Padang, Padangkita.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi sorotan publik setelah salah seorang anggotanya diamankan Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri terkait dugaan keterlibatan dengan kelompok teroris.
Bahkan, sebagian warganet ada yang sampai mendesak lembaga tersebut untuk dibubarkan. Hal itu dibuktikan dengan tagar #BubarkanMUI yang masuk dalam trending topik twitter.
Melansir dari situs mui.or.id, berdirinya MUI dilatarbelakangi oleh gagasan menyatukan para ulama dalam wadah yang akan membahas perkara umat dan mengeluarkan fatwa serta praktik-prakitk ajaran Islam.
Kelahiran MUI dimulai dari dibentuknya panitia persiapan Musyawarah Nasional I Majelis Ulama se-Indonesia dengan SK Menteri Agama No. 28 tertanggal 1 Juli 1975.
Selanjutnya, berlangsung pertemuan musyawarah para ulama se-Indonesia dari tanggal 26 Juli sampai 2 Agustus 1975. Dalam pertemuan itu, dihasilkanlah “Piagam Berdirinya MUI”.
Piagam deklarasi ditandatangani 53 ulama dari seluruh Indonesia. Buya Hamka, ulama asal Maninjau, Sumatra Barat (Sumbar) terpilih sebagai Ketua Umum MUI yang pertama.
Terpilihnya Buya Hamka bukan tanpa alasan. Ia dipandang sebagai ulama tersohor di Asia Tenggara. Karenanya, kapasitas Buya Hamka dinilai tepat untuk memimpin MUI.
Ketika ia menyampaikan pidato saat pelantikan dirinya, Buya Hamka menyatakan bahwa dirinya bukanlah sebaik-baiknya ulama. Ia menyadari bahwa dirinya memang populer, “Tapi kepopuleran bukanlah menunjukkan bahwa saya yang lebih patut.”
Akan tetapi, kehadiran MUI justru mendapat tentangan dari sebagian umat Islam. Pembentukan MUI dianggap tanpa melalui proses musyawarah mendalam yang melibatkan segenap ormas Islam.
Sejarawan M.C Ricklefs dalam buku "Mengislamkan Jawa" melihat, MUI lahir sebagai sebuah wahana bagi pemerintah untuk mengontrol Islam demi kepentingannya.
Banyak umat Islam yang merasa tidak diwakili kepentingannya oleh MUI. Lebih lagi, MUI kerap didengungkan sebagai “tukang stempel” keagamaan terhadap setiap program, kegiatan, dan kebijakan pemerintah yang sekuler.
Meski berbagai pihak waktu itu sempat ragu apakah Buya Hamka mampu menghadapi intervensi kebijakan pemerintah, ia berhasil membangun citra MUI sebagai lembaga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam.
Sebagai Ketua MUI, Buya Hamka meminta agar ia tidak digaji. Ia memilih menjadikan Masjid Agung Al-Azhar sebagai pusat kegiatan MUI alih-alih berkantor di Masjid Istiqlal.
Selain itu, Buya meminta agar diperbolehkan mundur, apabila nanti ternyata sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerja sama antara pemerintah dan ulama.
Apa yang Buya Hamka katakan akhirnya menemukan pembuktian. Pada 1981, sebagai protes terhadap kurang independennya MUI di depan pemerintah, ia mengundurkan diri sebagai Ketua MUI. Saat itu, MUI mengeluarkan fatwa haram mengikuti upacara Natal bagi umat Islam.
Keluarnya fatwa MUI menulai kecaman dari pemerintah. Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara meminta fatwa MUI dicabut karena dianggap mengusik kerukunan antara umat Islam dan Kristen.
Baca juga: Menko Polhukam Mahfud MD Tegaskan Kedudukan MUI yang Kokoh, Tak Mudah Dibubarkan
Menanggapi tuntutan pemerintah untuk mencabut fatwa, Hamka memilih meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI. [den/pkt]