Padangkita.com – Senin (30/10/2017) pagi, bara melahap sebagian tubuh Pasar Atas (Baca: Pasa Ateh), Kota Bukittinggi. Memercikkan air mata pedagang, mewariskan kerugian yang ditaksir triliunan rupiah.
Menjadi beranda Jam Gadang, ikon Bukittinggi, Pasa Ateh bukanlah pasar yang tumbuh karena wisata sebagaimana alasan orang ke Bukittinggi, dan Jam Gadang utamanya. Pasar yang berdiri di gundukan bukit ini sudah berdiri sebelum Jam Gadang bercokol di tahun 1926.
Pasa Ateh mengaliri sejarah Bukittinggi, melintasi di tiga zaman berbeda; era kolonial Belanda, masa Jepang, dan masa kemerdekaan. Lebih dari sekedar menjadi lini ekonomi Bukittinggi, Pasa Ateh adalah harga diri orang Agam Tuo. Bukan orang Kurai saja.
Turut berduka apa yang menimpa Pasa Ateh dan penghuninya, Padangkita.com mencoba menyajikan sepintas sejarah Pasar Atas.
Setelah Belanda datang ke Padang pada tahun 1818 dan menancapkan hegemoni kekuasaannya membuat perubahan yang sangat signifikan pada pembangunan Bukittinggi. Belanda membangun infrastruktur dan mengembangkan kota sehingga banyak dikunjungi para pendatang dari negara-negara lain seperti Cina dan India.
Tahun 1858, pemerintah kolonial Belanda mengerahkan tenaga rodi yang berasal dari Agam Tua, Agam bagian timur, untuk mendatarkan puncak tertinggi bukit yang ada di Bukittinggi.
Pekerjaan ini untuk membuka pasar karena desakan keramaian, dan kebutuhan atas barang-barang saat itu. Pakan Kurai yang sudah ada sebelumnya (tanpa tahu tanggal berdirinya) tidak sanggup lagi menampung sirkulasi barang sekaligus kebutuhan masyarakat, tentara, dan pemerintah.
Saat itu, para pedagang berjualan di Pakan Kurai yang berkonstruksi kayu, bambu dan atap rumbia atau alang-alang. Sebagian pedagang yang lain menjual barang dagangan mereka di dalam wadah dari bambu atau di atas daun pisang.
“Pembangunan pasar (Pasa Ateh) ini tercipta setelah adanya perjanjian antara Penghulu Nagari Kurai dan pemerintah Hindia Belanda di tahun 1858 tersebut. Perjanjian tersebut mengenai peminjaman tanah pasar dan sekitarnya,” tulis Zulqayyim dalam buku Boekit Tinggi Tempo Doeloe, terbitan tahun 2006.
Hingga akhirnya, saat meneroka pasar di atas bukit dengan nama Bukit Kubangan Kabau tersebut, pemerintah Hindia Belanda membebaskan penduduk Nagari Kurai dari tenaga rodi.
Bagaimana pun, pendirian Pasa Ateh dipicu karena Pakan Kurai tidak bisa lagi menampung ‘pasar’ yang semakin luas. Namun, menurut Zulqayyim, bukan berarti Pakan Kurai sebagai cikal bakal Pasar Bukittinggi hari ini.
Sebaliknya, Pasa Ateh lah yang menjadi ihwal Pasar Bukittinggi.
Apa yang disebut Pasar Bukttinggi, itu awalnya Pasa Ateh, kemudian semakin ramai, diluaskan di kelerengan dari gundukan bukit yang menjadi pijakan Pasa Ateh. Disebutlah pasar itu dengan Pasa Lereng.
Perkembangan selanjutnya menyasar hingga di bawah, yang kemudian dikenal dengan Pasa Bawa. Tidak jauh dari Pasar Bawah, ada juga titik keramaian jual beli yang dinamakan pasar Aua Tajungkang.
“Sementara Pasar Banto yang dikenal hari ini, dulunya tempat parkir bendi,” tukas dosen Ilmu Sejarah Universitas Andalas ini.
Dikatakan Zulqayyim, Pakan Kurai terletak di Jorong Gurun Panjang. Sementara Bukittinggi, sebelum kedatangan kolonial Belanda bernama Nagari Kurai.
“Pakan Kurai lebih awal berdiri daripada Pakan Bukittinggi, karena menjadi kelengkapan untuk berdirinya Nagari Kurai. Setelah Pakan Bukittinggi berdiri dan berkembang, menyebabkan Pakan Kurai menepi dan semakin sepi,” jelas Zul kemarin.
