Membangun Legitimasi: Katedral Eropa dan IKN dalam Analisis Hegemoni

Membangun Legitimasi: Katedral Eropa dan IKN dalam Analisis Hegemoni

Fernando Wirawan, Peneliti dan Konsultan Hukum di Firma Pragam Integra. [Foto: Dok. Pribadi]

AKHIR-akhir ini, diskursus publik di Indonesia kembali dipenuhi oleh perdebatan mengenai kelanjutan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Salah satu sorotan datang dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI yang, melalui pernyataan sikap pada April 2025, mengajukan delapan tuntutan kepada pemerintah. Salah satunya menekankan penolakan terhadap proyek IKN yang dianggap tidak selaras dengan kepentingan rakyat serta berpotensi merusak lingkungan hidup dan warisan budaya masyarakat adat.

Pernyataan ini menjadi pemicu gelombang diskusi lanjutan yang mempertanyakan legitimasi politik dan sosial dari proyek monumental tersebut.

Pada saat yang hampir bersamaan, dunia internasional dikejutkan oleh kabar wafatnya Paus Fransiskus (Jorge Mario Bergoglio) pada April 2025, setelah lebih dari satu dekade memimpin Gereja Katolik sejak 2013. Paus asal Argentina ini dikenal sebagai tokoh reformis yang menekankan kesederhanaan, kepedulian terhadap lingkungan, dan keberpihakan pada kaum marginal. Ia juga bersuara lantang dalam konflik kemanusiaan global, termasuk menyerukan gencatan senjata dan perlindungan warga sipil dalam krisis Gaza yang terus berkecamuk sejak akhir 2023.

Kepergiannya memicu refleksi mendalam tentang peran Gereja Katolik dalam percaturan moral global, sekaligus mengingatkan kita akan warisan simbolik Gereja—baik dalam bentuk nilai, otoritas spiritual, maupun arsitektur monumental yang dibangun lintas generasi. Dalam konteks inilah, proyek IKN dapat dibaca secara simbolik mirip dengan pembangunan katedral-katedral Eropa yang bukan hanya memenuhi kebutuhan fungsional, tetapi juga mencerminkan upaya memperkuat legitimasi kekuasaan melalui representasi simbolis dan monumental.

Forum Purnawirawan Prajurit TNI, melalui pernyataan sikap yang ditandatangani ratusan anggota pada April 2025, mengeluarkan delapan tuntutan, salah satunya menghentikan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) karena dianggap tidak selaras dengan kepentingan rakyat dan berpotensi merusak lingkungan.

Proyek IKN, dengan segala ambisinya, mengingatkan pada pembangunan monumen-monumen besar di masa lalu, seperti katedral-katedral megah di Eropa. Karya seperti Notre-Dame (1163–1345), Cologne Cathedral (1248–1880), dan St. Peter’s Basilica (1506–1626) merupakan bukti ambisi lintas generasi yang menegaskan kekuasaan gereja Katolik. Arsitektur Gotik dengan menara menjulang dan kaca patri bertema porta coeli (gerbang surga) dirancang untuk membangkitkan rasa takjub dan ketundukan.

Ketegangan seputar proyek IKN saat ini juga menggemakan tantangan yang dihadapi katedral-katedral tersebut, seperti di Katedral Florence, di mana kubah rancangan Brunelleschi menjadi solusi atas perencanaan yang tertunda hampir satu abad, menunjukkan bahwa proyek besar kerap menghadapi hambatan teknis dan sosial.

Seperti halnya pembangunan IKN yang kini menuai pro dan kontra, proyek-proyek besar di masa lalu pun tak luput dari kontroversi dan tantangan, terutama ketika ambisi pembangunan bertemu dengan tarik-menarik kepentingan politik, sosial, dan spiritual sebagaimana tercermin dalam sejarah panjang pembangunan katedral-katedral megah di Eropa. Pembangunan yang memanfaatkan teknologi seperti flying buttresses (penopang melayang), sering terhenti karena krisis politik atau ekonomi, seperti pada Katedral Cologne yang membutuhkan waktu 632 tahun untuk diselesaikan.

Dana pembangunan berasal dari sumbangan umat, pajak gereja, dukungan kerajaan, dan indulgensi (praktik pengampunan dosa melalui pembayaran). St. Peter's Basilica bahkan memicu Reformasi Protestan akibat praktik indulgensi yang dianggap eksploitatif, sebagaimana ditunjukkan melalui kritik Martin Luther.

