Sebulan terakhir cukup banyak menteri Kabinet Indonesia Maju mengunjungi Sumatra Barat. Kedatangan ini adalah bagian dari kunjungan kerja mereka dan sekaligus berencana mengembangkan pembangunan di Provinsi Sumatra Barat.
Di tengah kesibukan menteri dalam melaksanakan tugasnya, tentu perlu ada pendekatan yang dapat meyakinkan mereka agar mau datang dan membantu pembangunan di Sumatra Barat. Di antaranya adalah sosok Andre Rosiade (Andre) yang melakukan pendekatan sehingga bisa meyakinkan menteri untuk mengunjungi Sumatra Barat dan bersedia membantu pelaksanaan pembangunan di daerah ini.
Bahkan kalau menteri belum sempat datang, Andre juga membawa kepala daerah menemui menteri untuk menyampaikan persoalan daerah masing-masing dengan harapan bisa dibantu oleh menteri bidang terkait seperti mendatangi Menteri BUMN, Menteri Kesehatan, Menteri Parekraf, dan Menteri Kelautan dan Perikanan.
Memang, Provinsi Sumatea Barat adalah daerah yang sangat potensial di wilayah Barat Indonesia untuk dikembangkan sebagai pusat kemajuan dan peradaban melalui pembangunan yang dilaksanakan. Namun melaksanakan pembangunan di daerah ini bukanlah hal yang mudah. Ada beberapa kesulitan yang akan dihadapi dan jadi masalah yang kronis.
Pertama, kesulitan yang diakui oleh banyak pihak, adalah pada penyediaan lahan atau tanah untuk pembangunan. Di Provinsi Sumatra Barat, lahan atau tanah yang luas untuk bisa dilaksanakan pembangunan biasanya adalah tanah ulayat milik kaum dan suku yang diwariskan secara turun temurun.
Sumatra Barat yang mayoritas dihuni oleh etnis Minangkabau memang dikenal dengan garis keturunan matrilinealnya yang menjadikan tanah ulayat kaum dan suku sebagai milik komunal. Tanah ulayat ini dimanfaatkan untuk kepentingan kemajuan ekonomi bersama kaum dan suku. Oleh karena sifat kepemilikan dan fungsinya ini, maka tanah ulayat tidak mungkin dijual. Namun, bukan berarti penggunaannya tidak dapat diserahkan kepada mereka yang mau memanfaatkannya untuk kepentingan pembangunan.
Secara adat pemanfaatan tanah ulayat tersebut bisa dilakukan dengan cara melepaskan hak penguasaan oleh masyarakat adat ini dengan cara memusyawarahkannya dengan ninik mamak kaum dan suku yang ada. Jika ada kesepakatan, maka ninik mamak kepala waris akan menyerahkannya dengan membebankan kewajiban kepada pengguna membayar uang adat (siliah jariah) sehingga pihak pengguna mendapatkan HGU yang bisa diusulkan kepada pemerintah.
Memang dalam praktiknya, pelepasan hak penguasaan tanah ulayat ini tidaklah mudah sehingga membuat investor menjadi enggan menanamkan modalnya di Sumatra Barat. Kondisi ini jelas merugikan masyarakat karena pembangunan di daerah ini akan lambat dibandingan daerah lain. Saat ini kondisi ini sudah mulai dirasakan.
Kedua, kesulitan pembangunan di Sumatra Barat ini adalah tidak cukupnya uang yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk melaksanakan sebagian pembangunan yang sudah direncanakan. Bahkan kesulitan keuangan ini harus dihdapi setiap tahun. Mau tidak mau, sumber keuangan untuk pembangunan harus diharapkan dari investasi swasta yang masuk ke daerah ini. Namun, karena persoalan di pembangunan di Sumatra Barat yang memang rumit untuk investasi sebagaimana yang dijelaskan di atas, maka mengharapkan investasi ini juga bukanlah hal yang mudah. Memang ada harapan kepada sumber keuangan dari masyarakat atau perantau yang punya keinginan untuk membangun kampung halamannya, namun jumlahnya tentu tidak banyak.
