Profil 9 Taman Wisata Alam di Sumbar yang Siap Dikunjungi: Sejarah, Potensi, dan Aksesibilitas

Profil 9 Taman Wisata Alam di Sumbar yang Siap Dikunjungi: Sejarah, Potensi, dan Aksesibilitas

Kawasan TWA Air Putih dengan Jembatan Kelok Sembilan atau Jembatan Kelok 9 yang menghubungkan Sumbar dan Riau. [Foto: Dok. Ditjen Bina Marga Kementerian PUPR]

Padang, Padangkita.com – Sumatra Barat (Sumbar) punya 9 Taman Wisata Alam (TWA) atau Nature Park. Masing-masing punya keindahan dan kekayaan alam yang tak ternilai.

Diketahui, Taman Wisata Alam (TWA) adalah kawasan pelestarian alam yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata dan rekreasi. Taman Wisata Alam (TWA) dikelola dengan sistem blok seperti blok inti, blok tradisonal, blok pemanfaatan di bawah tanggung jawab Balai Besar/Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Di dalam Taman Wisata Alam (TWA) terdapat hutan rimba, gunung, pantai, laut, hutan mangrove, savana, sungai, danau, air terjun, karst, serta tumbuhan dan satwa yang tinggal di dalamnya.

Di TWA pengunjung dapat melakukan kegiatan, seperti kemping, hiking, trekking, pendakian gunung, menyelam, snorkeling, atau sekadar menikmati keindahan laut.

Bisa juga menjelajahi gua, pengamatan satwa dan tumbuhan, menyaksikan adat istiadat masyarakat setempat, termasuk juga wisata religi, dan lain sebagianya.

Berikut profil 9 Taman Wisata Alam (TWA) atau Nature Park di wilayah Sumbar, lengkap dengan sejarah, keunikan, dan kegiatan yang bisa dilakukan:

1. Taman Wisata Alam (TWA) Air Putih Kelok 9

Lampiran Gambar

Kwasan TWA Air Putih dengan Jembatan Kelok 9. [Foto: Dok. Diskominfotik Sumbar]

TWA Air Putih Kelok 9 ditetapkan fungsinya berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.592/Menlhk/Setjen/PLA.2/8/2016 tanggal 3 Agustus 2016 dengan luas 4.085,57 hektare.

Kawasan ini dulunya termasuk Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam (KSA/KPA) Air Putih, yang menurut sejarahnya merupakan usulan cadangan perluasan cagar alam melalui rekomendasi Gubernur Sumatra Barat No. 471/VI/Bappeda-1978. Kawasan ini terletak di kiri-kanan jalan nasional Padang – Pekanbaru (Sumatra Barat – Riau), tepatnya pada ruas jalan Kelok 9.

Seiring dengan perkembangan, pembangunan kebutuhan transportasi, ruas jalan tersebut kemudian ditingkatkan menjadi jalan layang (fly over) dengan alasan ruas jalan tersebut merupakan salah satu sumbatan kelancaran transportasi kedua provinsi.

Pasca-pembangunan ruas jalan tersebut, potensi keindahan alam wilayah sekitar Kelok 9 semakin terkuak, dan memunculkan usulan kawasan ini dimanfaatkan untuk kepentingan wisata alam bagi kepentingan masyarakat kedua provinsi.

Kawasan ini terletak di Kecamatan Harau dan Kecamatan Pangkalan Kabupaten Limapuluh Kota, dan dikelola oleh Resort KSDA Limapuluh Kota yang berkedudukan di Ketinggian, Sarilamak.

Akses ke kawasan telah terbangun sejak lama sehingga sangat mudah dicapai. Dari Kota Payakumbuh kawasan ini berjarak sekitar 22 km atau 35 menit dengan kendaraan roda 4.

Dari Kota Bukittinggi sekitar 55 km atau 1 jam 30 menit dengan memakai kendaraan roda 4. Kemudian, dari Kota Padang sekitar 140 km via Bukittinggi dapat ditempuh sekitar 4 jam 15 menit dengan kendaraan roda 4. Dari Kota Pekanbaru, Riau berjarak sekitar 165 km, atau ditempuh sekitar 3 jam 45 menit dengan kendaraan roda 4.

Potensi wisata alam kawasan ini, terutama adalah pemandangan sekitar ruas jalan layang Kelok 9 yang indah dan udara yang segar. Sejak awal pembangunan jalan, telah dirancang beberapa titik yang memungkinkan pengunjung untuk berhenti dan menikmati pemandangan alam.

Konsep pembangunan jalan awalnya digagas dengan konsep ‘Nature in harmony‘ (harmoni dengan alam). Pada titik-titik yang rawan longsor selain diperkuat dengan bubur semen juga ditanami dengan tanaman paku-pakuan untuk memperkuat struktur dan perlindungan terhadap longsor secara alam.

Kegiatan wisata alam lain yang potensial dan menarik untuk dikembangkan di kawasan ini adalah berjalan menjelajahi hutan, khususnya pada wilayah ruas jalan lama yang tidak dimanfaatkan lagi.

Kegiatan ini dimaksudkan untuk menjelajahi tipe ekosistem hutan dataran rendah campuran (lowland mixforest), sekaligus menikmati keragaman jenis Nephentes sp (Kantong Semar) yang banyak terdapat di kawasan ini.

Interaksi pengunjung dan hutan yang lebih intens dan akrab ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pengunjung terhadap upaya konservasi sumber daya alam dan mendorong kesadaran publik untuk turut melindungi dan mempertahankan hutan konservasi.

2. Taman Wisata Alam (TWA) Batang Pangean I

Lampiran Gambar

Kawasan TWA Batang Pangean I. [Foto: Dok. BKSDA Sumbar]

Kawasan Batang Pangean I ditetapkan sebagai kawasan TWA berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK.603/Menlhk/Setjen/PLA.2/8/2016 tanggal 3 Agustus 2016 dengan luas 14.288,36 hektare.

