Padangkita.com - Hari ini, 19 Desember 2017, 11 tahun sudah diperingati sebagai Hari Bela Negara. Bentuk penghormatan sekaligus pengingat, PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang berdiri pada 19 Desember 1948 di Sumatera Tengah, utamanya Sumatera Barat hari ini.
Bagi sejarawan Mestika Zed, PDRI tidak boleh dinafikan dari sejarah berdirinya Republik Indonesia. Bahkan dibeberapa kesempatan, dan tertuang dalam bukunya, Somewhere in the jungle : Pemerintah Darurat Republik Indonesia : Sebuah Mata Rantai Sejarah Yang Terlupakan, Mestika menyebutkan, PDRI memperpanjang nafas Republik yang baru seumur jagung kala itu.
PDRI eksis hingga 13 Juli 1949, seiring baliknya pemimpin terkemuka Republik yang sempat ditawan Belanda.
Meski berdiri 19 Desember, PDRI baru diumumkan pada 22 Desember 1948 di Halaban. Sekaligus menyebutkan susunan kabinet.
Pertanyaan mendasar, mengapa PDRI harus ada, dan itu pun di Sumatera Barat?
PDRI tidak berdiri tiba-tiba. Sudah dirancang oleh sebagian tokoh, setelah melihat gelagat tidak baik Belanda, terutama begitu alotnya Perjanjian Renville.
Pulau Jawa adalah pusat pemerintahan, sekaligus pusat militer, para tokoh sipil mau pun militer, melihat mencium tidak baik dari perundingan Renville yang mengisyaratkan Belanda semakin menguatkan militernya.
Maka itu, wilayah lain di Republik harus bersiap diri untuk menjalankan roda pemerintahan dan aktivitas militer, jika Jawa ditaklukkan Belanda.
Pilihannya adalah Sumatera. Dari tiga provinsi yang ditetapkan di Pulau Sumatera pada 1 Juni 1948 yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan, Sumatera Tengah lebih meyakinkan untuk mengemban kelanjutan eksistensi Republik.
Tidak mengherankan, sebab Wakil Presiden Mohammad Hatta, sempat berkantor lama di Bukittinggi, jelang detik-detik Agresi ke II Belanda pecah.
Nampaknya, Hatta yang mengatur semua, bagaimana Bukittinggi harus bersiap diri menjadi ibukota, jika Yogyakarta lumpuh.
Sinyal Belanda akan melancarkan aksi militer semakin kencang memasuki bulan November 1948.
Di sini peran Hatta semakin kentara. Hatta yang kala itu juga menjabat Perdana Menteri, bersama beberapa perwira tinggi yang akan ditugaskan di Sumatera, dan Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara beserta sejumlah pejabat lainnya terbang ke Bukittinggi.
Misi utama adalah memulihkan kembali tubuh militer yang didera konflik antara pasukan Bejo dan Malao.
Dalam risalahnya yang kemudian dibukukan dalam PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dalam khasanah kearsipan, terbitan Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta, tahun 1989, Panglima Teritorium Tentara Sumatera saat revolusi, Letjen Hidayat mengisahkan sebagai berikut:
“Saya dibawa oleh Bung Hatta untuk membantu pak Soehardjo (mantan Panglima Sumatera sebelum Hidayat) guna menyelesaikan masalah Bejo dan sekaligus mempersiapkan Sumatera sehubungan dengan laporan intel kita bahwa Belanda sudah siap untuk menyerang. Waktu itu (seingat saya) juga ikut Islam Salim, Yusuf Ramli, pak Wangsa Widjaja selain tokoh-tokoh lain tentunya. Waktu itu perintah yang saya terima dari Bung Hatta bersifat lisan. Bung Hatta menegus panglima yang kurang bijaksana yang menurut beliau panglimanya terlalu baik. Hatta memanggil Bejo dan Malao secara bergantian, dan ditanyakan persoalan yang dihadapi, dan diselesaikan beliau dengan cara beliau pula. Hatta meminta keduanya untuk menghentikan permusuhan. Di sini terlihat bagaimana wibawanya Hatta.”
Selain mendamaikan pertikaian di kalangan militer, Hatta juga mengatur pemerintahan di Bukittinggi. Sjafruddin mengatakan, bulan November 1948, dia diperbantukan kepada Bung Hatta dengan beberapa pembesar lainnya untuk datang ke Bukittinggi.
