Sejauh ini, kata Ricky, semangat anak muda Indonesia tetap terjaga (mengembangkan kendaraan listrik), dan terus berdatangan ke Ciheras.
“(Mahasiswa) datang bergantian. Sudah lebih dari 2.000 mahasiswa yang datang ke Ciheras. Tapi tentu saja itu tidak cukup. Pasti tidak cukup. Fokus saya menyiapkan SDM.”
“Terlambat (mengembangkan kendaraan listrik) sudah saya perkirakan. Ke kampus-kampus saya sampaikan, tujuan saya bukan membuat pabrik listrik. Tugas saya bagaimana menyiapakn SDM-SDM yang mengenal, menguasai dan mampu mengimpelementasikan teknologi kendaraan listrik,” ungkap Ricky mantap.
“Memberikan kepercayaan diri bahwa kita ini mampu. Memberikan contoh, merangsang anak-anak muda. Bahwa nanti siapa yang akan bikin pabrik, terserah,” ulas Ricky.
Lalu kenapa tidak kembali ke Jepang?
“Karena janji! Janji bukan karena orangnya, itu karena kita sudah berjanji untuk memperjuangan mobil listrik (nasional). Saya akan meneruskan, menyiapkan SDM. (SDM yang jadi) pengambil keputusan, engineering-engineeringyang hebat. Iklim seperti itulah yang mesti kita ciptakan,” jelas Ricky.
Sejak awal, kata Ricky, tujuannya memang bukanlah membuat pabrik mobil listrik. Tapi untuk memberikan semangat kepada anak-anak muda di negeri ini, bahwa kita mampu berkarya.
Ricky pun menyatakan tak mempersoalkan bagaimana beratnya tantangan memngembangkan kendaraan listrik di Indonesia.
Yang dia alami sendiri, di Jepang untuk mengembangkan 1 unit mobil listrik butuh Rp100 miliar.
“Di Indonesia, biaya pembuatan prototype yang sudah gak masuk akal itu pun masih dikira orang harga mobil. Hanya di Indonesia orang bikin mobil listrik, gajinya gajinya tukang bikin rumah. Bukan gaji arsitek,” kata Ricky sambil tertawa.