Kawasan ini dulunya merupakan KSA/KPA dengan nama yang sama dan pertama kali ditunjuk sebagai kawasan hutan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 623/ Kpts/Um/8/82 tanggal 22 Agustus 1982.

Secara administratif kawasan TWA Batang Pangean I terletak di Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat (Sumbar), khususnya di Kecamatan Kamang Baru, Tanjung Gadang dan Sijunjung. Kawasan TWA Batang Pangean I berada pada posisi geografis 101° 21’ 0.038” BT hingga 101° 06’ 0.051” BT dan 00° 41’ 0.012” LS hingga 00° 53’ 0.012” LS.

Kawasan ini termasuk wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah III Sawahlunto/Sijunjung, dan dikelola oleh Resort KSDA Sijunjung. Batas kawasan TWA Batang Pangean I adalah; sebelah Utara berbatasan dengan hutan lindung Sijunjung dan areal penggunaan lain, bagian Timur berbatasan dengan CA Batang Pangean II, areal penggunaan lain dan Kecamatan Tanjung Gadang.

Kemudian, bagian Selatan berbatasan dengan Hutan Lindung dan Desa Kiliran Jao, bagian Barat berbatasan dengan areal pemanfaatan lain dan Desa Kunangan dan Galogah. Kawasan ini berada di kiri jalan Lintas Sumatra dari arah Solok menuju Kiliran Jao. Berdasarkan perhitungan planimetris, TWA Batang Pangean I ini memiliki batas sepanjang 119,90 km yang belum seluruhnya ditata batas temu gelang.

Topografi kawasan ini terdiri dari punggung-punggung gunung yang sangat terjal terorientasi di atas batuan granit berbukit, bergelombang dan berbukit-bukit rendah dan terjal. Kemiringan kawasan > 60% dengan aplitudo >300 m.

Pada kawasan terdapat 4 kelompok bentang darat, antara lain; daerah bergunung-gunung dan berbukit-bukit, daerah berbukit-bukit kapur, daerah bergelombang dengan torehan di atas permukaan bumi dan daerah dataran dan teras sungai.

Berdasarkan sistem Soil Taksonomy (USDA, 1975), Pusat Penelitian Tanah dan FAO/UNESCO (1974), jenis tanah dan klasifikasi kepekaan erosi wilayah ini sebagian besar terdiri dari dystroped, tropodults, tpopertens yang tidak memungkinkan untuk diusahakan sebagai lahan budi daya tanaman semusim, melainkan lebih cocok untuk dijadikan perhutanan dengan orientasi konservasi tanah.

Struktur tanah lapisan atas dan bawah agak halus, solum tanah agak dangkal, kesuburan tanah rendah, kejenuhan basa rendah, kapasitas tukar kation rendah, kejenuhan alumunium tinggi dan keasaman tanah tinggi.

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson TWA Batang Pangean I termasuk tipe A dengan curah hujan rata-rata 3.000 mm/tahun. Pada tahun 1997 jumlah ratarata bulan kering berkisar 0 bulan dan jumlah rata-rata bulan basah berkisar 10 bulan sedangkan suhu rataratanya berkisar 270 C.

Berdasarkan letak, ketinggian, unsur iklim dan vegetasinya, ekosistem kawasan ini diklasifikasikan ke dalam tipe ekosistem hutan hujan campuran non dipterocarpaceae. Vegetasi kawasan ini, sesuai ketinggian tempatnya terbagi menjadi hutan daratan rendah, hutan sub montana, hutan montane dan hutan sub-alpine.

Potensi flora yang terdapat pada kawasan TWA ini sangat beranekaragam, dan banyak ditumbuhi oleh jenis yang bernilai ekonomis tinggi, antara lain dari keluarga Dipterocarpaceae. Jenis-jenis flora yang ada pada kawasan ini seperti Meranti Katuba (Hopea dryobalanop), Laban (Vitex pubescens), Bintangur (Callophylum sp), Paning-paning, Kalumpang (Sterculia cordata), Resak (Vatica rasak), dan jenis lainnya.

Pengamatan mengenai keberadaan fauna yang terdapat pada kawasan ini tidak dapat dilakukan seperti halnya pengamatan yang dilakukan terhadap flora, tetapi untuk mengetahui keberadaan jenis fauna yang terdapat pada kawasan tersebut lebih kepada pengamatan jejak, suara serta keterangan-keterangan yang diperoleh dari masyarakat sekitar kawasan.

Di mana dari keterangan-keterangan tersebut dapat diperoleh informasi bahwa fauna yang terdapat dalam kawasan ini antara lain; Harimau (Panthera tigris sumatrensis), Kambing Hutan (Capricornis sumatrensis), Beruang Madu (Helarctos malayanus), Siamang (Hylobates sindactylus), Simpai (Presbites melalops), Tapir (Tapirus indicus), dan Ungko (Hylobates agilis).

Kemudian, Kijang (Muntiacus muncak), Kancil (Tragulus javanicus), Kera (Macaca fascicularis), Musang (Paradoxurus hermaproditis), Babi (Sus scrofa).

Sedangkan untuk jenis fauna burung antara lain; Kuau (Argusianus argus), Taguak-taguak (Chrysolaptes lucidus), Sawai (Dicrurusaeneus), Murai Batu (Copsychus malabicus), Elang (Accipiter sp), Enggang (Bucerros rhinoceros), Kikiak (Anthrococeros malayunis), Punai (Thereron fulri), Murai Daun (Rhipidulaereola), dan Baki (Crininger ochraceus).

TWA Batang Pangean I mencakup 3 wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Sijunjung, Kecamatan Tanjung Gadang dan Kecamatan Kamang Baru. Sedangkan untuk Nagari yang berada di sekitar kawasan antara lain; Nagari Solok ambah, Nagari Tanjung Gadang, Nagari Tanjung Lolo, Nagari Sungai lansek, Nagari Siaur, Nagari Muaro Takung, Nagari Kamang baru, Nagari Kunangan, Nagari Aie Amo, Nagari Sungai Betung, Nagari Maloro dan Nagari Paru.

