Negeri Ini (Selalu) Butuh (Suara) Kita

Negeri Ini (Selalu) Butuh (Suara) Kita

Mohammad Isa Gautama, eksponen 1998, Kepala Pusat Kajian Gerakan Bersama Antikorupsi, Universitas Negeri Padang (PK-Gebrak-UNP). [Foto: Dok. MIG]

OPINI ini saya tulis saat adik, anak, dan kemenakan kita berorasi dan menjunjung poster/spanduk/karton atau apa pun yang bisa jadi alat menuliskan pemberontakannya terhadap situasi terkini. Opini ini saya tulis saat saya sendiri begitu malu tidak bisa bergabung dengan mereka, disebabkan satu dan lain hal yang benar-benar tidak bisa saya tepis.

Opini ini saya tulis kala melimpah-ruahnya pengkhiatan terhadap hak-hak rakyat. Rakyat mulai dari yang paling tertindas secara langsung, maupun tidak langsung, sampai mereka yang sebenarnya kaum elite juga namun kali ini ikut-ikutan pula ditindas, dikebiri, dilanggar dan dizalimi hak ekonomi dan politiknya.

Tidak tertahankan kegeraman saya, dan saya yakin kegeraman ini sudah lama merambat di benak dan sanubari para anak bangsa. Anak bangsa yang masih mencoba secara jernih dan lugu melihat persoalan demi persoalan dari tingkat terbawah sampai teratas. Anak bangsa yang mungkin dengan segala keterbatasannya kemarin di Pemilu Pilpres, terpaksa menerima duit secuil, barang Rp50 ribu-Rp100 ribu, hanya demi bisa makan untuk sehari dua hari, dengan cara mau memilih yang katanya calon pemimpin lima tahun ke depan, yang ternyata sponsornya adalah aktor dan penyebab utama segala kerusakan di negeri ini.

Padahal baru kemarin ini rasanya saya turun ke jalan, di barisan depan, meneriakkan anti terhadap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Situasinya mirip. Rezim yang dibongkar kala itu termasuk rezim terkuat di dunia. Meminjam istilah Bourdieu, seluruh sendi dan struktur ISA (Institutional State Aparatus) sudah dalam genggamannya. Trias politika jadi boneka. Yudikatif, legislatif, dan apalagi eksekutif, dihuni orang-orang karbitan yang setiap waktu dapat distel dan ditekan agar (selalu) mengikuti keinginan sang raja.

Guritanya sampai ke mana-mana, bahkan ke dalam relung kampus dan sekolah. Terbukti, para pengajar, mulai dari dosen hingga guru, tak sedikit yang masih ragu mendukung kami turun ke jalan pertama kali. Belum lagi yang terang-terangan menolak dan melarang.

Tapi untunglah, setiap manusia pasti punya sisi baik dalam dirinya, sejahat dan sebejat apa pun tingkah laku yang pernah dicetaknya. Demonstrasi besar-besaran, yang didukung oleh seluruh elemen bangsa, kecuali para penindas yang mengangkangi demokrasi dan hak sipil untuk berkelompok dan bersuara, sejatinya cuma sarana mengingatkan kembali bahwa nurani itu masih ada.

Bahwa kebenaran, sebagai senjata utama melawan kemungkaran, adalah ajaran paling adiluhung dan agung, jauh di atas segala teori dan ilmu tingkat doktoral sekalipun. Kebenaran itu, sejak bayi diajarkan dan dicontohkan oleh orangtua dan pendidik kita. Bahwa kebenaran, adalah segala yang mesti kita perjuangkan, sampai kita tak mampu lagi berbuat apa-apa memperjuangkan atau mencontohkannya.

Jadi, logikanya simpel saja. Bangsa ini tampahnya ditakdirkan untuk selalu bersatu kala penindasan, penjajahan sudah secara masif dan tidak bisa ditolerir lagi dengan cara biasa. Bahkan sejak pra-kemerdekaan, kita disatukan oleh musuh yang sama: kolonialisme Belanda dan Jepang dan kita bersatu melawannya. Bahkan lagi, negara ini kan berdiri setelah salah satu syarat uatamanya, yaitu adanya wilayah tempat hidup bersama.

Wilayah itu didasarkan secara yuridis sebagai seluruh tanah yang pernah sama-sama dijajah. Di atas tanah yang pernah dijajah itulah berdiri geografis negara kita, dari Sabang sampai Merauke. Beranjak dari fakta itulah kita melanjutkan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai Indonesia yang Merdeka: hidup dan bertumbuh di atas tanah yang pernah dijajah.

Lantas, setelah merdeka, ternyata nasib dijajah itu belum juga sepenuhnya sirna. Kita jadi teringat kata-kata Soekarno, bahwa beban kita sebagai anak bangsa akan lebih berat dibanding dirinya dan para pendiri bangsa lain. Beban kita sejak merdeka adalah “melawan” anak bangsa sendiri. Seolah-olah Soekarno sudah meramalkan bahwa sampai kapan pun kita masih saja dijajah, cuma berganti pelakunya saja. Kata orang kampung saya: Baganti cigak jo baruak.

Namun makna terpenting dari kata-kata mutiara Soekarno itu sejatinya bukan itu. Makna terpentingnya adalah: Kalian sebagai anak bangsa tetaplah siuman, tetaplah berjuang dan bersatu menyuarakan kebenaran, karena di masa depan bangsa ini akan dizalimi oleh anak bangsa Indonesia juga. Masa sih, kala Belanda menindas kalian berani angkat bambu runcing, bahkan nyawa dan darah pun tumpah demi kemerdekaan. Masa sih, di zaman yang lebih berat dan kolonialismenya semakin canggih kalian malah bermental lemah dan (bisa jadi) berpangku tangan melihat penindasan dan penzaliman?

