Padangkita.com - Pemerintah kolonial Belanda sempat berencana untuk menjadikan bahasa Minangkabau sebagai bahasa pengantar (voertaal) di sekolah-sekolah di Sumatera Barat. Aturan tersebut akan diterapkan di kelas-kelas rendahan dan dimulai di sekolah-sekolah yang guru-gurunya mengerti bahasa Minang. Program diluncurkan pada tahun akademik 1931-1932.
Wacana ini pernah publikasikan di majalah Pandji Poestaka, No. 56, Tahoen VIII, 15 Juli 1930, hlm. 899 (rubrik Kroniek). Berikut adalah cuplikan berita dalam majalah tersebut yang dilansir dari laman pribadi dosen dan peneliti Universitas Leiden, Suryadi Sunuri.
Berhoeboeng dengan penjelidikan t[uan] Dr. P. Voorhoeve di Soem[atera] Barat baroe2 ini direntjanakan bahwa sekolah-sekolah kl. II di Soem[atera] Barat bahasa Minangkabau itoe akan didjadikan bahasa pengatar. Oléh karena itoe sekarang tengah dioesahakan oentoek mengadakan persediaan2 peroebahan kitab2 pengadjaran disekoah-sekolah tsb. Atoeran itoe akan dilakoekan dikelas-kelas rendahan, dan moela2 hanja di sekolah-sekolah jang goeroe-goeroenja mengerti bahasa itoe. Disekolah-sekolah lain goeroe-goeroenja haroes beladjar bahasa itoe dahoeloe.
Suryadi dalam laman pribadinya menjelaskan bahwa instruksi dari Batavia ini direalisasikan dengan menyuruh linguis M.G. Emeis yang waktu itu menjadi Direktur Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren di Fort dek Kock untuk mengarang buku-buku pelajaran bagi sekolah rendah dalam bahasa Minangkabau. Maka terbitlah buku Lakeh Pandai (1932), Kini Lah Pandai (1933), dan Dangakanlah (Volume 1, 1935 dan volume 2, 1937).
Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa kebijakan tersebut gagal dilaksanakan. Buku-buku itu, menurut Suryadi, ditolak oleh orang Minangkabau, bahkan sampai dibahas dalam rapat Minangkabauraad. Orang Minang menganggap kebijakan itu merupakan langkah mundur, sebab orang Minang sudah lama menggunakan bahasa Melayu tinggi dalam dunia tulis-menulis.
Penolakan datang dari kaum guru dan intelektual Minangkabau yang dipimpin oleh anggota Minangkabau Raad Abd. Aziz St. Kenaikan. Mereka menyampaikan mosi penolakan itu dalam sidang MinangkabauRaad tahun 1939. Orang Minang kemudian memelesetkan judul buku Lakēh Pandai menjadi Lakeh Pandia (‘cepat bodoh’). “Maksudnya, buku itu hanya mempercepat kebodohan atau memperbodoh orang Minang saja,” ujarnya.
Pemberitaan tentang penundaan sampai batas waktu yang tidak tentu penggunaan bahasa Minangkabau sebagai bahasa pengantar di sekolah rakyat ini kemudian dimuat dalam majalah majalah Pandji Poestaka No. 17, Tahoen X, 23 Februari 1932, hlm. 270 [rubrik Kroniek]. Bunyinya adalah sebagai berikut.
Bahasa Minangkabau, jang daholoe dimaksoed akan diadjarkan disekolah kl. II sekolah désa dan sekolah Normaal, sebagai bahasa pengantar (voertaal) moelaï permoelaan th. pengadjaran j. a. d. ini ta’ djadi dilangsoengkan. Boléh djadi akan ditoenda beberapa tahoen lagi.