Pada umumnya masyarakat nagari tersebut memiliki mata pencaharian sebagai petani sawah dan perkebunan sehingga tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan sangat tinggi, hal ini dapat menyebabkan keberadaan kawasan ini menjadi rentan terhadap gangguan dan konflik kepentingan dengan masyarakat setempat menjadi sangat besar.

3. Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Marapi

Lampiran Gambar

Tim BKSDA Sumbar di puncak Gunung Marapi. [Foto: Dok. BKSDA Sumbar]

TWA Gunung Marapi telah dikelola sebagai kawasan hutan sejak zaman penjajahan Belanda. Kemungkinan kawasan ini dikelola sebagai kawasan hutan karena pertimbangan kondisi alam dan kepentingan perlindungan terhadap Gunung Marapi.

Penetapan fungsi kawasan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK.599/ Menlhk/Setjen/PLA.2/8/2016 Tanggal 3 Agustus 2016 dengan luas 8.009,74 hektare.

Sebelumnya kawasan ini berfungsi sebagai KSA/KPA berdasarkan rekomendasi Gubernur KDH Tingkat I Sumatra Barat sesuai dengan surat No. 471/VI/ BAPPEDA-78 tanggal 12 Juni 1978 tentang cadangan Cagar Alam yang terdiri dari 10 lokasi.

TWA Gunung Marapi terdiri dari Gunung Marapi yang masih aktif dengan ketinggian 2.891,3 m dpl. Gunung ini merupakan gunung api tipe A yang teraktif di Pulau Sumatra, termasuk dalam rangkaian pegunungan Bukit Barisan pada jalur Barat Laut – Tenggara.

Pada gunung ini terdapat beberapa kaldera antara lain adalah Kaldera Bancah, Kapundan Tuo, Kabun Bungo, Kapundan Bungsu, Kawah Verbeek atau Kapundan Tangah. Kawasan ini termasuk iklim dengan tipe A dengan rata- rata curah hujan tiap tahun 2.743 mm/tahun.

Seperti laiknya kawasan gunung berapi, topografi daerah ini sebagai didominasi oleh kemiringan curam dan sangat curam. Data yang ada menunjukkan jenis tanah di kawasan ini terdiri dari andosol, podsolik merah kuning, sedangkan dari data kelas tanah, jenis tanah di kawasan ini didominasi oleh jenis andosol yang termasuk peka terhadap erosi.

Ekosistem kawasan ini terdiri formasi hutan dataran rendah, hutan sub montana, hutan montana dan hutan sub-alpina. Data dari kegiatan Eksplorasi dan Penelitian Flora Gunung Merapi oleh LIPI (kini Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN) pada tahun 2011 menyebutkan jenis tanaman bawah di kawasan ini didominasi oleh jenis Herba.

Lima jenis yang memiliki INP tertinggi adalah Ophiorrhiza sp (INP 18,87), Elatostema sp (INP 13,13), Syzgium sp (INP 10,48), Dryopteris sp (INP 6,56), dan Cyrtandra sp (INP 6,38).

Sedangkan untuk tegakan jenis pohon yang ditemukan di kawasan didominasi oleh jenis Macropanax sp, Villebrunea sp, Castanopsis javanica, Ficus sp, dan Syzgiup sp.

Selain jenis tanaman yang dominan tersebut di atas, di kawasan TWA Gunung Marapi ini dapat ditemui jenis tanaman antara lain adalah Binting (Bigchoffia javanica), Medang (Litsea sp), Menambang (Vernonia arborea), Sapek (Macaranga sp), Kemenyan (Styrak sp), Rasamala (Althingia exselsa), Cemara Gunung (Casuarina junghuniana).

Jenis fauna yang ada antara lain Siamang (Hylobates syndactylus), Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrensis), Kambing Hutan (Caprinonis sumatrensis), Rusa Sambar (Cervus unicolor), Ayam Hutan (Gallus gallus), Babi Hutan (Sus scrofa), dan lain-lain. Jenis burung yang terdapat didalam kawasan yaitu jenis Burung Punai (Treron sp).

4. Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Sago Melintang

Lampiran Gambar

Kawasan TWA Gunung Sago Melintang seperti negeri di atas asan. [Foto: Dok. BKSDA Sumbar]

Fungsi kawasan ditetapakan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.596/Menlhk/ Setjen/PLA.2/8/2016 tanggal 3 Agustus 2016 dengan luas 5.269,01 hektare.

Kawasan ini dulunya berfungsi KSA/ KPA yang ditunjuk pertama kali melalui Keputusan Menteri Pertanian No.623/ Kpts/Um/8/82 tanggal 22 Agustus 1982 yang didasarkan rekomendasi Gubernur KDH Tk. I Sumatra Barat No.471/ VI/BAPPEDA-78 tanggal 12 Juni 1978. Secara administrasi pemerintahan termasuk dalam Kabupaten Tanah Datar (1.854,38 Ha/ 35,2%) dan Kabupaten Limapuluh Kota (3.414,63 Ha/ 64,8%).

Sedang secara geografis kawasan ini terletak pada posisi 100° 43’ 0.009” BT hingga 100° 37’ 0.057” BT 00° dan 17’ 0.040” LS hingga 00° 22’ 0.012” LS. Menurut wilayah pengelolaan KSDA, kawasan ini dikelola bersama oleh Seksi KSDA Wilayah I Pasaman dan Seksi KSDA Wilayah II Tanah Datar.

Mengamati peta situasinya, kawasan ini berbatasan dengan areal penggunaan lain sebagai berikut; sebelah Barat berbatasan dengan Nagari Situjuah Padang Laweh, sebelah Timur berbatasan dengan Nagari Banjar Sari Kecamatan Sago Halaban, sebelah Utara berbatasan dengan nagari Sungai Kamunyang Kabupaten Limapuluh Kota, dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Lintau Buo.

