DI ERA DIGITAL, perkembangan teknologi informasi telah mengubah cara berbagai ideologi dan gerakan sosial disebarkan dan berkembang. Salah satu fenomena yang menonjol dalam konteks ini adalah populisme Islam, terutama di wilayah-wilayah seperti Sumatera Barat yang memiliki hubungan erat antara agama dan budaya lokal.
Media sosial memainkan peran yang sangat penting dalam menyebarluaskan narasi-narasi populis, termasuk populisme Islam, dan menyediakan platform bagi kelompok-kelompok ini untuk menyebarkan pesan mereka secara luas, cepat, dan efektif.
Di Sumatera Barat, populisme Islam sering kali dikaitkan dengan kampanye politik yang berbasis agama. Dalam pemilu atau dalam debat kebijakan lokal, narasi Islam digunakan untuk menggalang dukungan dari masyarakat Muslim, yang mayoritas. Media sosial menjadi alat penting dalam strategi ini, memungkinkan aktor-aktor populis untuk mengakses khalayak luas, menggerakkan emosi mereka, dan memobilisasi mereka untuk mendukung agenda politik tertentu.
Media Sosial sebagai Platform Penyebaran Populisme Islam
Perkembangan populisme Islam di Sumatera Barat tidak terlepas dari peran media sosial sebagai alat penyebaran utama. Facebook, Twitter (X), Instagram, dan WhatsApp adalah beberapa platform yang paling banyak digunakan oleh kelompok-kelompok populis untuk menyampaikan pesan-pesan mereka.
Media sosial memungkinkan mereka untuk menyebarkan narasi populis yang bersifat emosional dan provokatif secara cepat, sering kali menggunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami oleh khalayak luas.
Narasi populisme Islam yang disebarkan melalui media sosial umumnya menekankan pada pentingnya mempertahankan nilai-nilai Islam sebagai bagian integral dari identitas budaya dan sosial Sumatera Barat.
Pesan-pesan ini sering kali menyederhanakan isu-isu politik dan sosial menjadi pertarungan antara "kita" (umat Islam) dan "mereka" (kelompok luar atau yang dianggap merongrong Islam). Dalam konteks ini, populisme Islam menjadi semacam seruan kolektif untuk mempertahankan identitas Islam, sekaligus sebagai alat untuk menolak pengaruh-pengaruh yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama.
Narasi Agama dan Budaya dalam Populisme Islam di Sumatera Barat
Aspek unik dari populisme Islam di Sumatera Barat adalah keterkaitannya dengan identitas budaya lokal, khususnya adat Minangkabau. Pepatah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” mencerminkan sinergi antara adat Minangkabau dan ajaran Islam yang telah lama menjadi landasan kehidupan masyarakat di wilayah ini. Populisme Islam di Sumatera Barat sering kali menguatkan narasi bahwa Islam adalah bagian yang tak terpisahkan dari budaya lokal, dan mempertahankan Islam berarti juga mempertahankan adat.
Pada tahun 2022, kontroversi terkait Undang-Undang Nomor 17 tentang Provinsi Sumatera Barat menyoroti hubungan erat antara agama dan adat dalam kerangka hukum formal. UU ini menekankan bahwa identitas Sumatera Barat sangat terkait dengan Islam, namun hal ini juga memicu perdebatan mengenai potensi marginalisasi kelompok non-Muslim di wilayah tersebut. Wacana ini cepat berkembang di media sosial, di mana kelompok-kelompok populis Islam menggunakan narasi tersebut untuk memperkuat posisi Islam sebagai identitas utama Sumatera Barat.
Selain itu, kasus penolakan perayaan Cap Go Meh oleh komunitas Tionghoa pada awal 2023 menjadi contoh nyata bagaimana narasi populisme Islam digunakan untuk memobilisasi massa melalui media sosial.
Kelompok-kelompok Islam menyuarakan keberatan mereka terhadap perayaan tersebut dengan alasan rute perayaan melewati masjid dan mushalla. Isu lokal ini dengan cepat menyebar di media sosial dan memicu debat nasional, memperkuat sentimen keagamaan yang mengarah pada polarisasi masyarakat.
