Politik Dinasti dan Janji Jokowi

Opini Padangkita - Kolom: Mohammad Isa Gautama.

Mohammad Isa Gautama. [Dok. Padangkita.com]

Minggu terakhir kita disibukkan membaca berita pencalonan beberapa figur publik yang semakin mendekati kepastian untuk maju ke dalam kancah kandidasi politik pada Pilkada 2020 ini. Yang terhangat dan heboh adalah majunya Gibran Rakabuming pada kompetisi wali kota Solo.

Perkembangan terakhir, DPP PDIP sebelumnya telah mengumumkan rekomendasi dukungan kepada Gibran. Putra sulung Presiden Joko Widodo itu akan berpasangan dengan mantan Ketua DPRD Solo, Teguh Prakosa. Selain direkomendasikan PDIP, Gibran juga mengantongi dukungan mayoritas partai. Partai Golkar, Partai NasDem, Gerindra, Partai Amanat Nasional, dan Partai Solidaritas Indonesia mendukung ayah dari Jan Ethes ini.

Tak ayal, fenomena ini menuai polemik, baik di tataran pengamat politik bahkan sampai ke akar rumput. Warung kopi dan kafe-kafe tak pelak dibumbui topik tentang majunya Gibran, ditambah dengan majunya juga menantu Jokowi, Bobby Nasution pada Pilkada Kota Medan. Jika kita jeli menyimak, ternyata yang digadang-gadang ikut meramaikan kandidasi berdasarkan pengaruh latar belakang dinasti politik tidak hanya di trah Jokowi, melainkan juga trah Ma’ruf Amin, Prabowo Subianto dan Pramono Anung. Padahal, dari berbagai penelitian, fenomena ini sudah terjadi sejak era otonomi daerah mulai berjalan, dinasti politik dan politik dinasti justru semakin menguat sejak era tersebut (Sungaidi dalam Heryanto, 2019: 205).

Ditelisik dari literatur relevan, maka dinasti politik bukanlah fenomena unik Indonesia (Sungaidi dalam Heryanto, 2019). Rahman (2013) menemukan, dari 100 negara yang diteliti, 42% memiliki sejarah dinasti politik di tingkat nasional. Sementara sampai 2012, di politik lokal Indonesia sedikitnya terdapat 23 dinasti politik yang aktif (Kenawas, dalam Sungaidi, 2013). Data penting lainnya, dalam rentang Pilkada 2015-2018 terdapat 117 orang calon kepala daerah berhasil terpilih dan 85 lainnya gagal. Artinya, lebih dari separuh atau 58 persen dari calon terpilih merupakan kerabat dari pejabat publik.

Ditinjau dari realitas global, sejatinya dinasti politik dan praktik politik dinasti bukan hanya eksis di negara berkembang. Kita masih ingat dengan dinasti keluarga Gandhi di India, keluarga Aquino di Filipina dan keluarga Bhuto di Pakistan. Di negara-negara maju yang demokratis pun fenomena ini umum berlangsung. Salah dua yang terkenal (sekaligus fenomenal) adalah dinasti Kennedy dan Bush di Amerika Serikat.

Di sisi lain, fenomena dinasti politik dan politik dinasti selama ini kerap ditinjau secara sinis tanpa usaha melihat secara akar historis dan keunikan perkembangannya di tanah air. Kuat dugaan, corak perpolitikan yang oligarkis dan monarkis sejak zaman pra-penjajahan masih meninggalkan jejak yang kuat hingga era demokrasi ini. Justru di sinilah ironi terjadi. Pelaku dinasti politik seolah lupa bahwa kita kini menganut sistem politik demokratis, di mana asas siapa pun boleh memilih dan dipilih merupakan roh utama dalam laku politik. Lebih jauh, fenomena politik dinasti tak jarang menyalahi janji politik dan kadang bertentangan dengan prinsip meritokrasi yang mementingkan kualitas dan kompetensi para kandidat.