Aksessibilitas kawasan ini terletak sekitar 15 km arah Selatan Kota Payakumbuh dan sekitar 35 km arah Selatan Kota Batusangkar.

Untuk mencapai kawasan ini relatif cukup mudah karena sarana jalan yang ada telah cukup baik, bahkan di beberapa daerah terdapat jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan roda 4. 

Topografi kawasan terdiri dari punggung-punggung gunung yang sangat terjal dengan ketinggian minimum kawasan dari permukaan laut terukur 800 m dpl dengan ketingginan maksimum mencapai 2.262 m dpl (Gunung Malintang).

Jenis tanah di kawasan ini dapat dideskripsikan sebagai jenis tanah yang banyak dipengaruhi oleh gunung berapi, merupakan lapisan pedsolik yang baik untuk jenis tanaman keras dan tanaman semusim, jenis tanah terdiri dari; tanah aluvial di dataran rendah sepanjang sungai dengan ketinggian mencapai 1.000 m dpl, sering juga disebut tanah endapan atau relant deposits yang belum mengalami perkembangan fosil yang baik, berwarna keabu-abuan sampai ke coklat-coklatan, tekstur tanah liat atau liat berpasir.

Tanah pedosolik, memiliki lapisan tanah dangkal (40 – 100 cm), warna cokelat kekuning-kuningan, tekstur pasir sedang sampai kasar, tanah cukup peka terhadap erosi karena daya menahan air yang jelek.

Kompleks podsolik merah kuning, cokelat dan latosol, dengan lapisan tanah dalam (90 – 180 cm), batas-batas antara horizon yang nyata, warna kemerah-merahan hingga kuning atau kekuning-kuningan, tekstur lempung berliat, konsistensinya adalah gembur di bagian atas (top soil) dan tegakan di lapisan bawah (sub soil).

Tanah latosol, lapisan tanah yang dalam (1,3 – 5 m) dengan batas antara horizon tidak jelas, warna latosol merah, cokelat hingga kekuning-kuningan. Tekstur tanah liat, semakin merah semakin keras. Umumnya terletak di ketinggian sampai 1.000 dpl, dengan bentuk wilayah yang berombak, bergelombang, berbukit hingga bergunung, dan Brown forerst soil, memiliki lapisan yang cukup tebal (100 – 125 cm), tanah berwarna hitam, kelabu hingga cokelat tua, tekstur debu lempung, daya menahan air cukup peka dengan permenbilitas tanah cepat.

Bagian kawasan yang berada di kabupaten Tanah Datar formasi geologinya terdiri dari batuan kapur rendzina atau tanah batu kapur abu-abu, pada lereng yang tidak terlalu curam biasanya berwarna kehitaman atau abu-abu gelap sementara pada lereng-lereng yang sangat curam tanah sangat tipis berwarna abu-abu pucat.

Sebagian besar tanah pada lereng yang curam struktur tanahnya belum sempurna, hal ini karena terjadinya pencampuran yang terus menerus dari tanah dan hewan tanah yang jumlahnya cukup banyak di daerah ini.

Tipe iklim kawasan menurut pembagian iklim oleh Schimdt dan Ferguson dikategorikan sebagai iklim tipe A dengan curah hujan rata-rata tahunan 1.700 – 2.500 mm, sedang temperatur menurut celsius berkisar antara 200 sampai 270.

Di kawasan ini mengalir beberapa sungai yang menjadi sumber air bagi masyarakat daerah sekitarnya untuk kepentingan, pertanian, perternakan, perikanan, kebutuhan sehari-hari hingga wisata pemandian. Beberapa aktifitas pemanfaatan air yang diketahui antara lain adalah penampungan air milik PT. PDAM Kabupaten Limapuluh Kota.

Potensi wisata alam kawasan ini antara lain adalah wisata alam pendakian dan berkemah yang pada beberapa daerah telah ada terutama di daerah Kabupaten Limapuluh Kota. Terdapat jalur yang bisa dijadikan tracking untuk sampai ke puncak gunung, track pendakian di kawasan ini relatif lebih mudah dicapai.

Beberapa daerah tertentu di kawasan ini memiliki view keindahan alam, pemadangan wisata alam yang ditawarkan adalah pemandangan kota Payakumbuh pada waktu pagi maupun malam hari. Di sekitar kawasan juga terdapat lokasi wisata pemandian, seperti pemandian batang tabik yang cukup populer di tingkat lokal dan adanya event-event wisata juga sering dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi ataupun kabupaten

5. Taman Wisata Alam (TWA) Lembah Harau

Lampiran Gambar

Kawasan Taman Wsata Alam (TWA) Lembah Harau terlihat dari atas. [Foto: Dok. BKSDA Sumbar]

Taman Wisata Lembah Harau ditunjuk sebagai alih fungsi dari kawasan CA Lembah Harau melalui Keputusan Menteri Pertanian No.478/kpts/Um/8/1979 tanggal 3 Agustus 1979, dengan luas 27,5 hektare.

Perubahan fungsi dari kawasan cagar alam tersebut dilatarbelakangi oleh adanya potensi wisata yang dapat dimanfaatkan pada kawasan cagar alam, yaitu berupa pemandangan yang indah dan wisata pemandian. Batas kawasan sepanjang 12.016 m telah ditata batas temu gelang.

Kawasan TWA Lembah Harau relatif mudah dikunjungi, kawasan ini berdekatan dengan ruas jalan negara Bukittinggi – Pekanbaru, dengan kondisi jalan beraspal. Kawasan ini berjarak sekitar 6 km dari Sarilamak (Ibu Kota Kabupaten Limapuluh Kota), sekitar 10 km dari Tanjung Pati, dan sekitar 134 km dari Kota Padang.

