Pandemi Covid-19 masih menjadi tema utama kecemasan kita sehari-hari. Setiap memulai aktivitas di pagi hari yang ada di media adalah berita terkini dampak pandemi ini, mulai dari level global sampai lokal. Kecemasan semakin menjadi-jadi manakala aktivitas semua orang sudah terdampak, tidak peduli di zona merah atau bukan.
Bahwa jumlah terpapar Covid-19 semakin meningkat, detik per detik, adalah hal yang tidak bisa dibantah. Semua orang mengkonsumsi sekaligus memproduksi informasi ini dari waktu ke waktu. Tak jarang kanal-kanal interaksi sosial (baik langsung maupun virtual) dipenuhi terutama oleh diskusi, debat bahkan polemik mengenai data statistik seputar dampak Covid-19.
Terjadi keberlimpahan (over load) informasi mengenai pandemi. Mirisnya, amat jarang diskusi mengenai cara lolos dari terjangan virus ganas yang belum ada obatnya ini jika malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih (kita atau anggota keluarga kita terkena).
Padahal jika kita teliti seksama, hakikat dari kata ‘mitigasi bencana’ mengacu kepada usaha jelas dan terpadu dalam mereduksi dan mengeliminasi komponen risiko bahaya bencana. Dalam konteks ini, tercakup di dalamnya usaha menyosialisasikan segala cara dan prosedur yang wajib dan ekstra-penting diketahui publik mengenai cara menghindari bencana (jika bencana potensial menerpa) dan cara menghadapi bencana (jika bencana itu sudah menerpa). Khusus bencana non-alam seperti pandemi Covid-19 maka dua aspek terpenting tentu adalah mengenai bagaimana cara mengantisipasi terpaparnya dan bagaimana berusaha agar sembuh seperti sedia kala saat virus ganas ini terlanjur menghinggapi tubuh kita.
Untuk yang pertama, yaitu bagaimana menghindari, mungkin sudah sangat sering kita serap informasinya. Bisa dikatakan kampanye dan sosialisasi 3-M, yaitu memakai Masker, Mencuci tangan sesering mungkin dengan hand sanitizer dan menjaga jarak (social distancing) sudah sangat masif tersebar di berbagai lini massa dan media sosial. Kalangan birokrat tak jarang menjadikan momen kampanye tentang ini sebagai bahan pencitraan, baik dalam rangka Pilkada maupun tidak.
Sementara untuk yang kedua, yaitu tentang bagaimana cara menghadapi bencana, dalam hal ini jika virus ini akhirnya mengenai diri kita atau sanak saudara dan anak kemenakan kita, masih dirasakan sangat minim sosialisasinya. Adalah sangat mengejutkan dan sekaligus ironis, di tengah masifikasi dan tsunami informasi di mana-mana di era digital mediated society ini, justru informasi komprehensif mengenai cara sembuh dari virus ini langka kita temukan di media massa, baik konvensional maupun digital. Memang ada satu dua tokoh publik yang disorot media mengenai kisah dan kronologi proses sembuhnya dari Covid-19. Namun itu laksana benang dalam tepung, langka dan sukar ditemukan. Kalau pun ada, jangan-jangan adalah ‘pesanan’ yang bersifat politis atau selebritis.
Membenahi Komunikasi Bencana
Menilik perkembangan pandemi Corona baik di level nasional maupun lokal, diyakini perlu usaha yang luar biasa memeranginya. Perang yang besar ini hanya bisa efektif jikalau seluruh elemen selalu mengevaluasi kinerja dan usaha apa yang sudah dikontribusikan. Di beberapa daerah pendekatan hukum dijalankan berupa sanksi kepada masyarakat yang tidak hirau kepada protokol kesehatan. Namun mesti diingat, usaha itu lebih fokus kepada aspek antisipatif terhadap bencana, belum menyasar aspek kuratif jika bencana itu menimpa langsung kepada inidividu-individu.
Untuk itu, adalah urgen melakukan pembenahan dalam hal komunikasi bencana, dari level tertinggi sampai ke level individu. Pembenahan komunikasi bencana pendemik harus komprehensif. Ada tiga faktor yang harus dibenahi. Pertama, komunikasi kebijakan, menyangkut cara dan sentralisasi informasi yang mampu mengedukasi masyarakat untuk siap dan tangkas menghadapi bencana.
Berikutnya, dalam hal kelembagaan komunikasi dan jaringan komunikasi bencana, pemerintah bersama dengan masyarakat tentu wajib memiliki kesalingpahaman dan menghormati otoritas lembaga yang menangangi bencana pandemi ini secara sinergis. Ketiga, menyangkut strategi diseminasi dan respons dinamika isu yang berkembang. Informasi mesti dipilih secara selektif dan dikumpulkan secara lengkap, jangan sampai informasi yang penting tidak sampai sementara informasi yang membingungkan beredar secara liar.
Melengkapi Diseminasi Informasi
Layak dikutip apa yang pernah ditulis Damon Coppola dan Erin K Maloney dalam bukunya, Emergency Preparedness Strategies for Creating a Disaster Resilient Public (2009) mengatakan, manajemen bencana modern secara komprehensif mencakup empat komponen fungsional.