Khusus kasus dinasti politik Jokowi, publik dalam konteks tertentu pantas merasa kecewa, mengingat apa yang terjadi kini sangat bertolak belakang dengan apa yang sudah pernah bahkan kerap dikatakannya. Kita masih ingat janji politik Jokowi di berbagai kesempatan terutama kampanye di 2014 yang menyatakan tidak akan ikut mengikutsertakan keluarga dalam dunia politik. Keunikan sekaligus daya tarik politik yang kharismatis dari sosok seorang Jokowi tak pelak ikut tergerus oleh sikapnya yang kini cenderung membuka kesempatan luas laku politik dinasti dari trahnya sendiri.

Bineritas dan Kualitas

Menarik menyimak dan mendalami hasil survei Litbang harian Kompas yang dirilis pada 3 Agustus lalu mengenai fenomena kandidasi berlatar dinasti politik. Kesimpulan umum yang didapat, persepsi publik terbelah ketika diminta mengemukakan persepsinya mengenai politik dinasti. Berbeda dengan mereka yang paruh baya, anak-anak muda cenderung memersepsikan buruk isu politik dinasti. di kelompok responden usia muda (17-30 tahun) resistensinya lebih besar menolak politik dinasti. Di dalam kelompok responden ini, 67,9 persen menilai politik dinasti sebagai praktik yang buruk.

Sikap berbeda terlihat di kelompok responden usia di atas 50 tahun. Di kelompok responden ini, anggapan soal politik dinasti justru cenderung terbelah. Tak ayal, fenomena ini menyulut bineritas. Sebanyak 47,3 persen dari kelompok ini menilai politik dinasti buruk, sedangkan sebagian lainnya (34,4 persen) menilai sebaliknya. Data ini menunjukkan, isu soal politik dinasti cenderung dipersepsikan buruk oleh anak-anak muda dibandingkan dengan mereka yang paruh baya.

Di samping temuan menarik yang berisiko bias segmen usia tersebut, ternyata kita masih harus kerja keras dalam memperbaiki dan menambal ekses negatif dari tradisi dinasti politik di negara kita. Di alam demokrasi yang semakin menyediakan ruang partisipasi publik dewasa ini, masyarakat awam akan menjadi barometer efektif atau tidaknya politik dinasti dijalankankan. Kita percaya, publik semakin menaikkan ekspektasinya seiring dengan meningkatkan kesadaran dan kecerdasan politik. Tuntutan yang semakin tinggi akan mutu Pilkada dipastikan akan seiring dengan tuntutan terhadap kapasitas kandidat.

Data dari survei yang sama memperlihatkan relevansi dengan hipotesis di atas. Ketika pertanyaan ‘Jika ada figur keluarga pejabat publik maju sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah, apakah Anda akan memilih mereka?’ Maka responden yang berasal dari 145 kota/kabupaten di 34 provinsi se-Indonesia mayoritas menjawab: “Ya, memilih karena kemampuannya”. Sementara yang menjawab dengan tidak memilih karena keluarga pejabat publik berkisar di 21.9%.

Jawaban tersebut meyiratkan beberapa catatan penting. Pertama, intensi untuk tetap ikut serta aktif dalam Pilkada/Pemilu tetap tinggi. Namun di sisi lain mereka tetap menomorsatukan faktor kualitas/kapasitas kandidat. Alhasil, akan terjadi semacam dilema pilihan politik. Di satu sisi semua orang mengharapkan tingkat partisipasi kontes politik berada di kisaran tinggi.

Sementara di sisi lain, partisipasi politik sudah pasti dihadapkan kepada konsekuensi pilihan politik. Pilihan politik hanya akan terakomodasi oleh para kandidat yang resmi maju bertarung dalam kompetisi politik. Inilah yang berkonsekuensi terhadap catatan kedua, bahwa publik tetap akan menerapkan standar tinggi berupa kualitas kandidat politik saat mereka memilih.