Kawasan ini merupakan tipe vegetasi primer hutan hujan tropis pegunungan yang memiliki keanekaragaman jenis flora antara lain famili Lauraceae, Myrtaceae, Gurtaceae, Guttiferae dan Dipterocarpaceae, jenis anggrek dan kantong semar.

Fauna yang dapat dijumpai antara lain; Kambing hutan, siamang, rusa, tapir dan burung kuau. Karena luasannya yang relatif kecil dan tingginya aktivitas di dalam kawasan, informasi fauna yang ada merupakan catatan dari perjumpaan satwa yang melintas di dalam kawasan.

Dari Rencana Pengembangan Kegiatan Wisata di TWA Lembah Harau (2003), potensi wisata alam yang terdapat di kawasan TWA Lembah Harau antara lain adalah:

  1. Tebing-tebing curam yang secara alam menjadi pembatas kawasan merupakan fenomena alam yang menarik baik secara estetika maupun pemanfaatan lain seperti olahraga panjang tebing;
  2. Terdapat 7 buah air terjun di kawasan dengan latar belakang tebing-tebing curam, antara lain adalah air terjun Akar Berayun, Serasah Bunta, Serasah Air Luluih;
  3. Goa-goa dan celah-celah alami di antara tebing-tebing dan panorama; 4. Monumen peninggalan Pemerintah Hindia Belanda di sekitar lokasi air terjun Serasah Bonta;
  4. Tebing echo, terdiri dari 2 tebing yang saling berhadapan dan dapat memantulkan suara dan menimbulkan gaung yang cukup lama;
  5. Hutan hujan tropis yang terdapat di dalam kawasan merupakan salah satu objek wisata alam yang sekaligus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian;
  6. Keberadaan Taman Margasatwa Lembah Harau yang berdekatan dengan kawasan, taman margasatwa ini memiliki koleksi jenis satwa liar antara lain jenis burung dan Kijang. Mulai tahun 2012, rute Tour de Singkarak (event tahunan pariwisata internasional di Sumatra Barat) mengikutsertakan kawasan ini sebagai salah satu rute lintasan perlombaan, hal ini dinilai mampu menjadi sarana promosi positif untuk peningkatan pengunjung ke kawasan ini

6. Taman Wisata Alam (TWA) Mega Mendung

Lampiran Gambar

Kawasan TWA Mega Mendung Lembah Anai, Kabupaten Tanah Datar. [Foto: Tangkapan Layar YouTuber Fairuz Mulyadi]

Kawasan TWA Mega Mendung merupakan hasil alih fungsi sebagian CA Lembah Anai melalui Keputusan Menteri Pertanian No.174/Kpts/Um/3/1974 tanggal 27 Maret 1974, sebagian areal cagar alam ini, yaitu seluas 12,5 hektare dijadikan kawasan taman wisata alam.

Penetapan kawasan taman wisata alam tersebut, sangat mungkin dilatarbelakangi oleh keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi, serta memiliki objek-objek wisata yang dapat menarik minat para pengunjung.

Panjang batas keliling Taman Wisata Alam Mega Mendung adalah 5,025 km yang merupakan batas fungsi dengan Cagar Alam Lembah Anai dan telah di tata batas temu gelang pada tahun 2000. Berdasarkan koordinat bumi, Taman Wisata Alam Mega Mendung terletak pada koordinat 1000 21’ 3,5999” BT – 1000 20’ 34,8” BT dan 00 28’ 34,968” LS – 00 dt 29’ 3,2856” LS.

Menurut administrasi pengelolaan hutan, termasuk dalam wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah II yang berkedudukan di Batusangkar, sedangkan menurut administrasi pemerintahan kawasan ini terletak di wilayah Nagari Singgalang, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar.

Taman Wisata Mega Mendung mempunyai aksessibilitas yang mudah dicapai. Lokasinya yang terletak di pinggir jalan raya Padang-Bukittinggi dapat dijangkau dengan berbagai jenis alat transportasi darat. Hal ini merupakan potensi kawasan yang mempunyai nilai lebih yang ditawarkan pada pengunjung. Jarak lokasi ini sekitar 64 km dari Kota Padang, sementara dari Kota Padang Panjang yang merupakan kota terdekat berjarak sekitar 15 km.

Berdasarkan ketinggian letak dari permukaan laut, Taman Wisata Alam Mega Mendung terletak pada ketinggian ± 450 m dpl. Kondisi geomorfologi secara umum bertopografi agak landai. Daerah ini merupakan bagian dari kesatuan pegunungan vulkanik.

Jumlah curah hujan rata-rata 4609,48 mm/tahun atau rata-rata berkisar antara 215,67 – 512,4 mm/bulan dan jumlah hari hujan rata-rata 13,67 – 21,80 hari/bulan. Suhu udara berkisar antara 19,670 C – 25,30 C. Kelembaban udara 94% atau termasuk tipe iklim A sampai B menurut klasifikasi Schmidt – Ferguson atau Af-Am menurut klasifikasi Koppen. TWA ini termasuk DAS Batang Anai.

Pola drainase sungai adalah meander, yakni pola yang terbentuk karena pengaruh relief yang berombak, agak curam dan berbelok-belok. Kondisi ini membuat Sungai Batang Anai memiliki arus sungai yang tergolong deras. Dari hasil observasi kegiatan penyusunan Rencana Pengelolaan TWA Mega Mendung menunjukkan bahwa di dalam kawasan Taman Wisata Alam Mega Mendung kurang lebih 18 famili tumbuhan pohon memiliki nilai penting yang tinggi.

Dari 18 famili ini, ada sekitar 7 famili yang memiliki dominasi yang tinggi pada tempat-tempat tertentu dalam kawasan ini. Famili tersebut adalah Urticaceae, Euphorbiaceae, Lauraceae, Rubiaceae, Myrtaceae, Meliaceae dan Moraceae.

