Padangkita.com – Jumlah rumah aman di Sumatera Barat dinilai masih kurang dan belum memadai. Padahal rumah aman merupakan kebutuhan yang sangat mendesak mengingat masih tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumbar.
Direktur Women Crisis Center Nurani Perempuan Yefri Heriani mengatakan keberadaan rumah aman masih menjadi kendala lembaganya untuk menangani perempuan korban kekerasan. Saat ini, Nurani Perempuan hanya memiliki tiga rumah aman. Menurut Yefri, penyediaan rumah aman sebenarnya merupakan kewajiban dari negara.
“Memang Sumbar mengklaim sekarang sudah punya rumah aman, yakni berada di dekat GOR Agus Salim. Tapi menurut kami itu bukan rumah aman. Tidak ada rumah aman itu yang berada di tengah kota dan dipromosikan. Rumah aman itu rumah yang tidak diketahui di mana tempatnya,” ujar Yefri, Sabtu (30/12/2017).
Yefri menjelaskan, rumah aman diperlukan untuk melindungi korban agar benar-benar aman dan tidak lagi dikejar-kejar oleh pelaku kekerasan. Rumah aman juga mesti dilengkapi oleh tenaga lainnya, seperti psikolog, untuk mengatasi trauma yang dialami korban.
Ia melanjutkan, perempuan korban kekerasan mesti mendapatkan rehabilitasi. Jika tidak, korban berpotensi mendapatkan kekerasan secara berulang-ulang. Selain itu, korban juga bisa mendapatkan bentuk kekerasan lainnya sebagai dampak dari kekerasan yang didapatkan sebelumnya.
“Misalnya, pada kasus perkosaan. Dari 39 kasus perkosaan yang dilaporkan, 11 di antaranya mengakibatkan kehamilan yang tak diinginkan dan 3 perkawinan anak usia dini. Kehamilan yang tak diinginkan tersebut berujung dengan dua kasus aborsi paksa dengan 1 kasus kematian bayi,” terang Yefri.
Sebelumnya, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Eri Gusman juga mengkritik ketidaksiapan pemerintah dalam penanggulangan anak korban kekerasan. Salah satu bentuk ketidaksiapan itu, yaitu soal keberadaan rumah aman yang bagi anak disebut Rumah Sosial Perlindungan Anak (RPSA).
“RPSA memang telah disiapkan, tetapi anggaran untuk operasionalnya tidak disediakan. Padahal setiap RPSA membutuhkan tenaga seperti psikolog, dokter, kesehatan anak, guru pendidikan agama, dan sebagainya,” ujar Eri, Kamis (09/11/2017).
Menurut Eri, selama ini, kebanyakan korban hanya dikembalikan ke keluarga, tidak ada upaya rehabilitasi. Kondisi ini tentu akan mengganggu masa depan anak akibat trauma. Di samping itu, peningkatan jumlah kekerasan juga berpotensi terus
“Pada kasus kekerasan seksual, korban anak perempuan rentan untuk kembali menjadi korban, sedangkan korban anak laki-laki akan menjadi pelaku. Upaya rehabilitasi memang sangat dibutuhkan,” ujarnya.
Berdasarkan catatan akhir tahun yang dirilis WCC Nurani Perempuan, jumlah kekerasan terhadap perempuan meningkat. Tahun ini kasus kekerasan yang dilaporkan ke Nurani Perempuan mencapai 132 kasus dari 109 kasus pada tahun sebelumnya.
Sementara itu, LPA Sumbar juga mencatat adanya peningkatan angka kekerasan terhadap anak dalam empat tahun terakhir. Pada 2014, ada 58 laporan yang masuk ke LPA, 2015 sebanyak 117 laporan, 2016 sebanyak 108 laporan, dan hingga Oktober 2017 mendekati 100 laporan. Angka tersebut, kata Eri, belum termasuk kasus yang tidak dilaporkan ke LPA Sumbar.