Sejarah Pembangunan Ikon Kota Bukittinggi, Ada yang Dibangun untuk Menyindir Warga yang Suka Bangun Siang

https://padangkita.com/sejarah-pembangunan-ikon-kota-bukittinggi-ada-yang-dibangun-untuk-menyindir-warga-yang-suka-bangun-siang

Jam Gadang pada tahun 1939. Pada bagian puncak, Jam Gadang masih masih menggunakan kubah lancip dan dihiasi ornamen Ayam Jantan pada bagian puncak kubah. (Foto : KITLV)

Berita Bukittinggi hari ini dan berita Sumbar hari ini: sejarah pembangunan infrastruktur yang terkenal di Fort de Kock sebutan Bukittinggi zaman kolonial Belanda

Bukittinggi, Padangkita.com– Anda pernah atau sering ke Kota Bukittinggi? Berkunjung ke Jam Gadang, Pasar Aur Kuning Bukittinggi, atau ke Kebun Binatang? Nah, biar makin lengkap anda sebaiknya juga mesti tahu sejarah pembangunan infrastruktur yang terkenal di Fort de Kock sebutan Bukittinggi zaman kolonial Belanda.

Berikut beberapa sejarah pembangunan insfrastruktur Kota Bukittinggi dikutip Padangkita.com dari penelitian Zulqayyim dengan judul “Pembangunan Infrastruktur Kota Bukittinggi Masa Kolonial Belanda” yang dimuat dalam buku “Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia”.

Pasar Bukittinggi

Pasar Bukittinggi menjadi saksi bisu atas perjuangan sebagian masyarakat Minang kala itu yang dipaksa bekerja rodi untuk membangun sebuah pasar. Pekerja berasal dari nagari-nagari dalam wilayah “onderafdeling” Agam Tua seperti Nagari Banuhampu, Padang Lua, Sariak, Guguak, Koto Tuo, dan IV Angkek. Ditambah dengan tahanan di Tangsi (rutan) Bukittinggi.

Pembangunan pasar secara besar-besaran oleh pemerintah Hindia Belanda karena melihat kondisi fisik pasar masih sangat sederhana hanya berupa warung-warung. Pembangun dimulai pada tahun 1888, saat batas-batas Bukittinggi telah ditetapkan.

Pada tahun 1890 dan 1896 dibangun dua loods atau masyarakat Minang menyebutnya “loih galuang” (los melengkung) berada di tengah pasar. Loods tersebut diisi pedagang kain, kelontong, dan sejenisnya. Selanjutnya pada tahun 1900 dibangun loods ketiga untuk pedagang daging dan ikan basah berada di pinggang bukit sebelah timur, karena lokasinya berada di kemiringan masyarakat menamainya Pasar Teleng (miring).

Selanjutnya terjadi perombakan pasar berskala besar pada masa pemerintahan Controleur Oud Agam, L.C Westenenk pada tahun 1901-1909. Dengan memperluas wilayah pasar dengan meratakan gundukan bukit termasuk merobohkan warung-warung diganti menjadi beberapa loods.

Dibangunnya loods saling bersebelahan yaitu tiga loods bersebelahan dengan loods galuang, satu loods di sebelah Timur Laut di lokasi lebih rendah, dan dua loods berikutnya dibangun di kaki bukit di Timur laut berlokasi di daerah datar. Kala itu muncul Pasar Aua Tajungkang di dekat stasiun kecil kereta api (menuju Payakumbuh).

Perombakan terus berlanjut pada tahun 1923 terjadi perobohan kios-kios pedagang di sisi Barat dan Timur Loih Galuang diganti dengan delapan blok rumah toko, sebelah barat terdapat empat blok sejajar masyarakat menamainya Muka Pasar dan sebelah Timur juga dibangun empat blok tetapi berjajar dua dikenal dengan nama Belakang Pasar.

Tak hanya pasar, pada masa itu juga dibangun janjang atau anak tangga sebagai penghubung kedua Pasar Atas dan bawah. Pada tahun 1931-1932, Controleur W.J Cator membangun janjang 40 di sebelah utara, Janjang Gantuang di sebelah Timur, dan janjang lainnya.

Sekolah Raja

Pada masanya, Kweekschool (sekolah raja) atau Sekolah Guru di Bukittinggi sangat terkenal dan mulai aktif beroperasi pada tanggal 1 April 1856. Tujuannya, mengantisipasi kekurangan guru di Sumatra Barat, menggunakan gedung rumah bicara.

Kemudian, pada tahun 1873 dibangun kompleks Kweekschool berada di selatan Bukittinggi. Tak sampai di sana pembangunan terus terjadi terbukti pada tahun 1880-1882 dibangun tiga buah rumah dinas dan gedung sekolah privat terletak yang di samping gedung utamanya.

Namun pada tahun 1933 sekolah tersebut dibubarkan oleh kolonial Belanda kemudian diganti dengan mendirikan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Sekarang Kweekschool menjadi sekolah negeri salah satunya SMA Negeri 1 Bukittinggi.