Pertama, mitigation yang mencakup reduksi atau usaha mengeliminasi komponen risiko bahaya. Di tataran ini, peran sosialisasi protokol 3-M bisa berperan dan fungsional. Kedua preparedness, yakni menciptakan masyarakat berisiko yang memiliki kesiapan dan mampu membantu orang lain pada peristiwa bencana dengan berbagai alat, cara, prosedur, sikap dan tingkah laku yang berfungsi meningkatkan kemampuan bertahan dan meminimalisi risiko.
Berikutnya, ketiga, response, mencakup tindakan mengurangi atau mengeliminasi dampak bencana. Dalam hal ini, sikap disiplin dan mampu menjaga diri untuk tidak menularkan sekaligus menghindri diri dari risiko tertular dari Covid-19 mengambil peran, termasuk pula ke dalam aspek ini adalah kecakapan pemerintah menginformasikan data dan pesan penting ke tengah masyarakat. Sementara yang keempat recovery, mencakup perbaikan, pemulihan, dan usaha agar sembuh dan lepas serta mampu membudayakan pola hidup yang lebih saat setelah pernah terinfeksi virus Corona.
Sementara di sisi supra-struktur (baca: pemerintah), langkah pertama tentu bersentuhan dengan pengaturan kebijakan. Ini merupakan payung hukum berupa kebijakan publik yang menjadi kewenangan pemerintah baik pusat maupun daerah. Pada konteks pandemi Corona, kita sudah memiliki UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pemerintah juga memiliki PP No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Di sektor komunikasi, pemerintah tentunya berpedoman kepada Instruksi Presiden No. 9/2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik.
Sayangnya, dalam tahapan implementasi, masih saja kita temui kebijakan komunikasi publik yang ternyata semakin tidak terpola efektif. Mulai terjadi simpang-siur jumlah total terpapar baik di level provinsi maupun nasional, sebagai misal. Padahal, dalam mengomunikasikan kebijakan yang diambil saat ini dan ke depan, pemerintah harus lebih jelas, lebih logis dan lebih bisa dipahami masyarakat. Informasi yang disampaikan juga harus lengkap dan memiliki ketegasan yang memadai. Jangan menggunakan strategi komunikasi equivocal.
Janet Beavin Bavelas dalam bukunya Equivocal Communication (1990), memaknai equivocal sebagai pengemasan pesan yang sengaja dibuat tidak jelas, tidak langsung dan tidak lugas. Menilik data yang selalu disampaikan oleh gugus tugas Covid-19 nasional, sebagai contoh konkrit, yang disampaikan adalah ‘hanya’ berupa data statistik berupa jumlah total terpapar Covid-19, jumlah yang meninggal dan jumlah yang sembuh. Informasi statistik seperti itu kemudian hanya dibumbui dengan instruksi untuk mematuhi protokol kesehatan. Di sisi konten, informasi yang disebar didominasi oleh data kuantitatif. Sementara data kualitatif yang menyasar kepada program konkret sangat langka kita cermati di media.
Sementara itu, ditilik dari aspek-aspek data kuantitatif yang selalu diumumkan setiap hari, tidak ada data mengenai jumlah orang yang aktif terpapar, dengan kata lain, jumlah anggota masyarakat yang saat ini masih terinfeksi, belum sembuh dan tentunya berpotensi menularkan virusnya kepada orang lain. Padahal data ini bisa dikalkulasikan dari jumlah total terpapar dikurangi jumlah yang sembuh dan meninggal.
Tanpa maksud mengecilkan arti data lainnya, data ini merupakan data terpenting dan krusial dibeberkan secara terbuka ke hadapan khalayak, ketimbang informasi jumlah yang sudah sembuh dan jumlah total. Terlebih, sesungguhnya data dapat menjadi pedoman informasi penting bagi pengambil kebijakan untuk memetakan baik secara georafis maupun secara sosiologis kerentanan suatu wilayah akan potensi meluasnya wabah ini.
Jika kita lacak di media online mengenai data aktif terpapar Covid-19 maka kita akan mengalami kesulitan, informasi ini sangat susah ditemukan. Ironis sekali, data ini setelah usaha keras baru penulis temukan di laman Wikipedia setelah mengetik kata kunci ‘COVID-19 pandemic in Indonesia’. Ini tentu memprihatinkan dan bahkan cenderung kontra produktif dengan cita-cita bersama seluruh lapisan masyarakat, yaitu bagaimana agar bencana pandemi Covid-19 segera berlalu melalui cara dan usaha yang betul-betul serius, komprehensif dan efektif. Tidak ada jalan lain selain memperbaiki pola komunikasi dan melengkapi konten informasi yang setiap hari didiseminasi ke tengah masyarakat.
Ke depan, media dan masyarakat harus semakin kritis dan proaktif, pemerintah mesti berbenah. Media harus membuka ruang dan rubrik di kanal medianya yang khusus memuat testimoni para penyintas Covid-19. Informasi ini amat penting diketahui publik agar memiliki bekal dan pedoman prosedur tentang bagaimana melalui masa-masa krusial terpapar virus Corona. Begitu juga di pihak otoritas terkait, informasi harus secara lengkap disampaikan ke publik, termasuk informasi mengenai jumlah anggota masyarakat yang masih aktif mengidap Covid-19 di setiap level geografis. (*)