Selain itu dalam kawasan ini ditemukan juga jenis tumbuhan tingkat tinggi yang unik, langka dan endemik yaitu Raflesia arnoldii. Kawasan Taman Wisata Alam Mega Mendung termasuk biom hutan hujan tropika, sub-bioma hutan tanah kering dengan tipe ekosistem non-dipterocarpaceae. Secara umum fauna di Taman Wisata Alam Mega Mendung beraneka ragam.

Dari hasil observasi dan informasi diperoleh sekitar 98 jenis, yang terdiri dari ikan (10 jenis), amfibia (11 jenis), reptilia (9 jenis), burung (55 jenis) dan mamalia (13 jenis). Dengan menggunakan metode Mac Kinnon (1991) ditemukan 55 jenis burung di Taman Wisata Alam Mega Mendung.

Fauna jenis lainnya diduga juga terdapat di kawasan ini, tetapi tidak terdeteksi selama observasi. Fauna lain yang cukup potensial tersebut adalah kupu-kupu (Lepidoptera).

Potensi dan aktifitas wisata utama di TWA Mega Mendung adalah aktifitas menikmat suhu udara yang sejuk dan udaranya. Dengan mengunjungi taman wisata alam ini pengunjung dapat menghirup udara segar dan dengan didukung oleh fasilitas wisata alam lainnya akan memberikan kepuasan tersendiri bagi para pengunjung.

Bagi sekelompok masyarakat yang sangat menyukai tinggal di alam bebas, TWA Mega Mendung mempunyai potensi untuk dijadikan areal Kemping. Potensi ini akan lebih menarik bagi pengunjung apabila disediakan fasilitas dan media interpretasi yang mendukung, sehingga aktifitas wisata yang dikembangkan akan memiliki nilai lebih.

Keberadaan Sungai Batang Anai yang melintasi kawasan ini mempunyai potensi untuk dijadikan objek wisata kali renang. Apabila sudah ditata dengan baik dan dilengkapi dengan media interpretasi yang lengkap, sungai ini berpotensi untuk menarik minat pengunjung yang menyukai kegiatan ini.

Keberadaan jenis flora endemik jenis Raflesia arnoldii mempunyai potensi wisata pendidikan bagi masyarakat. Potensi ini dapat dimanfaatkan apabila dikelola dengan penuh kehati-hatian. Pihak pengelola harus dapat menjaga agar pemanfaatan sebagai objek wisata tidak mengganggu kelangsungan hidup jenis flora ini.

Taman Wisata Alam Mega Mendung merupakan salah satu objek wisata alam yang menjadi unggulan bagi Kabupaten Tanah Datar disamping objek wisata lainnya yang ada di kabupaten ini. Pada bagian Selatan kawasan dalam radius sekitar 1 km terdapat Air Terjun yang mempunyai ketinggian ± 20 m dengan lebar rata-rata 1 m pada saat tidak hujan dan 2-2,5 m jika terjadi banjir/hujan.

Air terjun ini sering juga dijadikan sebagai objek wisata oleh masyarakat. Pada bagian Selatan air terjun ini sekitar 1 km terdapat lokasi wisata Malibo Anai dan Anai Resort yang sudah masuk kawasan Kabupaten Padang Pariaman.

7. Taman Wisata Alam (TWA) Rimbo Panti

Lampiran Gambar

Salah satu potensi wisata di TWA Rimbo Panti, Pasaman. [Foto: Dok. BKSDA Sumbar]

Penunjukkan awal TWA Rimbo Panti dilakukan melalui Keputusan Menteri Pertanian No.284/Kpts/Um/6/1979 tanggal 1 Juni 1979 dengan luas 570 ha, sebagai alih fungsi sebagian kawasan CA Rimbo Panti.

Saat ini status kawasan ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 101/Menhut-II/2011 tanggal 18 Maret 2011 tentang Penetapan Kawasan Taman Wisata Alam Rimbo Panti yang terletak di Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatra Barat seluas 571,10 hektare.

Berdasarkan koordinat bumi, kawasan taman wisata alam ini terletak antara 000 18’ 45’’ LU – 000 22’ 30’’ LU dan 1000 00’ 00’’ BT dan 1000 07’ 30’’ BT.

Menurut administrasi pengelolaan hutan, termasuk dalam wilayah kerja Seksi KSDA Wilayah Pasaman dan sekitarnya sedangkan menurut administrasi pemerintahan, kawasan ini terletak di wilayah Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman.

Taman Wisata Alam Rimbo Panti yang terletak pada ketinggian antara 200 sampai 300 m dpl, pada daerah dengan kelerengan yang bervariasi mulai dari landai sampai kelerengan lebih dari 60º dan konfigurasi lahan berbukit dan berawa-rawa.

Sumber air panas dalam kawasan ini mengindikasikan bahwa secara geologis cagar alam ini mempunyai struktur sesar. Batang Air Sulang yang merupakan sungai terbesar di sekitar taman wisata alam dengan debit 6,42 m3 /dt, telah dimanfaatkan untuk mengairi saluran irigasi Panti Rao. Saluran irigasi yang memanfaatkan kawasan Taman Wisata Rimbo Panti ini telah dibangun menjadi saluran Induk Kiri. Taman Wisata Rimbo Panti memiliki keterwakilan tipe ekosistem dataran rendah dan hutan rawa.

Berdasarkan data analisis vegetasi ini diperoleh bahwa di lokasi terestrial dataran rendah mempunyai keanekaragaman jenis yang cukup tinggi yaitu 25 jenis/1000 m2, sedangkan di lokasi hutan rawa hanya 17 jenis/1000 m2.

Jenis-jenis lain yang merupakan jenis-jenis langka dan dilindungi yang ditemukan serta berdasarkan informasi dari petugas dan masyarakat antara lain Amorphophalus titanum (bunga bangkai), Rafflesia arnoldi (bunga raksasa), Morus macroura (Andalas), dan berjenis-jenis Anggrek. Secara umum keadaan fauna di kawasan Taman Wisata Alam masih memperlihatkan keanekaragaman jenis cukup tinggi.