Peran Algoritma dan Mobilisasi Massa
Salah satu karakteristik media sosial yang mempermudah penyebaran populisme adalah algoritma platform-platform tersebut. Algoritma ini cenderung memprioritaskan konten yang mendapatkan interaksi tinggi seperti likes, shares, dan komentar.
Konten yang bersifat kontroversial atau provokatif lebih sering memicu interaksi dibandingkan dengan konten moderat atau netral. Hal ini menyebabkan narasi populisme Islam, yang sering kali sarat dengan sentimen keagamaan dan politik, lebih cepat menyebar dan mendapatkan perhatian luas.
Selain berfungsi sebagai platform penyebaran narasi, media sosial juga memungkinkan kelompok-kelompok populis untuk memobilisasi dukungan dalam skala yang lebih besar. Dalam konteks Sumatera Barat, populisme Islam sering kali mengandalkan media sosial untuk menggalang dukungan dalam isu-isu tertentu, seperti menentang kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam atau adat Minangkabau.
Mobilisasi massa melalui media sosial menjadi lebih mudah karena algoritma platform digital cenderung memprioritaskan konten yang memicu keterlibatan emosional. Pesan-pesan yang menyederhanakan isu-isu kompleks, seperti mengancam posisi Islam atau adat, sering kali lebih mudah diterima oleh masyarakat luas dan dengan cepat menyebar. Konten-konten ini memanfaatkan ketidakpuasan masyarakat terhadap status quo dan menawarkan solusi sederhana dalam bentuk penguatan identitas Islam dan budaya lokal.
Algoritma media sosial yang memprioritaskan interaksi ini juga menciptakan echo chamber, di mana individu-individu dengan pandangan yang sama terisolasi dalam komunitas digital yang memperkuat keyakinan mereka.
Mereka jarang terpapar pada pandangan alternatif yang dapat menantang atau memperkaya perspektif mereka. Akibatnya, populisme Islam di media sosial sering kali menciptakan polarisasi yang semakin dalam di masyarakat, di mana kelompok-kelompok dengan pandangan ekstrem semakin terisolasi dari arus utama.
Elemen yang sangat menonjol dalam penyebaran populisme Islam di era digital adalah penggunaan disinformasi dan berita palsu. Teknologi digital memungkinkan informasi menyebar dengan sangat cepat dan dalam skala yang sangat luas, sehingga disinformasi menjadi alat yang efektif dalam memperkuat narasi populis. Disinformasi sering kali digunakan untuk menciptakan ketidakpercayaan terhadap pemerintah, media arus utama, atau kelompok-kelompok yang dianggap sebagai ancaman terhadap Islam.
Di Sumatera Barat, disinformasi yang berkaitan dengan ancaman terhadap adat dan Islam sering kali digunakan untuk memobilisasi dukungan massa. Klaim-klaim yang tidak berdasar tentang adanya upaya dari kelompok-kelompok luar untuk melemahkan Islam atau adat Minangkabau cepat tersebar melalui media sosial, memicu ketakutan dan kecemasan di kalangan masyarakat Muslim.
Dalam banyak kasus, disinformasi ini tidak hanya menciptakan ketidakpastian, tetapi juga memperkuat narasi populisme yang menempatkan Islam sebagai identitas yang harus dipertahankan dengan segala cara.
Selain memfasilitasi penyebaran narasi populis, media sosial juga berfungsi sebagai alat mobilisasi politik yang sangat efektif. Kelompok-kelompok populis Islam sering kali memanfaatkan media sosial untuk menggalang dukungan dalam pemilihan umum atau mendukung kebijakan tertentu yang mereka anggap sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Media sosial memungkinkan mereka untuk mengorganisasi kampanye secara cepat dan efisien, dengan biaya yang relatif rendah dibandingkan dengan kampanye politik konvensional. Disinformasi ini juga sering digunakan untuk menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah atau media arus utama, yang dianggap sebagai bagian dari kekuatan yang mengancam nilai-nilai Islam.
Baca juga: "Trash Talking": Ejekan di Game Online
Di Pilkada 2024, disinformasi bisa berfungsi sebagai alat untuk membangun ketidakpercayaan di kalangan pemilih terhadap calon-calon tertentu yang dianggap tidak sejalan dengan identitas Islam.
[*]
Penulis: Yayuk Lestari, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas (Unand)