Padang, Padangkita.com - Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang Sefriyono menilai gerakan radikal berbasis agama tidak cocok dengan kultur masyarakat Minangkabau yang menghargai perbedaan.
"Orang Minang memiliki banyak aforisme tentang menghargai perbedaan, seperti lain padang lain belalang. Kelompok-kelompok radikal kan tidak suka perbedaan, mereka berpikir monologis," ujar Sefriyono dalam perbincangan dengan Padangkita.com, Rabu (20/4/2022).
Menurut Sefriono, orang Minang sangat demokratis. Hal itu dibuktikan dengan aforisme seperti bersilang kayu dalam tungku, makonya api hidup, dan nasi masak.
"Silang pendapat yang terjadi merupakan bentuk dari proses musyawarah dalam rangka memperoleh kesepakatan bersama. Jadi, nilai-nilai radikal pada konteks demikian sulit tumbuh pada dasarnya," imbuhnya.
Sefriyono melanjutkan, gerakan radikal yang melakukan pembangkangan terhadap negara secara historis tidak pernah muncul di Sumatra Barat (Sumbar).
"Dalam sejarah orang Minang, tidak ada. Pernah ada Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), tetapi itu bukan pembangkangan terhadap negara, tetapi kepada pemerintah yang tidak menunaikan kebijakan kenegaraannya terkait distribusi ekonomi. Yang ada di Sumbar malah gerakan penyelamatan terhadap negara, yakni Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)," ungkap Sefriono.
Meskipun demikian, kata dia, sejak era reformasi Sumbar tak luput dari kehadiran gerakan-gerakan keagamaan yang mengusung ideologi transnasional (kilafah).
"Pasca-reformasi, kelompok transnasional memang berkembang di Sumbar. Di samping FPI dan HTI yang dilarang, masih ada salafi. Salafi pada dasarnya secara ideologis dekat dengan Wahabi," ungkapnya.
Namun begitu, lanjut Sefriyono, perhatian mereka cenderung berkutat pada aspek ritual, seperti membid'ahkan perilaku tertentu dalam agama.
Terkait penanggapkan tersangka teroris yang berasal dari jaringan Negara Islam Indonesia (NII) di Sumbar, Sefriyono mendorong pihak kepolisian untuk mengungkapkan detail aktivitas mereka.
"Kalau mereka melakukan i'dad (latihan fisik), di mana? Akan menggulingkan pemerintah, seberapa jauh kekuatannya? Itu kan harus dijelaskan. Tentu yang lebih tahu, kan polisi melalui Densus 88. Kewajiban mereka menjelaskan," ucapnya.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) UIN Imam Bonjol ini berharap masyarakat Sumbar proaktif menyikapi temuan-temuan kepolisian terkait terorisme.
"Jangan kita bersikap defensif, seolah-olah tidak ada. Kita tracking hasil temuan tersebut. Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) punya tanggung jawab. Bisa menggandeng perguruan tinggi, litbang, atau Majelis Ulama Indonesia," tutur dia.
Ia juga berharap agar para dai mengembangkan dakwah yang merangkul dan membuka dialog-dialog septuar negara dan kearifan lokal. [den/pkt]