Hasil observasi langsung ke lapangan memperlihatkan bahwa masih ditemukan 123 jenis satwa liar, terdiri dari ikan (11 jenis), amfibia (4 jenis), reptilia (8 jenis), burung/ aves (81 jenis), dan mamalia (18 jenis).

Habitat dan penyebaran satwa tersebut di atas di daerah Rimbo Panti hampir merata, namun agak kurang pada strata I atau altitud lebih dari 300 m dpl. Hal ini mungkin disebabkan adanya kendala dalam migrasi lokal atau terhalangnya jalur jelajah satwa tersebut. Penghalang utama diduga adalah jalan raya dan saluran irigasi yang membentang pada kawaan ini.

Taman Wisata Alam Rimbo Panti memiliki potensi sumber daya alam hayati maupun non hayati yang membentuk suatu obyek yang dapat dikembangkan sebagai komoditas jasa wisata.

  1. Posisi kawasan yang terletak di kiri kanan jalan nasional Padang – Medan sehingga sangat strategis sebagai lokasi pemberhentian selama perjalanan dan didukung oleh kondisi lingkungan yang masih asri dan alami;
  2. Sumber air panas yang mengalir disekitar kawasan wisata dan tempat pemandian air panas merupakan potensi khas yang dimiliki Taman Wisata Rimbo Panti. Saat ini telah tersedia kolam pemandian air panas dan atraksi merebus telur menggunakan air panas alami oleh masyarakat setempat.
  3. Jalur tracking yang melewati hutan hujan tropis dataran rendah, melintasi ekosistem rawa berair panas dan pohon-pohon yang berusia ratusan tahun menjadi pesona di taman wisata ini.
  4. Selain potensi wisata diatas juga terdapat beberapa sarana pengunjung antara lain; pusat informasi herbarium, kupel, parkir area, tempat bermain anakanak, MCK, musala dan tempat belanja makanan dan minuman.

8. Taman Wisata Alam (TWA) Saibi Sarabua

Lampiran Gambar

Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Saibi Sarabua. [Foto: Dok. BKSDA Sumbar]

Penetapan fungsi kawasan sebagai Taman Wisata Alam berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK.602/Menlhk/Setjen/PLA.2/8/2016 Tanggal 3 Agustus 2016 dengan luas 3.220,99 hektare.

Sedangkan berdasarkan analisa keputusan penunjukkan hutan provinsi luas kawasan adalah 3.245,83 Ha. Secara geografis kawasan ini terletak pada posisi 99° 12’ 0.035” BT hingga 99° 08’ 0.011” BT dan 1° 28’ 0.012” LS hingga 01° 34’ 0.021” LS.

TWA Saibi Sarabua secara letak administratif termasuk dalam Kecamatan Siberut Tengah, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Menurut pengelolaannya, kawasan ini terletak dalam pengawasan Seksi Konservasi Wilayah II Tanah Datar yang berkedudukan di Batusangkar dan sehari-hari di bawah pengelolaan Resort KSDA Padang Pariaman yang berkedudukan di Kota Pariaman.

Kawasan ini memiliki tipe hutan yang sangat unik yaitu hutan mangrove dan hutan dataran rendah. Hutan Mangrove yang berfungsi sebagai benteng dari abrasi pantai karena langsung berbatasan dengan laut. Sedangkan hutan dataran rendah berfungsi sebagai tempat kehidupan beberapa satwa endemik.

Daerah daerah mangrove didominasi oleh jenis Api – api (Avicennia alba), Bakau (Rhizophora apiculata) dan Songgon (Baringtonia racemosa). Masyarakat sekitar memanfaatkan hutan mangrove ini untuk tempat mencari ikan.

Di kawasan ini dapat ditemukan jenis satwa endemik Mentawai seperti Bilou (Hylobates klosii), Bokkoi (Macaca pagensis), Simakobu (Simias concolor), dan Joja (Presbytis potenziani). Potensi wisata kawasan ini eksositem mangrove dan pemandangan bawah laut.

9. Taman Wisata Alam (TWA) Singgalang Tandikek

Lampiran Gambar

Taman Wisata Alam Singgalang Tandikek. [Foto: Dok. BKSDA Sumbar]

Penetapan fungsi TWA Singgalang Tandikat berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK.600/Menlhk/Setjen/PLA.2/8/2016 Tanggal 3 Agustus 2016 dengan luas 9.803,50 Ha. Kawasan hutan ini ditetapkan sebagai kawasan hutan sejak pemerintahan Belanda Gouvernement Besluit No. 35 Tahun 1917 tanggal 31 Januari 1917, yang dikelompokkan dalam kawasan hutan register 2.

Posisi geografis kawasan berada pada posisi 100° 22’ 0.025” BT hingga 100° 16’ 0.028” BT dan 0°21’ 0.035” LS hingga 00° 28’ 0.051” LS. Secara administrasi pemerintahan, kawasan ini terletak di Kabupaten Tanah Datar, Agam dan Padang Pariaman.

Kawasan Suaka Alam Singgalang Tandikat (Tandikek) memiliki aksesibilitas relatif baik, yang dikelilingi oleh jalan raya beraspal hot mix, untuk mencapai kawasan melalui jalan setapak dengan berjalan kaki dengan jarak bervariasi antara 1 -10 km.

Jarak kawasan ke beberapa kota/daerah penting adalah sebagai berikut; jarak ke Kantor Balai KSDA Sumatra Barat (Kota Padang) sekitar 60 km, jarak ke kantor Seksi Konservasi pengelola (Batusangkar) sekitar 35 km, jarak ke Ibu Kota Kabupaten Agam (Lubuk Basung) sekitar 50 km, jarak ke Kota Pariaman sekitar 30 km.

Tanah kawasan Suaka Alam Singgalang Tandikat bagian Padang Pariaman terdiri dari tanah latosol, andosol humic dan tanah andosol okrik. Jenis tanah latosol merupakan tanah yang sangat potensial, dengan struktur halus, drainase baik, suhu dalam, kesuburan sedang.