“Jadi waktu itu, saya hanya pengikut Bung Hatta; yang akan menjalankan peranan utama tentu Bung Hatta sebagai Wakil Presiden dan Perdana Menteri. Tapi belum lama kami sampai di Bukittinggi, Bung Hatta sudah dipanggil kembali ke Jawa, karena KTN telah berhasil membujuk Belanda untuk berbicara lagi dengan Republik Indonesia di Kaliurang. Bung Hatta berangkat ke Yogayakarta. Kami yang tadinya dibawa sebagai pengikut tinggal di Bukittinggi. Yang tinggal ada nama Lukman Hakim, Abdul Karim, Soejono. Kami ditinggal di Bukittinggi sambil menunggu beliau kembali atau dikembalikan lagi ke Jawa. Tapi tiba-tiba kami mendengar 19 Desember 1948, Yogyakarta sudah diserbu Belanda,” (Sjafruddin, 29 Mei 1979).
Hatta tidak sendirian dalam mendenyutkan nafas Republik. Tokoh-tokoh lokal di Sumatera Tengah pun tidak bisa dikesampingkan. Mereka seperti Mohammad Rasjid, selaku Residen atau Gubernur Militer Sumatera Barat, amatlah berperan, dan memastikan kesiapan Bukittinggi dan Sumatera Barat secara luas, sebagai pusat pemerintahan dan militer, ganti Yogyakarta.
Tentu kesiapan ini juga didukung dengan seberapa kuat pasukan, peralatan, dan lainnya. Mengenai kesiapan pasukan tempur ini, Singapura, sebuah kawasan di semenanjung Malaya, yang dikusasi Inggris saat itu, sangatlah berperan dalam menunjang eksistensi PDRI.
Di masa revolusi, situasi angkatan peran Republik Indonesia tidak sama di semua tempat, karena sangat bergantung pada pembinaan pimpinan lokal, serta kemampuan mencari jalan keluar memperbaiki kondisi ketentaraan.
Rasjid mengatakan, khusus Sumatera Tengah. Kondisinya berbeda dengan Jawa. Dia pun mengungkapkan, sebagai ‘Panglima Perang’ di Sumatera Tengah, dia harus meniti jalan ke Singapura, untuk mendapatkan kebutuhan militer.
Singapura memang dikenal sebagai bandar dagang yang sangat terbuka. Orang-orang Minangkabau sedari dulu berniaga ke sana, melalui Riau.
Di masa revolusi, Singapura, menjadi tempat barter terutama mendapatkan senjata. Hal ini termasuk untuk kelengkapan tentara, jelang lahirnya PDRI. Ini semakin menegaskan Sumatera Tengah, yang notabene mengakses perlengkapan milter ke Singapura, sebagai wilayah yang pas untuk keberlangsungan Republik.
“Dibandingkan dengan Jawa, kita (pak) baik. Pakaian seragam (tentara) ada, diperoleh dengan cara barter ke Singapura. Di belakang kantor saya (di Bukittinggi) ada dua buah gudang besar penuh dengan hasil barter dengan Singapura. Kita juga menukar hasil kita dengan senjata. Jadi pakaian kita cukuplah. Dari segi persenjataan dibanding Jawa, bolehlah, tapi kita punya divisi terlampau, (ada) sekitar 23.000 orang personel. Saya kira (perbandingan) senjata dengan tenaga sekitar satu banding lima lah kira-kira. Jadi batalyon kita efektif sebetulnya tidak seberapa,” (Moh. Rasjid, 15 Januari 1980).
Hatta, dan sebuah bandar dagang bernama Singapura, hanya segelintir, peran-peran yang nampak dan dikisahkan tentang ihwal PDRI. Lalu, tujuh bulan eksistensi PDRI, tentu tidak akan terjadi jika saja masyarakat Minangkabau (Sumatera Tengah) tidak membuka pintu lebar-lebar menyambut pemerintahan berjalan ini.
Tercatat ada delapan nagari yang pernah menjadi ibukota PDRI. Di semua nagari, masyarakat menyambut dengan hangat dan bersahabat, menyediakan rumah-rumah untuk ditempati, surau sebagai ruang silaturahmi, rumah yang didaulat menjadi ‘istana’ untuk rapat kabinet, dan penyediaan makan yang cukup.