SEBANYAK 142 niniak mamak (pemimpin adat) di Kelarasan Bungo Setangkai akan berkumpul di rumah gadang Tan Malaka besok, Sabtu (14/1). Mereka bakal mendelegasikan beberapa pihak untuk menjemput raja mereka, Ibrahim Dt. Tan Malaka, yang berkubur di negeri orang.
Tan Malaka yang dikenal sebagai Bapak Republik adalah pucuk penghulu (raja) di kampungnya, Nagari Pandam Gadang, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat .
Secara agama, sebutnya, ada 3 perkara jasad seorang muslim bisa dipindahkan atau dibongkar yakni belum melaksanakan syariat Islam, gugur atau dimakamkan tidak di tanah kekuasaannya, dan mencari kebenaran atau selama ini disengketakan.
"Posisi Tan Malaka sangatlah final dan penting bagi kaumnya sendiri. Di wilayah adat dia membawahi 142 niniak mamak atau kaum, di Kelarasan Bungo Setangkai (tiga nagari: Pandam Gadang, Suliki, dan Kurai). Adatnya dari Agam, mainan urang 50 Kota," ujar Wakil Bupati Limapuluh Kota Ferizal Ridwan, kemarin.
Dia mengatakan acara yang diselenggarakan besok merupakan prosesi sakral secara adat Ibrahim Dt. Tan Malaka, selaku Raja Keselarasan Bungo Setangkai.
"Jadi di sana akan dilewakan, dihimbaukan ke nan rami, bahwa raja yang selama ini hilang ndak tahu rimbonya, hanyuik ndak tahu muaronyo, dengan ditemukan di Selopanggung, akan dijemput kembali," jelas Ferizal.
Menurut Ferizal, dalam prosesi secara adat, maka 142 niniak mamak tersebut mendelegasikan kepada Pemkab 50 Kota, Pemkab Kediri, Tan Malaka Institute (TMI) dan YPP PDRI.
Tentu para delegator dibekali alasan dan argumentasi kuat untuk menjemput jasad yang sudah terkubur sejak 68 tahun silam.
Ferizal mengedepankan alasan secara adat dan agama adalah argumentasi kuat Tan dipindahkan.
Secara agama, sebutnya, ada 3 perkara jasad seorang muslim bisa dipindahkan atau dibongkar yakni belum melaksanakan syariat Islam, gugur atau dimakamkan tidak di tanah kekuasaannya, dan mencari kebenaran atau selama ini disengketakan.
"Tan Malaka memenuhi ketiga unsur ini," tandasnya.
Dalam sistem adat, tandas Ferizal, Tan raja yang hilang, berkewajiban orang kampung melakukan proses penjemputan.
Sementara sisi adat, jelas Ferizal, ada pituah yang mengatakan setiap pemangku adat (pembawa gelar yang kedudukannya raja), apabila meninggal paling lambat 100 hari dilakukan menjemput anggun-anggun (secara adat: mungkin kekuasaaan, pusako yang pernah dibawa untuk berkeluarga), mesti diselesaikan secara adat.
Lalu, sambungnya, prosesi pemindahan gelar diawali oleh pemakaman, baru prosesi menaiki ke balai (masih penghulu kaum) untuk dijadikan komponen Nagari agar duduak samo randah, tagak samo tinggi, baru batagak panghulu.
Dalam sistem adat, tandas Ferizal, Tan raja yang hilang, berkewajiban orang kampung melakukan proses penjemputan.
"Pemangku adat bermakam di tanah ibunya karena kita memakai sistem matriakat," ujar pria yang biasa disapa Buya ini.
"Ini marwah adat," sambungnya.
Secara politik, Ferizal meyakinkan sudah membicarakan dengan Pemkab Kediri dan prinsipnya mereka tidak menghalangi alias membolehkan pemindahan jasad. Sementara makam yang di Selopanggung lebih difungsikan sebagai pentilasan atau simpul napak tilas Tan.
Disana dia meninggal dan kedepannya makamnya akan disebut di Pandam Gadang.
Menurut rencana, pembongkaran nantinya akan dilakukan tanggal 21 Februari, sesuai dengan tanggal tewasnya Tan.
Ferizal mengatakan, penjemputan akan dilakukan secara adat dan secara kebangsaan (menghormati Tan sebagai seorang Bapak Republik).
Secara adat, artinya para duta akan membawa perlengkapan penghulu yang sejatinya melekat pada Tan secara konteks pemimpin adat.
“Pakaian sapatagak (baju, sarawa galembong, pakaian niniak mamak, karih, tungkek, payuang)- Al-Quran, kain kapan, lambang burung garuda, bendera merah putih," jelasnya.
Ferizal menargetkan jasad Tan sampai di Pandam Gadang 13 April, setelah sebelumnya diarak di 49 Kabupaten dan Kota yang pernah disinggahi Tan, termasuk juga rencana dibawa ke Istana.