Proses ini mencerminkan kemampuan gereja untuk mengerahkan sumber daya lintas generasi, memperkuat dominasinya melalui pengendalian wacana spiritual dan finansial, dengan durasi panjang pembangunan dianggap pantas karena didukung narasi keagamaan yang kuat.

Katedral bukan sekadar tempat ibadah, tetapi alat kekuasaan yang memperkuat posisi elit melalui simbolisme monumental. Notre-Dame melambangkan kekuasaan gereja dan monarki Prancis, diperkuat oleh dukungan Raja Louis IX dan restorasi oleh Napoleon III, sementara Katedral Cologne menjadi simbol nasionalisme Jerman pada abad ke-19, menyatukan berbagai identitas daerah.

St. Peter's Basilica menegaskan otoritas Paus selama Kontra-Reformasi, dengan desain Baroque (gaya seni yang menekankan kemegahan dan detail rumit) yang megah. Sebagai pusat ziarah, seperti Santiago de Compostela, katedral mengendalikan pergerakan dan ekonomi lokal, tetapi praktik eksploitatif seperti tenaga kerja paksa dan pajak tinggi menimbulkan perlawanan.

Sainte-Chapelle, yang dibangun untuk menampung relik Mahkota Duri, mencerminkan ambisi Louis IX untuk mengabadikan kesalehan dan kekuasaannya, menggambarkan bagaimana katedral memadukan simbolisme spiritual dan politik.

Pembangunan katedral menawarkan pelajaran bagi Ibu Kota Nusantara (IKN), proyek modern yang direncanakan untuk menyelesaikan fase awal pada 2024–2029, jauh lebih cepat dibandingkan waktu pembangunan katedral. Katedral menunjukkan pentingnya visi jangka panjang yang adaptif, seperti perubahan teknologi pada Katedral Florence, yang relevan untuk IKN dalam menghadapi perubahan politik dan ekonomi. Pendanaan katedral, yang sering terhenti karena krisis keuangan, menekankan perlunya IKN mendiversifikasi sumber dana, seperti obligasi hijau (instrumen keuangan untuk mendanai proyek ramah lingkungan), untuk mengurangi ketergantungan pada utang sebesar Rp466 triliun.

Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan katedral, melalui sumbangan dan tenaga kerja, menciptakan rasa memiliki, menunjukkan bahwa IKN memerlukan konsultasi publik yang inklusif untuk memastikan dukungan sosial, terutama dengan masyarakat adat di Kalimantan. Simbolisme katedral sebagai identitas kolektif menawarkan perbandingan bagi IKN sebagai simbol persatuan nasional, tetapi IKN harus menghindari kesan elitis untuk memperoleh dukungan luas. Canberra, ibu kota baru Australia, menunjukkan tantangan legitimasi akibat biaya tinggi dan kurangnya keterlibatan publik, sebuah pelajaran penting bagi IKN.

Dinamika politik, ekonomi, dan sosial mempengaruhi keberlanjutan proyek monumental. Katedral bergantung pada dukungan politik monarki, seperti Notre-Dame, sementara IKN, sebagai warisan Presiden Joko Widodo, rentan terhadap perubahan prioritas politik setelah pemilu. Fluktuasi ekonomi menyebabkan penundaan pada Katedral Cologne, menunjukkan bahwa IKN harus mengelola ketidakstabilan global untuk menjaga kelangsungan pendanaan.

Secara sosial, katedral menciptakan kesatuan melalui narasi spiritual, tetapi juga ketegangan akibat eksploitasi tenaga kerja. IKN menghadapi tantangan serupa dengan relokasi masyarakat adat, yang menimbulkan kritik terkait hak-hak komunitas, sehingga memerlukan konsultasi publik yang substantif. Sagrada Família di Barcelona, yang masih dalam proses pembangunan sejak 1882, menunjukkan bagaimana dukungan masyarakat dan pariwisata dapat mempertahankan proyek jangka panjang, relevan untuk strategi IKN dalam membangun legitimasi.

Analisis Hegemoni

Secara komparatif, katedral dan IKN mencerminkan konteks dominasi yang berbeda. Katedral memakan waktu berabad-abad, memungkinkan akumulasi nilai budaya yang menjadi warisan universal, sementara IKN menargetkan penyelesaian cepat, berisiko mengorbankan kualitas demi kecepatan. Pendanaan katedral dari sumbangan dan indulgensi (pengampunan hukuman dosa yang diberikan gereja Katolik) berbeda dengan IKN yang mengandalkan APBN dan investasi swasta, dengan potensi obligasi hijau untuk keberlanjutan.