Memperkuat Rekrutmen dan Pendidikan Politik

Dalam rangka meminimalisir ekses negatif dari tradisi dinasti politik dan praktik politik dinasti tentunya dibutuhkan analisis terlebih dahulu secara mendalam, kenapa tradisi dinasti politik dan praktik politik dinasti di negeri ini masih berlanjut bahkan cenderung menguat? Lebih jauh, apakah limitasi konsep dinasti politik hanya terbatas kepada hubungan kekeluargaan? Bagaimana dengan tradisi dinasti politik dan praktik politik dinasti yang berangkat dari kekerabatan secara partai, profesi atau kelompok kepentingan tertentu?

Menurut Kenawas (Kompas, 3/8/20) menguatnya praktik politik dinasti didorong empat faktor. Keempatnya adalah sistem pemilu yang ramah terhadap dinasti politik dan fokus ke sosok (person), institusi partai yang lemah dan memiliki hubungan dengan dinasti politik, masih rentannya pemilu atas praktik manipulasi, dan masih adanya segmen pemilih loyalis atau permisif terhadap praktik politik dinasti.

Berangkat dari teori tersebut, tentu ke depan kita berharap ada pembenahan baik dari struktur sosial yang berkaitan dengan pola pikir dan budaya patronase dan oligarki politik di tengah masyarakat dan aktor politik. Selain itu perbaikan mesti dilakukan sedari dini dari sektor institusi politik, dalam hal ini penyelenggara kontestasi politik serta partai politik. Mesti dibuat rambu-rambu yang bertopang pada itikad politik yang mengedepankan kualitas dan kapabilitas kandidat politik. Di ranah partai sistem rekrutmen politik harus kembali pada asas meritokrasi. Jika pun kualitas bertemu dengan latar dinasti politik, pertimbangan kualitas harus tetap menjadi indikator utama, baik dari segi regulasi pencalonan maupun referensi bagi pemilih.

Terakhir, sudah jamak ditemui bahwa praktik dinasti politik sangat berpotensi membuka peluang terjadinya berbagai manipulasi dalam ranah politik. Di negeri kita sudah tidak terhitung praktik korupsi dijalankan oleh serombongan orang yang ternyata ditilik dari hubungan personal memiliki keterkaitan dan kesalingtergantungan kuat, baik dari segi biologis, ideologis, profesi dan primordialisme (separtai-seperusahaan-sedaerah). [*]


Mohammad Isa Gautama
Pengamat Komunikasi Politik, pengajar Sosiologi Korupsi dan Sosiologi Media di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang.

Baca Juga

Andre Rosiade Dampingi Presiden Jokowi dan Ketua MPR Resmikan Istana Negara di IKN
Andre Rosiade Dampingi Presiden Jokowi dan Ketua MPR Resmikan Istana Negara di IKN
International Sustainability Forum 2024: Kadin Sumbar Dorong Ekonomi Berkelanjutan
International Sustainability Forum 2024: Kadin Sumbar Dorong Ekonomi Berkelanjutan
RAPBN 2025 harus Jadi Titik Pijak Arah Kebijakan Pembangunan Pemerintahan Baru
RAPBN 2025 harus Jadi Titik Pijak Arah Kebijakan Pembangunan Pemerintahan Baru
RAPBN 2025 Sebesar Rp3.613 Triliun harus Diprioritaskan untuk Program Pro-Rakyat
RAPBN 2025 Sebesar Rp3.613 Triliun harus Diprioritaskan untuk Program Pro-Rakyat
Tinjau Lokasi, Puan Pastikan Kesiapan DPR Gelar Sidang Tahunan 16 Agustus
Tinjau Lokasi, Puan Pastikan Kesiapan DPR Gelar Sidang Tahunan 16 Agustus
Sidang Tahunan 2024: Jokowi dan Prabowo Hadir, 2.022 Tamu akan Saksikan Pidato Kenegaraan
Sidang Tahunan 2024: Jokowi dan Prabowo Hadir, 2.022 Tamu akan Saksikan Pidato Kenegaraan