Menimbang Pertanggungjawaban Individu dan Korporasi dalam Kasus BBM Oplosan Pertamina

Menimbang Pertanggungjawaban Individu dan Korporasi dalam Kasus BBM Oplosan Pertamina

Ilustrasi. [Foto: Istimewa]

Dunia perminyakan nasional gempar ketika Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah yang melibatkan subholding Pertamina dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) 2018—2023 (“Mengintip Aturan yang Dilanggar dalam Dugaan Korupsi Minyak Mentah Pertamina, Bisnis.com, 25 Februari 2025).

Bermula dari Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang mengatur prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri, para tersangka di Pertamina Patra Niaga diduga secara sistematis mengakali regulasi tersebut. Manipulasi regulasi distribusi minyak mentah itu tidak hanya menimbulkan kerugian finansial negara, tetapi juga menciptakan pertanyaan hukum kompleks: sejauh mana individu dapat dimintai pertanggungjawaban, bagaimana Pertamina Patra Niaga sebagai subholding harus bertanggung jawab, dan apa konsekuensi bagi holding Pertamina yang lalai dalam melakukan pengawasan?

Dalam konteks hukum pidana Indonesia, pertanggungjawaban individu didasarkan pada prinsip "geen straf zonder schuld" (tiada pidana tanpa kesalahan). Artinya, seseorang hanya dapat dihukum jika terbukti melakukan kesalahan dan mampu bertanggung jawab atas perbuatannya. Tujuh tersangka yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung akan dievaluasi berdasarkan unsur kesengajaan atau kelalaian mereka dalam mengakali aturan tata kelola minyak mentah. Namun, penting dicatat bahwa tindakan individu itu tidak terjadi dalam ruang hampa—mereka beroperasi dalam sistem dan struktur korporasi Pertamina Patra Niaga yang mestinya berada di bawah pengawasan induk perusahaannya: Pertamina.

Karena itulah, dimensi pertanggungjawaban korporasi menjadi tak terpisahkan dari kasus tersebut. Undang-Undang Tipikor telah mengatur kemungkinan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, yang diperkuat dengan Perma Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Dalam konteks kasus itu, pertanggungjawaban harus diurai dalam tiga level: individu pelaku, Pertamina Patra Niaga sebagai subholding tempat tindak pidana terjadi, dan PT Pertamina (Persero) yang lalai dalam pengawasan.

Untuk mengurai kompleksitas masalah itu, beberapa doktrin pertanggungjawaban korporasi relevan diterapkan. Pertama, doktrin identification theory atau teori identifikasi dapat diterapkan pada Pertamina Patra Niaga sebagai subholding. Doktrin itu mengajarkan bahwa tindakan atau kesalahan dari individu yang merupakan "directing mind" atau pengendali korporasi dapat diidentifikasi sebagai tindakan atau kesalahan korporasi itu sendiri. Jika terbukti bahwa eksekutif tingkat tinggi Pertamina Patra Niaga terlibat dalam manipulasi distribusi BBM—sebagaimana diindikasikan oleh penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung—tindakan tersebut dapat diatribusikan langsung kepada Pertamina Patra Niaga sebagai entitas korporasi.

Kedua, doktrin vicarious liability atau pertanggungjawaban pengganti dapat diterapkan untuk menuntut pertanggungjawaban holding Pertamina atas kelalaian Pertamina Patra Niaga sebagai subholding. Meskipun secara struktur korporasi keduanya entitas terpisah, relasi induk-anak perusahaan menciptakan kewajiban pengawasan bagi induk perusahaan Pertamina. Kegagalan PT Pertamina (Persero) dalam mengawasi operasional Pertamina Patra Niaga yang mengakibatkan terjadinya dugaan tindak pidana korupsi dapat menjadi dasar untuk menerapkan doktrin vicarious liability sehingga perusahaan induk turut bertanggung jawab atas kelalaian pengawasan tersebut.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengamanatkan prinsip good corporate governance melalui pasal-pasal kunci, khususnya Pasal 4, yang menegaskan pentingnya asas iktikad baik dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dalam tiap aktivitas Perseroan, serta Pasal 92 dan Pasal 108, yang mewajibkan Direksi dan Dewan Komisaris menjalankan tugas demi kepentingan Perseroan dengan penuh tanggung jawab.

