Padangkita.com - Hampir setiap wilayah di Indonesia memiliki Kampung Cina (Tionghoa), Pecinan, atau 'China Town'. Salah satunya di Kota Padang, Sumatera Barat. Orang Tionghoa sejak dulu memang terkenal sebagai salah satu suku bangsa yang merantau ke sejumlah negeri dibelahan bumi ini.
Tidak diketahui secara pasti sejak kapan orang Tionghoa datang ke kota Padang. Namun berdasarkan catatan, dilansir dari poestaka depok, di Kota Padang pada tahun 1862 dilaporkan keberadaan seorang pedagang besar asal Tionghoa bernama Li Thong. Nama ini mengacu pada catatan Sumatra Courant, Nieuws en Advertentieblad, 14-06-1862.
Bahkan pedagang-pedagang besar Tionghoa di Padang ini sudah mendapat kontrak-kontrak dari pemerintah untuk distribusi ke pedalaman sebelum terjadinya Perang Bonjol (Padri) tahun 1837. Artinya bisa saja mereka datang ke kota Padang jauh sebelum tahun-tahun tersebut.
Berdasarkan catatan sejumlah literatur, pada tahun 1819 di Kota Padang sudah terdapat ratusan orang-orang Tionghoa yang mendiami sejumlah wialayah. Jumlahnya sebanyak 200 orang. Mereka menjadi bagian dari warga kota: Eropa/Belanda, Nias, Melayu, Bengalen dan lainnya.
Jumlah orang-orang Tionghoa terus berkembang dan bertambah. Pada akhirnya orang-orang Tionghoa memiliki pemimpin pada tahun 1864 yang diangkat pemerintah sebagai Kapitein dan Letnan Chinezen.
"Jumlah orang Tionghoa di Padang pun meningkat pada tahun 1869. Jumlahnya mencapai 300 orang pada waktu itu," seperti tertulis dalam catatan poestaka depok.
Selain orang-orang Tionghoa, jumlah orang Nias juga telah meningkat pesat dari 1.500 orang pada tahun 1819 menjadi 2.500 jiwa pada tahun 1869. Pada tahun 1889 di Pulau Tello yang didominasi orang-orang Nias bahkan terdapat sebanyak 410 Chineezen.
Pulau Tello saat ini merupakan gugusan kepulauan di Nias Selatan. Pulau Tello juga merupakan ibukota kecamatan dari Pulau-Pulau Batu, Nias Selatan, salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatra Utara.
Komunitas-komunitas orang Tionghoa diduga awalnya berdiam di perkampungan-perkampungan di pinggir pantai baik di Pulau Sumatra maupun pulau-pulau kecil lainnya, seperti di Baros (Tapanoeli), di Laboehan (Deli), di Moeara (Padang) dan Bengcoelen.
Orang-orang Tionghoa ini tersebar dan terhubung oleh pedagang besar dari kapal-kapal dagang orang-orang Tionghoa yang memiliki homebase di Penang, di Malaka, Singapoera, Pulau Onrust (teluk Jakarta) dan Batavia (Jakarta).
Sumber pertama keberadaan orang Tionghoa di pedalaman Pantai Barat Sumatra dicatat oleh Dagh Register di Batavia. Orang Tionghoa yang melaporkan itu telah berdagang selama 10 tahun di Angkola sejak 1690.
Selama dia berada di Angkola, juga mondar-mandir antara Angkola dengan Malaka/Singapoera. Pada tahun 1701 ia dan keluarganya hijrah ke Batavia (menikah dengan putri Angkola dan dikaruniai seorang putri berumur empat tahun).
Untuk menuju Batavia, mereka berangkat dari Angkola ke Baros selama 11 hari perjalanan. Di Baros mereka menumpang kapal orang Tionghoa dan singgah di Padang lalu melanjutkan pelayaran ke Batavia. Orang Tionghoa dan keluarganya yang baru tiba dua hari di Batavia melaporkan pada tanggal 27 Maret 1701 di Casteel Batavia yang dicatat di dalam Dagh Register.
Untuk meningkatkan kinerja ekonomi penduduk, pemerintah mendorong pengusaha-pengusaha Tionghoa untuk melakukan aktivitas perdagangan ke pedalaman.
Penyebaran orang-orang Tionghoa ini dari kota-kota pantai, seperti Padang, Painan, Pariaman, Sibolga dan Singkel ke pedalaman seperti Fort de Kock, Solok dan Padang Sidempuan diduga kuat sejak tahun 1860an ketika terjadi booming kopi.