Pakan bermakna hari pekan, yang diterminalogikan hari pasar sekali seminggu. Dia adalah kelengkapan nagari selain surau (masjid), balai, pancuran, dan lapangan.
Pakan Kurai diperkirakan Minggu. Sementara Pasa Ateh, awalnya digelar sekali seminggu yakni hari Sabtu. Lambat laun karena semakin ramai, setelah awal abad 20, maka dibuatkan hari pasar dua kali yakni Sabtu dan Rabu.
Dalam membangun Pasa Ateh, para pekerja rodi bekerja mendatarkan tanah pasar, dan membuat jalan-jalan menuju pasar serta selokan pasar. Pekerja rodi juga ditugaskan membangun 11 rumah pasanggarahan untuk kepala laras di Agam Tua yang berjumlah sama.
Pengerahan tenaga kerja rodi dalam membangun pasar hanya memunculkan kutub kesengsaraan, berlainan dengan para kepala laras yang berada di kutub kesenangan.
“Setiap pekan gadang atau hari balai pada Sabtu, jika ada yang membantai kambing, lembu, atau kerbau, maka kepalanya dipersembahkan kepada Kepala Laras yang bertugas saat itu,” tulis Zulqayyim.
Berikut lintasan sejarah Pasar Bukttinggi:
Bersamaan dengan pembangunan Pasa Ateh, Belanda juga membangun jalan dan tangga yang menghubungkan antara tempat yang satu dengan tempat yang lain.
Kemudian, pada tahun 1890 dibangun loods (los = bangunan panjang untuk tempat berjualan), yang berada di tengah-tengah pasar.
Los yang di bangun tersebut dinamakan Loih Galuang (Los melengkung) hal ini disebabkan karena bentuk atap setengah lingkaran.
Pada perkembanganya, tahun 1896, di bangun los di bagian Timur, untuk pedagang kain dan toko kelontong. Tahun 1900, untuk penjual daging dan ikan segar dibangun satu los (sekarang los lambuang, tempat jual nasi kapau).
Los ini dibangun di sisi bukit sebelah Timur, agar limbah air dapat dialirkan ke selokan di bawah bukit. Lokasi los yang terletak di kemiringan, warga Bukittinggi menyebutnya pasar teleng (miring). Rumah potong sapi terletak di sisi Selatan (Jl. Pemuda), di pinggir anak sungai. Pasar ternak berada 500 m ke arah Barat.
Dengan menyebut pasar Bukittinggi dengan pasar Fort de Kock Tahun 1900, Belanda membangun pasar secara permanen, pasar itu disebut loih galuang, karena bentuk atap yang melengkung, sekarang disebut Pasar Atas.
Tahun 1901-1909, pada masa pemerintahan Controleur Oud Agam, L.C. Westenenk, dibangun 3 los, bersebelahan dengan los galuang, satu los di Timur Laut, lokasi lebih rendah, untuk penjual ikan kering (loih maco).
Sedangkan dua los lagi terletak di kaki bukit dengan lokasi agak datar dan terletak lebih rendah, dinamakan pasar bawah. Los pasar bawah membujur Utara-Selatan, sejajar, untuk penjual kelapa, beras, buah-buahan dan sayur-sayuran. Dekat stasiun kereta api, ada pasar Aua Tajungkang. Penjual diizinkan mendirikan toko.
Tahun 1923 dibangun 8 (delapan) blok rumah toko, setelah kios pedagang sisi Barat dan Timur Loih Galuang dirobohkan.
Sebelah Barat, ada 4 blok sejajar (Muka Pasar), sedangkan di sebelah Timur ada 4 blok, berjajar dua (Belakang Pasar).
Belanda memberikan izin pada penjual Cina dan Keling (India) untuk mendirikan toko. Penjual Cina berada sebelah Barat (sekarang Jl. A. Yani atau kampung cina). Penjual dari India berada di sebelah Utara, dikenal dengan nama kaliang (Kampung Keling).
Belanda membuat akses menuju Pasar Atas dari berbagai sudut, berupa tangga (janjang) : janjang Ampek Puluah, janjang gudang dan jalan pasar lereng. Lahan yang terbatas menyebabkan Belanda membuat beberapa pasar berdasarkan jenis barang yang dijual. Seperti daging dan ikan basah di Pasar Lereng, sayur, buah, dan kelapa di Pasar Bawah.
Sejak masa pemerintahan Belanda sampai saat ini, Pasar Atas sudah beberapa kali mengalami renovasi, karena kebakaran.
Tahun 1980-an, Pasar Atas merupakan pusat penjualan kain (tekstil).Tahun 1990-an, sampai saat ini, menjadi pusat penjualan mukena, sulaman baju, dan hijab.