Praktik pengoplosan BBM yang diduga berlangsung selama bertahun-tahun di Pertamina Patra Niaga mengindikasikan adanya permasalahan sistemik dalam budaya korporasi, baik di level subholding maupun perusahaan induk. Dalam hal itulah doktrin corporate culture menjadi sangat relevan. Doktrin itu mengajarkan bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban jika terbukti memiliki budaya yang mendorong, menolerir, atau gagal mencegah tindak pidana yang dilakukan oleh anggotanya. Investigasi terhadap tata kelola dan budaya kerja di Pertamina Patra Niaga serta mekanisme pengawasan oleh PT Pertamina (Persero) menjadi krusial untuk menentukan sejauh mana kedua entitas korporasi tersebut telah menciptakan lingkungan yang memungkinkan praktik ilegal itu berlangsung.

Selain itu, doktrin strict liability juga dapat dipertimbangkan dalam kasus tersebut, khususnya untuk Pertamina sebagai induk perusahaan. Mengingat holding Pertamina memiliki kewajiban pengawasan terhadap subholding-nya dalam pengelolaan sumber daya strategis yang berdampak langsung pada kepentingan publik, penerapan doktrin strict liability dapat dibenarkan. Dalam hal itu, Pertamina sebagai induk perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban atas kelalaian pengawasan terhadap Pertamina Patra Niaga tanpa perlu dibuktikan adanya unsur kesengajaan, mengingat besarnya tanggung jawab yang diemban dalam mengelola aset negara.

Dalam perspektif ekonomi, kerugian negara akibat praktik pengoplosan BBM oleh Pertamina Patra Niaga berdampak luas ke berbagai sektor kehidupan masyarakat. Subsidi energi yang seharusnya tepat sasaran menjadi tidak efektif akibat manipulasi distribusi. Di sanalah terlihat pelanggaran kewajiban fiduciary dilakukan oleh para eksekutif Pertamina Patra Niaga, dan kelalaian pengawasan oleh PT Pertamina (Persero) terjadi, yang berimplikasi langsung pada kerugian negara dan masyarakat.

Penindakan terhadap kasus itu harus mempertimbangkan hierarki pertanggungjawaban. Individu pelaku harus mempertanggungjawabkan tindakan pidananya secara langsung. Pertamina Patra Niaga sebagai subholding tempat tindak pidana terjadi harus bertanggung jawab atas kegagalan sistem internalnya. Sementara itu, holding Pertamina harus mempertanggungjawabkan kelalaiannya dalam mengawasi subholding. Pertanggungjawaban bertingkat itu penting dilakukan untuk memastikan tidak ada celah dalam sistem yang dapat dimanfaatkan untuk menghindari sanksi.

Penerapan compliance system yang ketat menjadi respons preventif yang diperlukan, bukan hanya di level subholding tetapi melainkan juga di Pertamina sebagai induk perusahaan. Kasus itu menunjukkan bahwa tidak cukup hanya mengandalkan peraturan yang baik tanpa sistem kepatuhan dan pengawasan yang efektif antara induk dan anak perusahaan. Undang-Undang Perseroan Terbatas mengamanatkan penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), termasuk sistem pengawasan internal yang efektif. Kegagalan PT Pertamina (Persero) dalam mengawasi Pertamina Patra Niaga yang mengakibatkan praktik pengoplosan BBM berlangsung selama bertahun-tahun menunjukkan lemahnya implementasi prinsip itu.

Kasus itu juga membuka diskusi tentang reformasi tata kelola BUMN secara umum, khususnya dalam struktur holding-subholding. Status unik BUMN yang berada di antara entitas bisnis dan pengemban misi publik menciptakan ambiguitas dalam penerapan doktrin-doktrin pertanggungjawaban korporasi. Revisi peraturan yang mengatur BUMN mungkin diperlukan untuk mengklarifikasi bagaimana doktrin-doktrin hukum korporasi diterapkan pada struktur holding-subholding dengan karakteristik khusus seperti Pertamina.

