seorang ulama yang menjadi "pusek jalo pumpunan ikan" dalam jaringan keulamaan Tarekat Syattariyah di Kota Padang sekaligus motor penggerak perlawanan rakyat melawan penjajahan Belanda.
Namanya Muhammad Nasir bergelar Syekh Surau Baru. Ia hidup sezaman sekaligus murid dari Syekh Burhanuddin di Ulakan, Padang Pariaman. Sayangnya, sosok ini tidak begitu populer bagi masyarakat Kota Padang.
Ia wafat pada tahun 1113 Hijriyah (sekitar tahun 1701). Makamnya berada di Batu Singka, sekitar 500 meter ke arah utara dari Jembatan Lubuk Minturun, Kota Padang.
Ketika Padangkita.com berkunjung Minggu (29/5/2022) pagi, kondisi makam tampak terabaikan. Rumput ilalang setinggi 50 cm tumbuh di kompleks makam. Sementara itu, akses menuju makam hanya berupa jalan tanah yang becek setiap hujan.
Meski demikian, ada beberapa peziarah yang secara berkala berkunjung untuk membersihkan kompleks makam. Salah satunya, Kholiq, 60 tahun, warga Katapiang, Padang Pariaman. Ia rela datang meski harus menempuh perjalanan sejauh 15 kilometer dari tempat tinggalnya.
Kholiq menenteng tas punggug bermuatan berat. Di dalamnya berisi mesin potong rumput yang sengaja ia bawa dari rumah untuk membersihkan kompleks makam.
"Sudah sebulan dibiarkan, tidak ada yang merawat. Warga sini tidak acuh," kata Kholiq sembari mempersiapkan mesin potong rumput yang ia bawa.
Sehari-hari, Kholiq memang berprofesi sebagai "tukang sinso" atau pemotong kayu. Dari dalam tas, ia keluarkan rangkaian mesin satu per satu. Ia terlebih dulu mengasah mata pisau mesin sebelum merangkainya.
"Sedih melihat kondisi makam ini. Padahal, banyak penduduk di sekitar. Kami tidak mampu secara finansial, tapi secara tenaga berusaha merawatnya," ujar Kholiq.
Kurang lebih 20 menit Kholiq mengitari area makam memotong rumput-rumput liar. Membersihkan makam, kata dia, rutin ia lakukan sejak setahun belakangan.
Kholiq menceritakan dirinya sendiri bukan warga asli Sumbar, melainkan asli Madura. Ia berasal dari Pamekasan, Jawa Timur dan dibawa oleh orang tuanya merantau ke Padang sekitar tahun 1975 saat ia masih duduk di bangku kelas 5 SD.
Berziarah, kata dia, merupakan bentuk penghargaannya terhadap jasa penyebar Islam terdahulu. Ia menyayangkan adanya anggapan bahwa ziarah identik dengan perbuatan syirik.
"Tidak ada ruginya menghormati makam. Ini bentuk hadiah dari kita terhadap para ulama yang telah memperkenalkan kita Islam. Kita bukan menyembah atau meminta-minta ke makam," kata Kholiq dengan bahasa Minang fasih.
Selain membersihkan makam, Kholiq hari itu datang untuk bertemu dengan Iyus, 52 tahun, seorang mursyid yang membina jemaah tarekat di surau yang berada di kompleks makam. Surau itu bernama Surau Tampaik.
Surau Tampaik merupakan salah satu surau Tarekat Syattariyah di Kota Padang yang masih aktif melakukan zikir dan wirid. Jadwalnya setiap hari Kamis dan Minggu.
"Saat ini, mayoritas jemaahnya adalah ibu-ibu lansia. Mereka biasanya mulai datang setelah waktu Ashar. Di sini, kita mendirikan ibadah dan mengkaji ilmu tasawuf," ujar Iyus.
Iyus melanjutkan tradisi mengajar di Surau Tampaik dari gurunya, Khatib Abdul Munaf, seorang tokoh Tarekat Syattariyah asal Batang Kabung.
Iyus mengaku, mencurahkan waktunya membina jemaah di Surau Tampaik karena amanah dari sang guru. Kitab-kitab yang digunakan di Surau Tampaik juga warisan dari sang guru seperti Nurul Haqiqat, Nizam Qulub, dan Tahqiq.
"Surau ini panjang ceritanya. Sebelum Khatib Abdul Munaf, ada guru dia pula. Namanya Syekh Paseban. Sebelum itu lagi, Syekh Bawah Asam. Semuanya bertalian ke Syekh Surau Baru," terang dia.
Khatib Abdul Munaf meninggal dunia pada 12 Oktober 2006. Sebelum meninggal, kata Iyus, gurunya itu berpesan agar ia meneruskan pengajaran di Surau Tampaik.
"Di surau ini tidak bergaji, semua karena Allah, tapi Alhamdulillah kita tidak pernah berutang beras," tuturnya.
Sayangnya, kondisi surau saat ini juga cukup memprihatinkan. Salah satu "kulah" atau bak air untuk berwudu roboh sehingga tak bisa digunakan dan menyulitkan jemaah beribadah.
Iyus mengatakan Syekh Surau Baru adalah penyebar Islam awal di Kota Padang. Pengaruhnya, kata dia, berhasil mengislamkan banyak penduduk, terutama Koto Tangah dan Pauh.
"Kalau tidak, kita saat ini mungkin masih makan apa saja yang merangkak," celetuknya.
Selain berjasa menyebarkan Islam, banyak kisah heroik tentang Syekh Surau Baru yang ia terima dari gurunya.
"Selain mengislamkan penduduk Koto Tangah dan Pauh, Syekh Surau Baru merupakan motor penggerak perlawanan rakyat melawan penjahan Belanda pada abad ke-17. Kebanyakan panglima perang Koto Tangah dan Pauh adalah pengikut atau murid-muridnya," jelas Iyus.
Ketokohan Syekh Surau Baru membuat Belanda repot. Puncak perlawanan rakyat Koto Tangah dan Pauh terjadi pada 7 Agustus 1669, yang mengakibatkan loji Belanda di Batang Arau hancur. Hari itu kelak diabadikan sebagai Hari Jadi Kota Padang.
"Penguasa Belanda melihat Syekh Surau Baru adalah dalang di balik perlawanan tersebut. Akhirnya Syekh Surau Baru diperintahkan untuk ditangkap dan ditawan," sambung Iyus.
Terkait kondisi makam, Iyus membenarkan minimnya perhatian dari pemerintah maupun warga sekitar.
"Di sini, yang kita sayangkan, warga tidak mau merawat makam. Mereka tahu di sini ada makam penyebar Islam. Mereka biarkan karena khawatir nanti muncul perbuatan syirik," tutur Iyus.
Selain makam Syekh Muhammad Nasir, terdapat makam tua lainnya di kompleks makam Batu Singka. Salah satu makam tersebut yakni Syekh Muhammad Arif yang berasal dari Aceh.
Baca juga: Kisah Surau Syekh Abdul Manan yang Aktif sejak 1903 sebagai Pusat Pendidikan Qiraat Al-Quran
"Syekh Muhammad Arif jauh lebih dulu hidup, tetapi dia tidak mengembangkan agama Islam. Istilahnya hanya beramal. Syekh Muhammad Nasir-lah yang mengislamkan penduduk Koto Tangah dan Pauh," sebutnya. [den/pkt]