Padang, Padangkita.com – Menyambut Hari Ulang Tahun ke-355, Pemerintah Kota (Pemko) Padang mempercantik Balai Kota lama yang merupakan cagar budaya.
Untuk keperluan itu, Pemko Padang mengalokasikan anggaran sebesar Rp1,8 miliar. Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Padang, Raju Minropa menyampaikan, anggaran itu dipakai untuk pengecatan ulang. Kemudian, untuk perbaikan-perbaikan kecil pada bagian dalam gedung.
Pengecatan diprioritaskan pada dinding luar. Selanjutnya, mengembalikan fungsi ruang sidang dan ruang wali kota lama. Lantai dua akan diisi galeri oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan.
Raju menegaskan, pemeliharaan gedung Balai Kota lama tidak mengganggu struktur bangunan dan hal-hal yang prinsip dari sebuah bangunan.
Menurut Raju, pemeliharaan untuk menjaga kelestarian gedung Balai Kota lama sebagai aset bersejarah Kota Padang. Gedung Balai Kota lama ini, kata dia, akan dikembalikan seperti aslinya.
”Bentuk fasad gedung ini kita pertahankan. Catnya kita kembalikan putih, seperti gedung zaman dulu. Kita hanya intervensi lantai, untuk dinding, baik interior dan eksterior kita kembalikan ke bentuk semula,” ujar Raju melalui keterangannya, dikutip Selasa (23/7/2024).
Sejarah Gedung Balai Kota
Menurut data Kemendikbudristek, awalnya bangunan Balai Kota Padang berada di kawasan Muaro, yakni Kantor Asisten Residen. Sejalan waktu, kapasitas ruangan tersebut tidak memadai, sementara kegiatan para abdi masyarakat pada saat itu terus meningkat.
Sehingga, timbul keinginan membangun suatu gedung Balai Kota (geemente) yang lebih representatif.
Kesepakatan membangun gedung Balai Kota muncul pada tahun 1910. Berdasarkan penghitungan anggaran biaya ketika itu, pembangunan Balai Kota membutuhkan sekitar 16.000 golden.
Namun, anggaran sebesar itu tak mampu ditanggung oleh alokasi keuangan Pemerintah Kota Pradja. Akibatnya, rencana pembangunan Balai Kota pun tertunda. Pada tahun 1917, keinginan untuk membangun kembali gedung Balai Kota, muncul lagi.
Pemerintah Kota Praja berencana membeli sebidang tanah untuk Balai Kota dan Pasar Raya. Namun, lagi-lagi rencana ini gagal karena kekurangan uang.
Selanjutnya, tahun 1928, Pemerintah Kota Praja pindah dari Kantor Asisten Residen, karena kondisi gedung yang sudah tidak layak. Untuk sementara, Pemerintah Kota Praja menyewa sebuah kantor di Sungai Bongweg atau saat ini berlokasi di sekitar Jalan Imam Bonjol, di samping Masjid Agung Nurul Iman.
Pertengahan tahun 1928 Kota Padang mengalami depresiasi yang berimbas kepada turunnya harga tanah. Kesempatan ini dijadikan sebagai motor penggerak untuk merealisasikan pembangunan gedung Balai Kota.
Akhirnya, kesepakatan terwujud dan tanah untuk pembangunan gedung sudah siap. Agar kualitas bangunan cukup representatif maka pada saat itu para anggota dewan mengundang Thomas Karsten, seorang ahli tata kota untuk perencanaan gedung tersebut.
Menurt Suryadi Sunuri, peneliti dari Universitas Leiden, Belanda, Thomas Karsten juga pernah merencanakan membangun kota-kota air di Kalimantan layaknya Amsterdam dan kota-kota Belanda lainnya. Namun, kata dia, rencana itu tidak kesampaian karena Indonesia keburu merdeka.
Pada tahun 1936, gedung balai kota atau gemeete selesai dibangun dan siap ditempati.
Secara keseluruhan arsitektur bangunan ini layaknya seperti bangunan kolonial. Pada sudut barat daya terdapat sebuah bangunan menara yang pada ketiga sisinya terdapat jam dinding.
Jendela pada dinding lantai atas berderet secara vertikal sehingga memberikan kesan bangunan tinggi. Pintu masuk masuk berada di sayap selatan bangunan.
Bangunan ini terdiri dari dua lantai dan dilenngkapi dengan jendela berventilasi di sekelilingnya. Pada dasar lantai bawah sisi selatan dibuat menjorok ke depan sehingga membagi bangunan menjadi dua bagian dengan pintu menuju ke teras lantai atas.
Cukup lama, bangunan ini tidak mengalami perombakan yang mengubah bentuk dasar dan arsitektur bangunan. Perombakan kemudian dilakukan, hanya pada bagian dalam untuk menambah jumlah ruangan. Gedung Balai Kota lama berdinding permanen dengan lantai ubin dan atap seng.
Baca juga: Sejarah Balai Kota Padang dari Masa ke Masa, dari Kawasan Muaro ke Aie Pacah
Secara keseluruhan bangunannya tetap memperlihatkan ciri khas bangunan arsitektur kolonial dengan gaya art-deco. Ini ditandai dengan bentuk ventilasi, jendela dan dinding yang memiliki ornamen.
[*/pkt]