Padangkita.com - Dalam sastra lisan, Malin Kundang merantau dari mulut ke mulut para ibu. Dalam sastra tulis, ia lahir dari banyak tangan sastrawan. Hal ini menjadikan Malin Kundang sebagai sosok yang sulit dipahami. Malin Kundang hidup di berbagai tempat, dengan identitas yang berbeda-beda, rumit, inkonsisten, bahkan paradoks.
Banyaknya wajah Malin Kundang dalam berbagai versi cerita, baik lisan maupun tulisan, menjadi ide sutradara Mahatma Muhammad untuk mengangkatnya dalam pertunjukkan berjudul Alam Takambang Jadi Batu, di Kaba KABA Festival 4, 2017, bersama Komunitas Seni Nan Tumpah (KSNT). KSNT sendiri dikenal sebagai grup teater yang sangat produktif.
Menurut Mahatma, pentas tentang Malin Kundang yang diberi judul Alam Takambang Jadi Batu, merupakan pemaknaan lanjutan berbagai cerita yang berkembang. Sutradara muda ini menambahkan, di Alam Takambang Jadi Batu memanfaatkan gerak, bunyi, dan dialog di atas panggung.
“Malin Kundang sebagai pintu masuk, untuk memperlihatkan bagaimana Malin Kundang dikabarkan dari mulut ke mulut, selalu ada pergeseran. Begitu pula para Tukang Kaba. Mereka selalu mencuci tangan atas ceritanya sendiri,” ungkap Mahatma dalam rilis yang diterima Padangkita.com.
Mendekati waktu pementasan pada 3 Agustus 2017 nanti, KSNT terus mempersiapkan, memperhalus, serta memperindah persembahan lakon mereka untuk memanjakan penikmat seni di Sumatera Barat dengan kreatifitas dan energi yang dimilikinya.
“Saat ini, persiapan sudah hampir selesai. Tinggal beberapa persoalan teknis panggung yang masih kami kerjakan,” terang Mahatma.