Peneliti UBH: Racun pada Penyu Disebabkan Pencemaran Laut

Lampiran Gambar

Padangkita.com – Peneliti Penyu dari Universitas Bung Hatta (UBH) Padang Harfiandri Damanhuri mengatakan terdapatnya racun di dalam tubuh penyu tidak terlepas dari adanya pencemaran air laut. Hal ini menanggapi kasus keracunan warga di Mentawai akibat mengonsumsi penyu saat pesta adat (punen), Minggu (19/02/2018) lalu.

Harfiandri menjelaskan penyu merupakan hewan yang memakan hampir semua jenis makanan di laut, terutama makro alga. Makro alga yang paling banyak dimakan penyu adalah rumput laut dan lamun. Menurut dia, rumput laut merupakan tumbuhan yang mampu menyerap logam yang mencemari laut.

Baca juga:
Tiga Warga Tewas, Dinkes Mentawai: Stop Konsumsi Penyu!
32 Warga Kepulauan Mentawai Meninggal akibat Keracunan Penyu Sejak 2005

“Rumput laut yang tercemar logam berat ini masuk ke tubuh penyu. Salah satu jenis logam berat yang pernah ditemukan pada penyu, yaitu arsenik. Logam berat yang ada di dalam tubuh penyu tidak akan pernah hilang, malah akan bertambah terus atau terakumulasi di dalam tubuh penyu. Penyu sendiri sebenarnya juga mengalami risiko yang ditimbulkan oleh logam berat. Ada yang kena tumor, tumbuh daging-daging ganjil di daerah telinga, dan luka-luka yang tidak pernah sembuh,” ujar Harfiandri kepada Padangkita.com, Senin (26/02/2018).

Ia melanjutkan, penyu juga merupakan hewan penjelajah yang bisa beruaya hingga 6.000 km. Berdasarkan penelitian, penyu (jenis lekang) di Aceh dan India, secara genetik memiliki kesamaan dengan penyu di Pariaman. Maka dapat diasumsikan pergerakan penyu dimulai dari daerah tengah Sumatera, menuju utara, terus masuk ke Pantai Aceh, lalu ke arah India di Teluk Bengal sebagau tempat berputar.

“Karena penyu bergerak secara bergerombol, ada pula kemungkinan penyu hijau bergerak dari Mentawai, terus ke Nias, ke Aceh, lalu ke India. Dengan kondisi ini, dapat dibayangkan berapa logam berat yang termakan oleh penyu di sepanjang perjalanannya. Apalagi saat ini, ada oknum yang membuang zat kimia, reaktor nuklir, dan zat berbahaya lainnya ke laut. Industri, begitu pula, ada yang melakukan pencucian seng dan alumunium di laut, itu bisa menyebabkan kematian bagi kita,” ujarnya.

Dosen Pascasarjana UBH ini juga menyanggah pernyataan sejumlah penduduk Mentawai mengenai ada penyu yang beracun dan ada yang tidak beracun. Para penduduk beralasan orang terdahulu tidak ada yang meninggal karena keracunan penyu.

Menurut Harfiandri, dengan kondisi saat ini tidak bisa dipastikan mana penyu yang beracun dan mana yang tidak. Mengingat banyaknya kasus keracunan penyu akhir-akhir ini, maka dapat dikatakan hampir semua penyu beracun. Selain karena bisa beruaya denga jarak yang jauh, penyu juga bisa berumur puluhan tahun, bahkan bisa sampai seratus tahun. Rata-rata, kata dia, penyu hijau yang dimakan penduduk berusia 50 tahun.

“Bayangkan, sudah berapa makanan yang sudah tercemar dimakannya selama di laut. Dihubungkan pula dengan efek cemaran yang sangat tinggi, perubahan iklim. Itu mempengaruhi struktur tubuh penyu. Banyaknya cemaran yang terkonsumsi oleh penyu meningkatkan kadar logam berat yang ada di dalam tubuhnya. Kalau zaman dulu pencemaran laut mungkin tidak terlalu tinggi,” terang Andri.

Mengingat mengonsumsi penyu tidak lagi aman, Harfiandri pun mengajak masyarakat untuk tidak lagi mengonsumsinya. Daging penyu yang biasanya disantap saat punen, bisa diganti dengan ayam ataupun babi yang biasanya diperlihara masyarakat Mentawai. Sementara itu, penyu bisa dikembangkan menjadi objek ekowisata yang bisa mendatangkan pemasukan bagi warga setempat.

“Potensinya besar sebab Mentawai merupakan tempat strategis bagi penyu untuk bertelur di pantai dekat Samudera Hindia,” ujarnya.

Sebelumnya, sekitar 104 warga dari enam suku di Desa Pasakiat, Taileleu, Kecamatan Siberut Barat Daya, Kabupaten Kepulauan Mentawai mengalami keracunan seusai mengonsumsi penyu dalam suatu acara adat, Minggu (18/02/2018).

Akibat keracunan ini, tiga orang meninggal dunia dan 16 orang lainnya mesti mendapatkan perawatan intensif. Dua orang dirawat di puskesmas, sedangkan 14 orang dirawat di Balai Desa. Sementara itu, tiga orang meninggal dunia, yaitu dua balita dan satu orang lansia.

Saat ini 16 warga yang mendapatkan perawatan intensif sudah kembali ke rumah masing-masing dan menjalani rawat jalan.

Baca Juga

Ilmuwan Muda Ini Emosi Masakan Padang Disebut Tidak Sehat, Tunjukkan Titik Masalahnya
Ilmuwan Muda Ini Emosi Masakan Padang Disebut Tidak Sehat, Tunjukkan Titik Masalahnya
GAIA Dental Clinic di 'Spelling Bee' Jadi Momen Orang Tua dan Anak untuk Peduli Kesehatan Gigi
GAIA Dental Clinic di 'Spelling Bee' Jadi Momen Orang Tua dan Anak untuk Peduli Kesehatan Gigi
Banjir Produk Tanpa Izin Edar di Pasar Online, BBPOM Padang Gelar Aksi
Banjir Produk Tanpa Izin Edar di Pasar Online, BBPOM Padang Gelar Aksi
Perawatan Gigi dan Liburan: Ini 'Dental Clinic' di Padang yang Populer di Kalangan Wisatawan
Perawatan Gigi dan Liburan: Ini 'Dental Clinic' di Padang yang Populer di Kalangan Wisatawan
Riyono Ungkap 10 Dampak Serius Ekspor Pasir Laut, Mulai dari Ekologis hingga Konflik Sosial
Riyono Ungkap 10 Dampak Serius Ekspor Pasir Laut, Mulai dari Ekologis hingga Konflik Sosial
Launching Buku 'Green Democracy', Sultan: Semangat Wujudkan Keseimbangan
Launching Buku 'Green Democracy', Sultan: Semangat Wujudkan Keseimbangan