Tujuan hegemoni katedral adalah supremasi teologis, sedangkan IKN berfokus pada persatuan nasional dan efisiensi administratif. Simbolisme porta coeli (gerbang surga) pada katedral sejalan dengan narasi kota cerdas IKN, tetapi IKN menghadapi tantangan deforestasi (penggundulan hutan) dan kekurangan legitimasi yang tidak dialami katedral. Katedral bertahan karena fungsi budayanya, sementara IKN harus memastikan keberlanjutan ekologis dan sosial untuk mempertahankan relevansinya.

Dari perspektif kebijakan publik, katedral tidak memiliki kerangka akuntabilitas modern, tetapi IKN dengan landasan UU No. 3/2022 tentang Ibu Kota Negara, harus mengadopsi evaluasi multi-dimensi yang mencakup indikator ekonomi, sosial, dan ekologis.

Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan katedral menciptakan legitimasi melalui pengorbanan kolektif, menunjukkan bahwa IKN memerlukan konsultasi publik untuk mengatasi konflik dengan masyarakat adat. Legitimasi katedral dibangun melalui narasi keagamaan yang homogen, sedangkan IKN, dalam masyarakat Indonesia yang beragam, harus membuktikan manfaatnya sebagai pendorong pembangunan regional untuk menghindari persepsi sebagai monumen politik jangka pendek.

Restorasi Notre-Dame setelah kebakaran 2019 menunjukkan bagaimana proyek monumental dapat mempersatukan masyarakat jika dikelola secara transparan, sebuah pelajaran bagi IKN. Untuk keberlanjutan, katedral bertahan karena nilai budayanya, sementara IKN harus mengintegrasikan prinsip kota cerdas dan perlindungan lingkungan, seperti pelestarian 50% area hutan, untuk memenuhi harapan masyarakat kontemporer. Tantangan penggundulan hutan dan hak adat menuntut strategi mitigasi komprehensif agar IKN menjadi proyek inklusif dan berkelanjutan.

Secara keseluruhan, katedral Eropa dan IKN adalah ekspresi kekuasaan yang mencerminkan konteks zamannya. Katedral memanfaatkan narasi keagamaan dan pengorbanan kolektif untuk menciptakan warisan budaya abadi, sementara IKN mengandalkan efisiensi modern dan narasi nasionalisme untuk mendapatkan dukungan.

Dengan mengadopsi pelajaran dari katedral—visi jangka panjang, keterlibatan masyarakat, dan akumulasi nilai simbolik—serta menerapkan rekomendasi kebijakan yang diusulkan, IKN dapat melampaui persepsi sebagai monumen politik dan menjadi pendorong pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Hegemoni, baik dalam konteks keagamaan maupun negara, memerlukan legitimasi melalui manfaat jangka panjang, sebuah prinsip yang menghubungkan katedral dan IKN dalam narasi kekuasaan dan simbolisme monumental.

[*]

Penulis: Fernando Wirawan, Peneliti dan Konsultan Hukum di Firma Pragma Integra

Baca Juga

Peletakan Batu Pertama Proyek Flyover Sitinjau Lauik Dijadwalkan Awal Mei 2025
Peletakan Batu Pertama Proyek Flyover Sitinjau Lauik Dijadwalkan Awal Mei 2025
Perjuangan dan Posisi Tawar
Perjuangan dan Posisi Tawar
Gubernur Pastikan, Setelah Lebaran Ruas Jalan Batas Payakumbuh-Sitangkai akan Rigid Beton
Gubernur Pastikan, Setelah Lebaran Ruas Jalan Batas Payakumbuh-Sitangkai akan Rigid Beton
Pembangunan Sumbar Prioritas Prabowo, Andre Rosiade Update Proyek Jalan Air Dingin Solok
Pembangunan Sumbar Prioritas Prabowo, Andre Rosiade Update Proyek Jalan Air Dingin Solok
Pembangunan Flyover Sitinjau Lauik Dimulai, akan Jadi yang Terindah Saingi Kelok Sembilan
Pembangunan Flyover Sitinjau Lauik Dimulai, akan Jadi yang Terindah Saingi Kelok Sembilan
Kontrak Pembangunan Flyover Sitinjau Lauik Diteken, Persembahan Andre Rosiade untuk Sumbar
Kontrak Pembangunan Flyover Sitinjau Lauik Diteken, Persembahan Andre Rosiade untuk Sumbar