Jakarta, Padangkita.com – Organisasi nasional dan internasional, pers, serta kalangan aktivis yang tergabung dalam “Koalisi Serius Revisi UU ITE” mengkritik Surat Keputusan Bersama atau SKB tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) .
SKB itu telah ditandatangani oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri. SKB ini, resmi berlaku mulai tanggal 23 Juni 2021.
Koalisi Serius Revisi UU ITE menegaskan, masih terdapat permasalahan dalam implementasi UU ITE yang tidak dapat diselesaikan dengan pedoman. Koalisi menilai yang menjadi salah satu pokok permasalahannya adalah ketidakjelasan atau kekaburan norma hukum yang tercantum dari pasal-pasal.
“Selama ini pasal-pasal tersebut lebih sering digunakan untuk mengkriminalisasi warga negara, dana karenanya melanggar UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi,” ungkap Koalisi dalam keterangan tertulis yang diterima Padangkita.com.
Selain itu, Koalisi juga menyayangkan bahwa draft SKB tersebut belum pernah dibuka ke publik sehingga minim partisipasi publik dan menunjukkan bahwa proses penyusunan tidak terbuka dan tidak partisipatif. Padahal, partisipasi publik yang bermakna, efektif dan inklusif merupakan bagian yang sangat penting dalam penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia.
Tidak bisa hanya bersifat formal, akan tetapi harus berkelanjutan dan memasukan opini dan kekhawatiran masyarakat dalam setiap keputusan.
“Koalisi juga mengingatkan bahwa pedoman adalah bentuk penegasan bahwa UU ITE penuh masalah, dan ini tidak boleh dianggap sebagai proses pengganti revisi UU ITE. Penerbitan pedoman ini harus dianggap sebagai aturan transisi sebelum adanya revisi UU ITE.”
Koalisi menekankan agar praktik pembuatan pedoman untuk menjawab revisi sebuah undang-undang bermasalah tidak menjadi kebiasaan di Indonesia. Dalam hal ini, Pemerintah harus tetap berkomitmen untuk merevisi UU ITE. Sesuai dengan Pasal 28 J UUD 1945 yang menegaskan bahwa Pembatasan hak asasi manusia haruslah oleh Undang-Undang.
Atas dasar hal tersebut, “Koalisi Serius Revisi UU ITE” juga mendesak kepada Pemerintah untuk tetap memprioritaskan dan menjaga komitmen Revisi UU ITE.
Salah satu langkah yang harus segera diambil oleh Pemerintah adalah segera melakukan pengajuan revisi dan pembahasan dengan DPR. Koalisi juga mendorong Pemerintah untuk lebih terbuka dan partisipatif dalam proses penyusunan revisi UU ITE, dengan sungguh-sungguh melibatkan masyarakat terdampak regulasi (meaningful and inclusive participation).
Perlu diingat bahwa proses regulasi Undang-Undang atau merevisi UU ITE juga dapat memakan waktu yang panjang. Maka dari itu, moratorium kasus UU ITE menjadi penting untuk pemerintah.
“Dalam hal ini, untuk tidak memproses kasus-kasus yang berhubungan dengan pasal-pasal karet tersebut. Pemerintah juga dapat mengentikan semua proses yang sedang berlangsung, apa lagi negara tahu dan mengerti bahwa adanya pasal-pasal karet UU ITE yang bermasalah dan dapat melanggar hak kebebasan berpendapat dan berkespresi.”
Selain itu, memulihkan korban yang sudah terbukti dijerat pasal-pasal karet UU ITE adalah sebuah bentuk hak asasi yang harus penuhi dan dilakukan oleh negara sekarang, sesuai dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang juga sudah diratifikasi oleh Indonesia.
Baca juga: Komunitas Pers Desak Pemerintah Revisi UU ITE, Ini Alasannya
“Koalisi Serius Revisi UU ITE” terdiri atas Amnesty International Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, ELSAM, Greenpeace Indonesia, ICJR, ICW, IJRS, Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia, Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar.
Kemudian, KontraS, LBH Apik Jakarta, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers Jakarta, LeIP, Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), PBHI, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), PUSKAPA UI, Remotivi, Rumah Cemara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Yayasan LBH Indonesia (YLBHI). (*/pkt)