Padangkita.com - Percikan api suluh yang digenggam anak negeri Padang bak horizon yang membinarkan Lapau Panjang Cimpago (LPC) Pantai Padang, Kota Padang, Minggu (6/8/2017) malam.
Berarakan dengan ragam seni budaya termasuk mobil hias, sumarak begitu jamak, pada iven yang dikenal dengan pawai obor atau telong-telong.
Pawai ini sebagai bentuk peringatan hari ulang tahun Kota Padang, dimana Senin, 7 Agustus 2017 ini, berangkakan 348 tahun.
Usianya yang begitu tua, tentu metamorfosis Padang begitu dinamis hingga berwujud seperti sekarang. Suluh yang dinyalakan dalam pawai telong-telong, memberi isyarat sejarah kelahiran Padang patut diziarahi kembali.
Untuk itu, Padangkita.com mencoba menyajikan sepenggal kisah hari kelahiran Kota Padang.
Awal Januari 1986, Walikota Padang saat itu, Syahrul Ujud, menggelar perumusan Hari Jadi Kota Padang. Sejarawan Taufik Abdullah ditunjuk jadi ketua perumus.
Panitia meminta sejumlah nama yang dianggap memiliki akses sumber sejarah yang melimpah dan fasih dengan sejarah, untuk diminta usulan dengan argumentasi sejarah kuat pastinya.
Salah seorang diantaranya adalah Rusli Amran. Pria kelahiran Padang, 1922 ini, dikenal sebagai seorang diplomat dan lama bekerja di Biro Luar Negeri, terutama belahan Eropa. Sehingga dia begitu dekat dengan akses sejarah Indonesia, yakni di Belanda.
Rusli seperti pengakuannya dalam buku Padang Riwayatmu Dulu, menyampaikan beberapa saran untuk hari lahir Kota Padang.
Sederet penanggalan disarankannya, dengan irisan apa yang cenderung diinginkan oleh mereka yang hadir di pertemuan yakni hari kelahiran yang berhubungan dengan peristiwa heroik; rakyat Minang menentang penjajahan.
Pada 17 Januari 1986, Rusli memberi saran tiga peristiwa penting untuk tanggal hari jadi Kota Padang.
Pertama, 13 Februari. Tanggal ini terkait dengan diadakannya pembicaraan antara utusan Yang Dipatuan (Raja Minangkabau berkedudukan di Pagaruyung), dengan wakil Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), persisnya tahun 1667.
Kedua, 18 September. Rusli mengemukan, pada tanggal ini merujuk pada Urang Kayo Kaciak diangkat sebagai Panglima oleh VOC dan diakui Yang Dipatuan.
Selanjutnya, Rusli kembali berkorespondensi dengan Taufik Abdullah, sebagai kelanjutan Rapat Terbatas dalam rangka Perumusan Hari Jadi Kota Padang, yang digelar di Kantor Walikota Padang, 20-21 Januari 1986.
Surat yang dikirim pada 26 Januari 1986 tersebut, Rusli kembali memberi saran penanggalan hari jadi Kota Padang.
Selanjutnya...
Kali ini, Rusli menyampaikan argumentasi sejarah yang cukup menarik. Baginya, ketika singgasana Aceh berhasil dijungkirkan di sepanjang pantai barat, terutama Padang, yang kemudian menghangatnya hubungan antara VOC dengan Minangkabau (baca: kerajaan), tapi tidak bagi orang Pauh, Kuranji, dan Koto Tangah.
Mereka terus mengusik, bahkan menganggu stabilitas VOC di kawasan Muaro Batang Arau, yang menjadi bandar dagang.
Di sana loji-loji VOC berdiri gagah, dan semula terasa aman karena Aceh telah disingkirkan, dan ‘hati’ Kerajaan Minangkabau dapat direbut. Pihak Kerajaan Minangkabau luruh pada Belanda, karena merasa berjasa menyingkirkan Aceh yang selama ini menjajah secara ekonomi di pantai barat.
Kenyamanan yang dipandang bakal lama, nyatanya sirna, ketika puluhan kali rakyat Pauh dan Koto Tangah melakukan serangan ke loji Belanda.
Salah satu hari yang paling diingat Rusli adalah 7 Agustus 1669, ketika dua loji VOC yang menjadi simbol kekuasaan Belanda diserang dan dibakar hingga hanya bersisa nama dan cerita.
Menurut Rusli, serangan itu merugikan pihak Belanda sebesar 28.000 gulden.
“Seorang yang disebut bernama Berbangso Rajo dari Minangkabau sebagai otak penyerangan,” tulisnya.
Argumentasi lain yang dikemukakannya, penyerangan loji memperlihatkan kehendak rakyat tidak mau kebebasan dagangnya diganggu seperti zaman Aceh sebelumnya.
Dikatakannya, tahun serangan yakni 1669, jatuh di kala VOC mengakui resmi bahwa
kedaulatan atas kota-kota yang diduduki Belanda sepanjang pantai Minangkabau dipegang oleh Yang Dipatuan di Pagaruyung.
Sedangkan wakil VOC di Padang bertindak hanya sebagai pucuk pemerintahan saja.
Untuk usulan 7 Agustus 1669 ini, Rusli merujuk pada sumber seperti De Oost-Indische Compagnie op Sumatra in de 17e eeuw, karangan N. Mac Leod.
Freek Colimbijn dalam buku Paco-Paco (Kota) Padang, juga menuliskan, tanggal 7 Agustus 1669, sebagai hari kelahiran Kota Padang, bertepatan dengan peristiwa serangan orang Pauh dan Koto Tangah ke Bandar dagang VOC di Muaro Batang Arau.
Meski urusan niaga Belanda di Padang mendapat restu penuh dari Raja Minangkabau, namun berkali-kali orang-orang dari Koto Tangah dan Pauh, kadang dengan bantuan Aceh, menyerang pos perdagangan Belanda di kawasan pelabuhan Batang Arau.
“Terlepas dari kekuasaan Raja Minangkabau dan pedagang perantara yang berasal dari pesisir, secara de facto Padang tetap berada ditangan penjajah asing hingga kemerdekaan,” tulis Freek.
Tiap tahun telong-telong terus mewarnai Kota Padang. Semoga suluh yang diarak, menjadi pelita untuk memahami ihwal Padang, dan menerangi jalan Padang menuju kota yang dibanggakan semua orang.
Selamat Ulang Tahun ke 348 Kota Padang!