Padangkita.com – Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Sumatera Barat Ratna Wilis mengakui tingkat kasus kekerasan terhadap perempuan di Sumatera Barat masih tinggi dan cenderung meningkat. Dari catatan kekerasan.kemenpppa.go.id hingga akhir November 2017, setidaknya ada 340 perempuan yang menjadi korban kekerasan di Sumatera Barat.
Namun, Ratna menggarisbawahi angka tersebut bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, jumlah kasus mengalami peningkatan. Kedua, semakin banyak orang yang berani melapor. Selama ini, kata Ratna, kebanyakan korban tidak berani melapor karena takut ataupun malu.
“Kebanyakan korban tidak mau melapor, terutama jika kekerasan terjadi di dalam keluarga. Hal ini menjadi kendala bagi kita dalam penanganannya,” ujar Ratna, di kantornya, Selasa (28/11/2017).
Ratna kemudian lebih menyoroti tindak kekerasan yang terjadi di dalam keluarga. Menurutnya, adanya KDRT disebabkan oleh berbagai faktor. Umumnya KDRT terjadi karena kemiskinan, rendahnya pendidikan, memudarnya nilai-nilai agama di dalam keluarga, dan sebagainya.
Untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan, DPPPA punya program prioritas, yakni program Ketahanan Keluarga. Dalam program ini, DPPPA melakukan pendampingan terhadap keluarga di sepuluh nagari dari sepuluh kabupaten/kota di Sumbar. Pendampingan yang diberikan, antara lain di bidang ekonomi; kesehatan; pendidikan; sosial, politik, dan budaya; keagamaan; dan pemenuhan hak anak.
“Permasalahan pada bidang-bidang tersebut umumnya adalah pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Maka kita berikan pendampingan terhadap bidang tersebut agar kekerasan bisa dicegah. Program ini merupakan pilot project. Jika berhasil, akan kita kembangkan di nagari-nagari lainnya,” ujar Ratna.
Ratna kemudian, mengakui upaya yang dilakukan pemerintah belum sepenuhnya bisa menghilangkan kasus kekerasan, khususnya terhadap perempuan. Oleh sebab itu, ia meminta semua pihak untuk bekerja sama untuk mengatasinya. Masyarakat harus peduli dan melapor bila ada anggotanya yang menjadi korban kekerasan.
“Jika diserahkan saja ke pemerintah, hasilnya tidak akan optimal,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Yefri Heriani mengatakan diperlukan undang-undang khusus (lex specialis) untuk penghapusan tindak kekerasan seksual terhadap perempuan. Undang-undang yang ada saat ini dinilai belum cukup ampuh untuk melindungi dan memenuhi hak korban.
Tindak kekerasan terhadap perempuan di Sumatera Barat masih tinggi. Dari tahun ke tahun, jumlah laporan korban kekerasan kepada Nurani Perempuan cenderung mengalami peningkatan. Disebutkan ada ratusan kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan di Sumatera Barat pada periode 2013-2016. Semua kasus tersebut adalah kasus yang dilaporkan sedangkan yang tidak dilaporkan kemungkinan lebih banyak lagi.
“Undang-undang tersebut akan menjadi strategi yang kuat bagi negara untuk melakukan pencegahan. Jika tidak ada undang-undang khusus, upaya pemerintah tidak akan terstruktur karena tidak ada aturan yang kuat sebagai pendukungnya,” ujar Yef kepada Padangkita.com, Senin (28/11/2017).
Yef melanjutkan, sebelumnya masyarakat sipil bersama Forum Pengada Layanan dan Komnas Perempuan sudah mengirim dokumen Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual kepada DPR RI pada 2016. Presiden pada tahun itu juga sudah menunjuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk menangani hal ini. Sementara itu, di DPR persoalan ini ditangani oleh Komisi VIII.