Pada tahun 1949, berdasarkan UU No. 22 tahun 1948 pasal 1 tentang pokok-pokok pemerintahan didaerah dan ketetapan Gubernur Militer Sumatera Tengah No. 167/GM/Stg/Ket-1949 maka penguasaan pasar berada sepenuhnya pada pemerintah kota Bukittinggi.
Semenjak dikeluarkannya pasal 1 tersebut, penghasilan atau pendapatan pasar Bukittinggi tidak lagi dibagi-bagikan kepada seluruh wilayah nagari Agam Tuo. Akan tetapi, digunakan sebagai kas dan untuk perbaikan pasar.
Seiring dengan pesatnya perkembangan Pasar Atas, membuat pasar ini dipadati oleh para pedagang dan pembeli.
Selain Pasar Bukittinggi yang terpusat di sekitar Jam Gadang, di Bukittinggi juga ada pasar grosir yang disebut Pasar Aur Kuning. Pasar yang berdampingan dengan terminal ini, baru ada pada dekade 1980-an.
“Aur Kuning dulu tanah orang Kurai yang ‘dirampas’ Jepang. Kemudian menjadi milik Pemda Bukittinggi setelah merdeka,” ujarnya.
Pasa Rang Agam
Jika Pakan Kurai merupakan prasyarat sebagai sebuah nagari, maka Pasa Ateh, menjadi simbol berdirinya sebuah kota. Pasa Ateh sebagai sebuah pasar Bukittinggi, merupakan milik masyarakat Agam. Sebab, beber Zul, pasar tersebut dibangun oleh tenaga-tenaga rodi dari nagari-nagari Agam Tuo atau Agam bagian Timur.
Pedagang yang berjualan di pasar ini bukan hanya warga Bukittinggi, melainkan dari Agam Tuo seperti dari Banuhampu, Kamang, Guguak Tinggi, Guguak Randah, dan sekitarnya.
Pembeli di pasar atas ini beragam, mulai dari masyarakat ekonomi menengah kebawah sampai kepada masyarakat yang memiliki ekonomi yang berlimpah, baik pembeli yang berasal dari daerah setempat sampai pada wisatawan yang berasal dari luar kota Bukittinggi.
Maka tidak mengherankan, jika Bukittinggi disebut dengan Koto Rang Agam. Begitu juga dengan Pasa Ateh yang disebut dengan Pasa Rang Agam.
Berhubung berdirinya Pasa Ateh di masa pemerintahan kolonial Belanda, pasar juga dijadikan senjata bagi Belanda ‘menjinakkan’ para kaum adat.
Menurut Zul, para pengulu kepala diberi ’rumah’ di dekat jalan ke kebun binatang. Mereka secara bergiliran disilahkan Belanda untuk memungut pajak ke padagang yang berjualan di pasar tersebut.
“Para penghulu itu menyebut giliran mereka dengan babantai gadang (kalau tidak salah). Untuk mengatakan, hari itu giliran mereka mendapat ‘bagian’atau keuntungan dari pasar,” bilang Zul.
Kebijakan Controleur J van Hangel mengingkari Persetujuan tahun 1858, dimana Penghulu Nagari Kurai tidak diikutsertakan dalam menentukan kebijakan Pasar Bukittinggi.
Keuntungan yang didapatkan dari sewa toko, tanah, gudang, warung, los, dan pajak pasar cukup besar dilepaskan oleh pemerintah Belanda.
Oleh karena itu, Penghulu Nagari Kurai merasa terpinggirkan, sehingga mereka menggugat pembangunan los pasar itu yang didirikan di atas tanah ulayat Nagari Kurai. Mereka juga menggugat kebijakan pemerintah yang banyak merugikan Nagari Kurai.
Sejak mengambil alih Bukittingi secara penuh tahun 1888, pemerintah Hindia Belanda, mulai memegang kendali Pasar Bukittinggi secara penuh.
Berganti kekuasaan, berganti pula formula memandang kekuasaan. Bagi Belanda, melancarkan keuntungan di negeri kekuasaan, mesti menundukkan para pimpinan feudal seperti kaum adat.
Sementara di masa Jepang, sumber ekonomi dihisap secara total tanpa membagi sedikit pun ke kelompok penguasa lokal.
Disebutkan Zul, sejak zaman Jepang, para penghulu kepala tidak lagi mendapat ‘jatah’ dari pengelolaan pasar. Berikutnya, sejak tahun 1947, pengelolaan pasar diambil alih oleh pemerintah Bukittinggi, seiring ’penyerahan’ nagari Kurai menjadi bagian integral Kota Bukittinggi. (Tim)