Kebun Binatang Bukittinggi

Pada tahun 1929 Groeneveld selaku Asisten Residen Agam dan merangkap menjadi Ketua Dewan Kota Bukittinggi bertemu J. Heck seorang dokter hewan, dan Edward Jacobson sebagai hartawan. Ketiganya menyepakati membangun kebun binatang. Tujuan dibangunnya kebun binatang tak lain untuk menambah daya tarik Kota Bukittinggi.

Pendirian kebun binatang di Bukit Malambuang disarankan oleh Groeneveld karena sebelumnya pada tahun 1900 sudah ada taman bunga (Starmpark), dengan luas 3.362 m2. Setelahnya, pada bulan Juli 1929 beberapa kandang sudah selesai dikerjakan. Seiring berjalannya waktu pada tahun 1941 koleksi satwa semakin lengkap yaitu sebanyak 155 jenis satwa.

Kebun binatang pada tahun 1935 juga difasilitasi dengan Rumah Adat Minangkabau sekaligus difungsikan sebagai museum dinamakan Rumah Gadang Gajah Maharam, berukuran 36,5 kali 10 meter dan memiliki tujuh gonjong dengan anjungan di kedua sisinya. Pada tahun 1955 dan 1956 pada halaman rumah adat dibangun dua buah tumbling yaitu si bayau-bayau yang bertiang enam dan sitinjau laut yang bertiang empat.

Kebun binatang pada saat masa pemerintahan Jepang mulai terabaikan dan berlanjut pada masa perang kemerdekaan. Satwa Kebun Binatang Bukittinggi pernah ada rencana pemindahan ke Kebun Binatang Ragunan di Jakarta oleh pembesar belanda, karena khawatir melihat kondisi kebun binatang semakin terabaikan. Namun secara bersamaan kerajaan Belanda memberikan pengakuan terhadap kedaulatan Indonesia, sehingga pemindahan tidak terjadi.

Kebun Binatang Bukittinggi sering berganti nama pada tahun 1900 menjadi Kebun Bunga, kemudian pada tahun 1956 berganti nama menjadi Taman Puti Bungsu, selanjutnya pada tahun 1970 berganti nama menjadi Taman Bundo Kanduang, dan sekarang bernama Taman Marga Satwa dan Budaya Kinantan (TMSBK).

Jam Gadang

Jam Gadang merupakan hadiah dari Ratu Juliana kepada Controleur Oud Agam, H.R Rookmaker yang menjabat sebagai Wali Kota Bukittinggi periode 1923-1927. Jam ini dibangun pada tahun 1926, arsiteknya Yazid St. Gigiameh yang merupakan orang Minang.

Jam Gadang dibangun di atas bukit tertinggi yang menghadap ke arah Gunung Merapi. Pada awalnya puncak Jam Gadang berbentuk setengah lingkaran, seperti kubah masjid. Di atasnya dipasang patung ayam jago untuk menyindir masyarakat Agam Tuo yang sering bangun siang.

Baca juga: Sejarah 5 Jalan Tua di Padang, Dulu Ada yang Bernama “Ratu Belanda”

Pada masa pendudukan Jepang, patung tersebut diganti dengan atap seperti pagoda. Atap tersebut kembali berganti setelah kemerdekaan dengan gonjong ciri khas rumah adat Minangkabau. [mg1/son]


Baca berita Bukittinggi hari ini dan berita Sumbar hari ini hanya di Padangkita.com.

Baca Juga

Vasko Ruseimy Kunjungi Rumah Gadang Mande Rubiah di Lunang Pesisir Selatan
Vasko Ruseimy Kunjungi Rumah Gadang Mande Rubiah di Lunang Pesisir Selatan
Aspirasi Warga 4 Daerah Ini Terhubung Jalur Kereta Api, Mahyeldi: Kita Kaji Hidupkan Lagi
Aspirasi Warga 4 Daerah Ini Terhubung Jalur Kereta Api, Mahyeldi: Kita Kaji Hidupkan Lagi
Peserta Pelatihan Pengelolaan Desa Wisata Pesisir Selatan Studi Lapangan ke Bukittinggi
Peserta Pelatihan Pengelolaan Desa Wisata Pesisir Selatan Studi Lapangan ke Bukittinggi
Mengenang Semangat Juang Bagindo Aziz Chan, Pemko Padang Gelar Ziarah dan Tabur Bunga
Mengenang Semangat Juang Bagindo Aziz Chan, Pemko Padang Gelar Ziarah dan Tabur Bunga
Peduli Jaminan Perlindungan Warga, Pemko Bukittinggi Diganjar Penghargaan dari BPJS Ketenagakerjaan
Peduli Jaminan Perlindungan Warga, Pemko Bukittinggi Diganjar Penghargaan dari BPJS Ketenagakerjaan
Buka Festival Kuliner Prabowo-Gibran di Bukittinggi, Andre Rosiade: All in Sekali Putaran
Buka Festival Kuliner Prabowo-Gibran di Bukittinggi, Andre Rosiade: All in Sekali Putaran