Perjuangan dan Posisi Tawar

Perjuangan dan Posisi Tawar

Karikatur M. Nurul Fajri. [Dok. Pribadi]

JAUH sebelum pilkada 2024 digelar, kritik atas kondisi jalan di Kabupaten Tanah Datar telah dikeluhkan. Puncaknya terjadi ketika gelaran pilkada. Karena rivalitas, permasalahan ini menjadi komoditi politik. Di satu sisi ini menjadi baik bagi masyarakat Kabupaten Tanah Datar, karena beberapa fakta tersingkap.

Di sisi lain hal ini adalah cerminan buruk. Sebab permasalahan yang urgen dan berdampak besar bagi masyarakat harus menunggu perhelatan pilkada terlebih dahulu agar dibicarakan secara hangat menjurus panas. Atas kondisi tersebut ada satu hal yang menjadi kritis dan semoga dapat menjadi pelajaran, yakni soal bagaimana mengambil sikap bertanggung jawab.

Dalam banyak kesempatan, Bupati Tanah Datar Eka Putra kerap menjawab aspirasi kerusakan jalan di Kabupaten Tanah Datar dengan cara “membuang badan”. Berlindung di balik alasan bahwa jalan rusak yang dipermasalahkan di Kabupaten Tanah Datar adalah ruas jalan provinsi, sehingga untuk perbaikan tersebut menjadi tanggung jawab provinsi.

Cara “membuang badan” ini tidak sekali dua kali dilakukan oleh Bupati, Eka Putra. Mulai dari aspirasi langsung masyarakat, panggung debat pilkada hingga siniar selalu ditegaskan bahwa kerusakan jalan yang dipermasalahkan di Tanah Datar adalah ruas jalan provinsi.

Akan tetapi, yang perlu diperhatikan lebih lanjut dari cara membuang badan ini adalah cara bersikap yang tidak kompleks. Bahkan justru menunjukan kelemahan, entah kualitas kepemimpinan atau Tanah Datar secara keseluruhan.

Menyederhanakan Permasalahan

Dalam makna yang positif, jawaban membuang badan Bupati Eka Putra bisa dipahami sebagai cara beliau memahami tata pemerintahan. Dengan begitu tidak mungkin beliau melakukan sesuatu yang bukan menjadi kewenangannya. Apalagi melampaui kewenangannya. Bisa-bisa beliau akan menjadi pesakitan di lembaga pemasyarakatan.

Sayangnya, permasalahan kerusakan jalan bukan persoalan normatif. Bukan permasalahan yang bisa dianggap selesai hanya dengan jawaban normatif. Setidaknya ada tiga kelemahan dari jawaban normatif Bupati Eka Putra tersebut.

Pertama, jalan rusak di Kabupaten Tanah Datar yang rusak tidak hanya ruas jalan provinsi. Apabila melihat data BPS Kabupaten Tanah Datar, semua kategori jalan mengalami kerusakan. Apalagi, sejak event Tour de Singkarak tak lagi melewati Tanah Datar (kecuali Padang Panjang – Batusangkar via Pariangan) maka jalan-jalan lain hampir tak tersentuh perbaikan maksimal.

Di samping itu apabila dibandingkan, jalan ke kampung halaman bupati, Lintau secara fisik terlihat berbeda. Dalam batas penalaran yang wajar hal ini jelas tidak menunjukan upaya untuk melakukan pemerataan pembangunan.

Kedua, jalan sudah menjadi infrastruktur yang menentukan dalam berbagai aktivitas masyarakat. Sekalipun menjadi tanggung jawab atau kewenangan pemerintah provinsi, akan tetapi yang paling pertama akan merasakan manfaat dari perbaikan jalan tersebut tentulah masyarakat Kabupaten Tanah Datar. Dengan kata lain, apapun alasannya harus diperjuangkan sekuat mungkin.

Pengguna jalan tidak akan berhenti menggunakan jalan sekalipun dijelaskan bahwa ruas jalan yang rusak adalah jalan provinsi. Apalagi dengan kondisi jalan yang tidak mendapatkan perbaikan secara signifikan akan membahayakan keselamatan masyarakat Kabupaten Tanah Datar sebagai pengguna utama. Bupati Eka Putra harus kembali mengingat asas hukum yang familiar ketika masa Covid-19, “salus populi suprema lex esto” yang berarti keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi.

Ketiga, memasuki periode kedua kepemimpinan, Bupati Eka Putra justru berkelit dengan membuang badan. Makna tersirat dari jawaban tersebut justru menunjukan lemahnya perjuangan dan posisi tawarnya sebagai bupati.

Untuk orang yang ketika pada masa kampanye mengaku punya akses lebih mudah ke pusat karena berasal dari partai yang menjadi koalisi pemerintah saat ini, semestinya permasalahan jalan rusak di Kabupaten Tanah Datar dapat dengan mudah diselesaikan. Semudah lidah mengucapkan “membuang badan” dan “punya akses lebih mudah ke pusat”.

Perjuangan dan posisi tawar di sini bukan tentang seberapa besar uang yang didapat, akan tetapi tentang bagaimana menjalankan pemerintahan yang memberikan manfaat secara langsung kepada masyarakat. Melampaui batas-batas normatif dengan menjadikan segala hal yang ditawarkan atau diminta perhatian khusus kepada pemerintah provinsi atau pemerintah pusat sebagai prioritas yang harus dilaksanakan segera mungkin.

Baca juga: Pemkab Tanah Datar Tegaskan Jalan Kewenangannya Baik, Jalan Provinsi Rusak

Tanpa ada etos tersebut, jawaban gaya membuang badan yang sifatnya normatif tersebut tidak perlu keluar dari seorang bupati yang dipilih melalui Pilkada yang menelan anggaran sebesar 39 miliar rupiah. Cukup tanyakan kepada Artificial Intelligence (AI) lalu sampaikan kepada masyarakat. Terjawab namun tidak menyelesaikan persoalan utama.

[*]

Penulis: M Nurul Fajri, Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand)

Baca Juga

Pacu Biduak di Tanah Datar Meriahkan Lebaran dan Sambut Perantau
Pacu Biduak di Tanah Datar Meriahkan Lebaran dan Sambut Perantau
Gubernur Pastikan, Setelah Lebaran Ruas Jalan Batas Payakumbuh-Sitangkai akan Rigid Beton
Gubernur Pastikan, Setelah Lebaran Ruas Jalan Batas Payakumbuh-Sitangkai akan Rigid Beton
Pembangunan Sumbar Prioritas Prabowo, Andre Rosiade Update Proyek Jalan Air Dingin Solok
Pembangunan Sumbar Prioritas Prabowo, Andre Rosiade Update Proyek Jalan Air Dingin Solok
Surau Model untuk Generasi Z
Surau Model untuk Generasi Z
Pembangunan Flyover Sitinjau Lauik Dimulai, akan Jadi yang Terindah Saingi Kelok Sembilan
Pembangunan Flyover Sitinjau Lauik Dimulai, akan Jadi yang Terindah Saingi Kelok Sembilan
Kontrak Pembangunan Flyover Sitinjau Lauik Diteken, Persembahan Andre Rosiade untuk Sumbar
Kontrak Pembangunan Flyover Sitinjau Lauik Diteken, Persembahan Andre Rosiade untuk Sumbar