Transparansi menjadi kunci dalam mencegah pengulangan kasus serupa. Implementasi prinsip keterbukaan informasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Pasal 66 tentang kewajiban pelaporan tahunan menjadi krusial, terutama untuk BUMN yang mengelola sumber daya strategis seperti minyak bumi. Publik berhak mengetahui bagaimana minyak mentah dikelola, bagaimana subsidi dialokasikan, dan bagaimana keputusan-keputusan strategis diambil, termasuk bagaimana Pertamina mengawasi Pertamina Patra Niaga.

Dalam perspektif yang lebih luas, kasus itu menunjukkan bahwa korupsi di sektor energi berdampak langsung pada ketahanan energi nasional. Manipulasi distribusi BBM oleh Pertamina Patra Niaga yang lolos dari pengawasan holding Pertamina berpotensi menciptakan kelangkaan buatan yang merugikan masyarakat sebagai pengguna akhir. Pertanggungjawaban hukum dalam kasus itu harus mempertimbangkan dimensi keadilan sosial, yang sejalan dengan semangat Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang tidak hanya melindungi kepentingan pemegang saham, tetapi juga pemangku kepentingan lainnya.

Ke depan, pendekatan multidimensi diperlukan untuk mencegah pengulangan kasus serupa. Penguatan legislasi antikorupsi, reformasi tata kelola korporasi (khususnya relasi induk-anak perusahaan), peningkatan kapasitas aparatur pengawas, dan edukasi publik tentang dampak korupsi di sektor energi perlu dilakukan secara simultan. Undang-Undang Perseroan Terbatas dan doktrin-doktrin pertanggungjawaban korporasi harus diimplementasikan secara lebih efektif, terutama dalam konteks BUMN dengan struktur holding-subholding.

Sebagai penutup, kasus BBM oplosan yang melibatkan Pertamina Patra Niaga dan kelalaian pengawasan PT Pertamina (Persero) menghadirkan tantangan sekaligus kesempatan untuk memperkuat sistem pertanggungjawaban korporasi di Indonesia. Sintesis antara pertanggungjawaban individu, subholding, dan induk perusahaan menjadi kunci, bahwa pelaku individual harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana, Pertamina Patra Niaga bertanggung jawab atas kegagalan sistem internalnya, dan Pertamina sebagai induk perusahaan mempertanggungjawabkan kelalaian pengawasannya. Doktrin-doktrin hukum korporasi yang telah dibahas—identification theory, vicarious liability, corporate culture, dan strict liability—memberikan kerangka komprehensif untuk menuntut pertanggungjawaban yang adil dan efektif di setiap level korporasi. Dengan penerapan doktrin-doktrin itu secara konsisten, didukung oleh implementasi Undang-Undang Perseroan Terbatas yang tegas, kita dapat berharap terjadinya perbaikan fundamental dalam tata kelola sumber daya energi nasional yang lebih transparan, akuntabel, dan berkelanjutan.

Fernando Wirawan, S.H., M.H.
Konsultan Hukum di Pragma Integra Law Firm

Baca Juga

Mengenal CoreTax: Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) dengan Seribu Solusi
Mengenal CoreTax: Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) dengan Seribu Solusi
Kenakalan Remaja: Fenomena Sosial yang Mengkhawatirkan
Kenakalan Remaja: Fenomena Sosial yang Mengkhawatirkan
Indonesia Vs Arab Saudi: Duel Seru di Lapangan, Sampah Plastik Jadi 'PR' Kita Semua
Indonesia Vs Arab Saudi: Duel Seru di Lapangan, Sampah Plastik Jadi 'PR' Kita Semua
Survei Pilkada Limapuluh Kota
Survei Pilkada Limapuluh Kota
Media Sosial dan "Fluid Identity"
Media Sosial dan "Fluid Identity"
Populisme Islam Digital di Sumatera Barat
Populisme Islam Digital di Sumatera Barat