Memaksimalkan Peran Wakil Rakyat
Pertanyaannya, lalu apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini? Apakah pembangunan di daerah Sumatra Barat harus stagnan saat daerah lain terus berbenah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya? Hal yang paling mungkin dapat dilakukan dalam waktu singkat adalah mengharapkan bantuan dari pemerintah pusat.
Apalagi dalam pelaksanaan desentralisasi, pemerintah daerah sebenarnya sudah disediakan sumber keuangan dari Transfer ke Daerah (TKD) dan Dana Desa (DD). Masalahnya pemerintah daerah di Sumatra Barat juga belum bisa memaksimalkan TKD ini khususnya pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Insentif Daerah (DID).
Untuk mendapatkannya tentu dibutuhkan “relasi khusus” dengan pemerintah pusat, terutama dengan pihak kementerian. Di sinilah letak pentingnya wakil rakyat kita di Jakarta untuk memfasilitasi ini. Padahal Provinsi Sumatra Barat memiliki 14 orang wakil rakyat di DPR dan memiliki empat orang wakil daerah di DPD.
Peran inilah yang sedang dilakukan oleh Andre Rosiade yang harusnya juga dilaksanakan oleh wakil rakyat yang lain. Sebenarnya tanpa diminta, wakil rakyat ini memiliki tanggung jawab moral untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat Sumatra Barat dalam mewujudkan pembangunan di daerah ini.
Andre, sebagai wakil rakyat dari Partai Gerindra, cukup aktif mengambil peran ini dengan melibatkan kepala daerah agar mendapatkan dukungan dari kementerian ketika melaksanakan pembangunan. Apalagi pemerintah pusat, dalam hal ini kementerian memiliki urusan konkuren yang secara bersamaan juga melaksanakan urusan yang sama dengan pemerintah daerah sebagaimana yang diatur oleh sesuai dengan UU No. 23 tahun 2014. Dalam konteks inilah Andre berusaha mendapatkan bantuan dari kementerian terkait agar urusan konkuren kementerian ini dapat dilaksanakan di Sumatra Barat.
Andainya saja setiap anggota DPR atau DPD di komisi/komite masing-masing dapat melakukan hal yang sama sebagaimana yang dikerjakan Andre, tentu permasalahan pembangunan di Sumatra Barat menemukan solusinya.
Sayangnya, tidak semua wakil rakyat Sumatra Barat memiliki visi dan misi yang sama dengan Andre Rosiade walaupun sama-sama sebagai anggota DPR. Justru yang dapat dilihat saat ini adalah mereka sibuk memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya agar dapat bertahan dengan jabatan yang sama pada periode yang akan datang. Mereka hanya melayani konstituen dengan cara memberikan bantuan yang sifatnya sporadis dengan jumlah penerima manfaat yang sangat sedikit.
Baca juga: Wawancara Pengamat Politik Asrinaldi: Pilkada Sumbar Soal Figur, Tak Ada Urusan dengan Partai
Memang ini tidak salah dengan apa yang dilakukan wakil rakyat tersebut karena salah satu tanggung jawabnya adalah kepada konstituennya. Namun, tentu tidak cukup itu saja, sudah seharusnya mereka mulai memikirkan bagaimana memajukan Sumatra Barat ke depan secara komprehensif dan tidak sekedar dapilnya saja. Karena faktanya ada persoalan serius dalam melaksanakan pembangunan di Sumatera Barat yang membutuhan sinergi dari banyak pihak untuk mencarikan solusi, khususnya dari wakil rakyat di DPR atau DPD. [*]
Penulis: Asrinaldi A (Plt. Ketua Program Doktor Studi Kebijakan Universitas Andalas)