Jenis tanah andosol humic dan okrik terbentuk dari bahan baku pada pegunungan vulkanik Singgalang. Yang perlu mendapat perhatian adalah jenis tanah tersebut termasuk jenis yang peka terhadap erosi, hingga pembukaan tutupan hutan akan segera menimbulkan dampak terhadap kesuburan lahan.

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim kawasan ini diklasifikasikan ke dalam Tipe A sampai A2 dengan jumlah bulan basah lebih dari 9 bulan dalam setahun. KSA/ KPA Singgalang Tandikat memiliki satuan fisiografi datar sampai berbukit.

Daerah agak landai dan lembah sungai telah lama dimanfaatkan masyarakat sebagai lahan pertanian. Ketinggian kawasan dari permukaan laut tercatat 1.190 – 2.890 m dpl, Gunung Tandikat (Tandikek) memiliki ketinggian 2.438 m dpl sedangkan Gunung Singgalang sedikit lebih tinggi, tercatat 2.877 m dpl.

Gunung Tandikat merupakan gunung yang masih aktif, sedangkan Gunung Singgalang sudah tidak aktif lagi, di puncak Singgalang terdapat Telaga Dewi yang dahulunya diperkirakan merupakan salah satu kaldera dulunya dengan luas sekitar 2 hektare.

Berdasarkan letak, ketinggian, unsur iklim, dan vegetasinya, ekosistem Suaka Alam Singgalang Tandikek diklasifikasikan ke dalam tipe ekosistem hutan hujan pegunungan campuran non-Dipterocarpaceae. Vegetasi hutan ini, sesuai ketinggian tempatnya, terbagi menjadi hutan dataran rendah, hutan sub montana, hutan montana, dan hutan sub-alpina.

Hasil eksplorasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (sekarang BRIN) pada tahun 1996 menunjukan kawasan ini kaya akan jenis tanaman bawah dan anggrek, di antaranya; Jasminum sp (melati), Haberria sp, Eria pilitera, Eria iridifolia, Trichotosia sp, Epigenicum cymbidiodes, Eria panea, Globa sp, Phaius tankervilliae Bl, Bulbophyllum adorata Lindl, Goodyera sp, Malaxis sp, Liparis latifolia, Cryptostylis arachrites Bl.

Kemudian, juga ditemukan Napenthes rafflesian Jack Var Ar (kantong semar). Tanaman anggrek yang ditemukan di Singgalang terdiri dari 24 jenis dari 20 suku, dan jenis anggrek di Tandikat lebih banyak lagi yaitu 51 jenis yang termasuk ke dalam 31 suku.

Kawasan Suaka Alam Singgalang Tandikek juga memiliki kekayaan jenis tanaman hias dan tanaman obat yang cukup banyak dan dirasa sangat potensial untuk dikembangkan lebih jauh, dibanding ekstraksi hutan secara langsung melalui komersialisasi potensi jenis-jenis kayu berharga.

Fauna yang pernah dilaporakan di kawasan ini antara lain adalah Nycticebus coucang (Kukang), Hylobates agilis (Ungko/Owa), Helarctos malayanus (Beruang madu), Arctictis binturong (Binturung), Felis bengalensis (Kucing hutan), Neofelis nebulosa (Kucing Dahan), Panthera tigris sumatrae (Harimau Sumatra), Tragulus javanicus (Pelanduk), Cervus unicolor (Rusa), Muntiacus muncak (Kijang), Capricornis sumatrensis (Kambing gunung), Manis javanica (Trenggiling), Ratufa bicolor (Kerawak hitam), Hystrix brachyuran (Landak).

Adapun potensi wisata alam adalah, pendakian ke puncak Gunung Singgalang melalui rute antara lain dari Limo Badak Siskan, Koto Tuo Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Nagari Pakan Sinayan dan Sungai Tanang Kecamatan Banuhampu, Kabupaten Agam, Nagari Pagu-pagu dan Koto Laweh Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar.

Baca juga: Potensi Taman Wisata Alam di Sumbar Luar Biasa! Ini Daftar 9 TWA Dikelola BKSDA

Pemandangan puncak Gunung Singgalang dan Tandikat (Tandikek) menawarkan pemandangan sekitar Sumatra Barat (Sumbar) bagian tengah, telaga dewi, dan hutan lumut yang sangat menarik untuk dilihat langsung. [*/pkt]

Baca Juga

WALHI Sumatra Barat: Bencana Ekologis di Sumbar Harus Dijadikan Momentum Perbaikan Tata Kelola
WALHI Sumatra Barat: Bencana Ekologis di Sumbar Harus Dijadikan Momentum Perbaikan Tata Kelola
Harimau Sumatra Terpantau di Saluran Air, Tim BKSDA Lakukan Penanganan Cepat
Harimau Sumatra Terpantau di Saluran Air, Tim BKSDA Lakukan Penanganan Cepat
Kemendagri Puji Kesiapan Sumbar sebagai Tuan Rumah Event Nasional
Kemendagri Puji Kesiapan Sumbar sebagai Tuan Rumah Event Nasional
Di Depan Mahasiswa, Ini Hasil Kinerja - Fokus Percepatan Pembangunan yang Dipaparkan Gubernur Mahyeldi
Di Depan Mahasiswa, Ini Hasil Kinerja - Fokus Percepatan Pembangunan yang Dipaparkan Gubernur Mahyeldi
Catatkan SHU Rp1,9 Miliar, Koperasi KPN Balai Kota Padang Raih Sertifikat Sehat
Catatkan SHU Rp1,9 Miliar, Koperasi KPN Balai Kota Padang Raih Sertifikat Sehat
Harimau Sumatra di Tigo Nagari Berhasil Dievakuasi Setelah 8 Bulan Berkeliaran
Harimau Sumatra di Tigo Nagari Berhasil Dievakuasi Setelah 8 Bulan Berkeliaran