Pesan Soekarno itu sederhana tapi tajam dan sangatlah berguna, juga selalu kontekstual dan relevan, apapun zaman yang kita arungi di negeri ini, di tanah tempat kita lahir, beranak pinak, mencari makan dan menangisi keadaan. Pesan Soekarno itu mengingatkan kita sekali lagi, penjajahan itu tidak mesti berupa pendudukan militer dan dilakukan bangsa asing. Penjajahan adalah segala bentuk pelanggaran terhadap konstitusi. Adalah segala yang merampas hak ekonomi. Adalah yang menerabas nilai-nilai etika dan moral. Padahal kita bercita-cita diatur apa-apanya secara konstitusional.

Mengaku sebagai negara hukum, tapi kok ada juga para elite yang menggunakan hukum seenak udelnya sendiri? Mengaku membela rakyat, lho kok rakyat dielus-elus bahkan disuap saat Pemilu, lantas saat mensahkan sebuah (atau segepok) Undang-Undang tidak lagi mau mendengar dan membawa suara rakyat?

Ingatlah, tahun 1945, 1966, 1998 kita bersatu padu, turun ke jalan. Sudah kita buktikan bersama. Tahun 1945 kita turun seluruhnya ke jalan, memanggul senjata apa yang kita punya, berperang mengusir penjajah. Tahun 1966 kita juga turun ke jalan, karena sudah muak dengan rezim yang diktator dan yang narsistik, egois serta jelas-jelas justri memiskin rakyatnya sendiri.

Tahun 1998, kita terpaksa lagi turun ke jalan, setelah 32 tahun lamanya capek berpura-pura puas dengan keadaan dan “prestasi” pengelola negara yang menjalankan segala sesuatunya via ancaman moncong bedil. Ketiga momen itu akhirnya kita selamatkan melalui turun ke jalan. Kita lalu berikrar dan bercita-cita bahwa itu semua  adalah turun jalan yang terakhir.

Kini, 2024, kurenah pengelola negara tidak jauh beda dengan 1998. Banyak pengamat menilai bahkan lebih parah. Lantas apakah kita masih percaya, bahwa 1998 adalah yang terakhir? Apakah mengangkangi konstitusi belum termasuk penjajahan, penzaliman? Apakah ancaman dan intimidasi di kampus-kampus terhadap suara-suara kritis bukan termasuk penzaliman juga? Padahal kampus (katanya) adalah benteng terakhir peradaban.

Katanya lagi, jika kampus ikut-ikutan membeo kepada rezim yang sesat dan tiran, maka tidak ada lagi nurani dan keadaban dalam jantung bangsa dan negara. Jika para Guru Besar di mana pun berada lebih banyak cuek dan tutup mata dengan kondisi di tepi negaranya, maka alamat kehancuran bangsa dan negara itu sudah tidak perlu menunggu waktu lagi.

Sekali lagi, maafkan saya yang lebih memilih menulis opini ini, ketimbang ikut turun ke jalan. Bagaimanapun, perang melawan kemungkaran adalah perang terberat sekaligus paling klise dalam sejarah umat manusia. Tuhan pun sudah berfirman di Al-Maidah ayat 64, Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Saya melawan perbuatan merusak dengan cara yang saya bisa. Di sisi lain, saya masih percaya sepenuhnya bahwa negara ini akan selalu butuh suara kita bersama.

Baca juga: Pemberantasan Korupsi dan Masa Depan KPK

Turunlah ke jalan kapan pun itu wajib dilakukan. Lawanlah perbuatan merusak itu. Tampaknya, raja di singgasananya lebih suka dengan cara seperti ini untuk disadarkan, ketimbang cara biasa dan normal yang setiap hari sudah kita lakukan. Samar-samar masih terngiang juga kata-kata Soekarno itu. Maka lawanlah dengan segala bisa. Toh kita adalah para tertindas yang sudah luar biasa kenyang dengan penjajahan di setiap masa. [*]

Penulis: Mohammad Isa Gautama, eksponen 1998, Kepala Pusat Kajian Gerakan Bersama Antikorupsi, Universitas Negeri Padang (PK-Gebrak-UNP) .

Baca Juga

Tembus Pasar Internasional, Perusahaan Lokal Pariaman Ekspor 140 Ton Pinang ke India
Tembus Pasar Internasional, Perusahaan Lokal Pariaman Ekspor 140 Ton Pinang ke India
Pemprov akan Bangun Kantor MUI Sumbar Bertingkat 5 dengan Anggaran Rp24 Miliar
Pemprov akan Bangun Kantor MUI Sumbar Bertingkat 5 dengan Anggaran Rp24 Miliar
Bank Nagari Ingin Ikut Pembiayaan Pembangunan Flyover Sitinjau Lauik, Sanggup Rp500 Miliar
Bank Nagari Ingin Ikut Pembiayaan Pembangunan Flyover Sitinjau Lauik, Sanggup Rp500 Miliar
Survei Pilkada Limapuluh Kota
Survei Pilkada Limapuluh Kota
Media Sosial dan "Fluid Identity"
Media Sosial dan "Fluid Identity"
Populisme Islam Digital di Sumatera Barat
Populisme Islam Digital di Sumatera Barat