Bagi sebagian media (massa) dalam jejaring (daring) atau online, pelajaran bahasa Indonesia tentang paragraf (alinea) sepertinya tidak berlaku. Media-media itu menjadikan kalimat yang sebenarnya bagian sebuah paragraf sebagai paragraf baru. Apa yang menyebabkan hal itu terjadi? Pertanyaan tersebut akan saya coba jawab dalam tulisan ini.
Sebagaimana yang kita ketahui, satu paragraf pada umumnya terdiri atas satu kalimat utama, yang berisi gagasan utama (pokok), dan satu atau lebih kalimat penjelas, yang berisi gagasan penjelas. Sesuai dengan namanya, kalimat penjelas bertugas menjelaskan kalimat utama. Oleh karena itu, kalimat penjelas tidak bisa dipisahkan dari kalimat utama, atau dengan kata lain, kalimat penjelas berada dalam satu paragraf dengan kalimat utama.
Namun, sebagian media daring mengabaikan hal itu. Beberapa media daring membuat paragraf satu kalimat, padahal paragraf selanjutnya, yang juga terdiri atas satu kalimat, bagian dari paragraf sebelumnya. Berikut ini contoh berita yang memakai paragraf seperti itu.
Tim All England Indonesia tiba di Bandara Soekarno Hatta tepatnya di ruangan VVIP Terminal 3 , Senin (22/3/2021) pukul 20.00 WIB.
Greysia Polii jadi orang pertama yang masuk ke area ruangan VVIP yang kemudian diikuti atlet bulutangkis lainnya.
Sambil membawa koper dan perlengkapan badminton, mereka berjalan memasuki ruangan VVIP.
Mereka tampak tetap mengenakan masker.
Kehadiran mereka pun disambut orang-orang yang ada di dalam ruangan.
Greysia Polii dkk. pun melempar lambaian ke arah awak media.
Sumber: “Kalungkan Bunga Sendiri, Tim All England Indonesia Jalani Tes Kesehatan Setibanya di Bandara Soetta” (Tribunnews.com, 22 Maret 2021).
Keenam kalimat tersebut seharusnya menjadi satu paragraf karena hanya memiliki satu kalimat utama, yakni Tim All England Indonesia tiba di Bandara Soekarno Hatta. Lima kalimat lainnya hanyalah kalimat penjelas dari kalimat utama tersebut.
Saya ingin menuding bahwa wartawan-wartawan yang menulis paragraf seperti itu tidak memahami prinsip paragraf. Namun, saya urung melakukan itu karena hendak berbaik sangka bahwa mereka memahami prinsip paragraf, tetapi melanggarnya dengan pertimbangan tertentu.
Jumlah Kalimat dalam Paragraf
Paragraf tidak harus mengandung setidaknya dua kalimat, dengan kata lain, paragraf boleh hanya berisi satu kalimat. Sebagaimana dikatakan Gorys Keraf dalam Komposisi (1993), ada beberapa sebab adanya alinea yang terdiri dari satu kalimat. Pertama, alinea itu kurang baik dikembangkan oleh penulisnya; penulisnya kurang memahami hakikat alinea. Kedua, sengaja dibuat oleh pengarang karena ia sekadar mengemukakan gagasan itu bukan untuk dikembangkan, atau pengembangannya terdapat pada alinea-alinea berikutnya. Menurut Keraf lagi, sebuah alinea yang terdiri dari sebuah kalimat dapat bertindak sebagai peralihan antara bagian-bagian dalam sebuah karangan. Dialog-dialog dalam narasi-narasi biasanya diperlakukan satu alinea.
Meskipun begitu, saya tegaskan bahwa hal itu hanya berlaku untuk kalimat yang tidak memiliki kalimat penjelas. Hal itu tidak berarti bahwa kalimat-kalimat penjelas dari kalimat utama boleh dipisahkan menjadi paragraf-paragraf lain.
Sementara itu, satu paragraf boleh berisi satu atau lebih kalimat penjelas. Jumlah kalimat penjelas tidak terbatas. Oleh sebab itu, selain tidak dibatasi oleh jumlah kalimat, satu paragraf juga tidak punya urusan dengan panjang atau pendeknya baris-baris kalimat yang membentuknya atau banyaknya jumlah kata di dalamnya.
Akan tetapi, di beberapa media massa daring paragraf seakan-akan dibuat dengan pertimbangan panjang atau pendeknya baris-baris kalimat yang diurutkan ke bawah. Pertimbangan seperti itu sepertinya berhubungan dengan tampilan dan kenyamanan membaca. Inilah salah satu pertimbangan tertentu yang saya maksud yang dipilih oleh penulis berita satu paragraf satu kalimat itu. Paragraf dalam berita berikut ini contohnya.
JAKARTA, KOMPAS.com – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kembali mengunggah aktivitasnya berinteraksi dengan warga DKI Jakarta.
Kali ini Anies mengunggah foto sedang berbincang dengan warga di Masjid Nurul Abrar di kawasan Mangga Dua, Jakarta Utara.
Sumber: “Blusukan ke Masjid, Anies Ceritakan Asal-usul Nama Mangga Dua” (Kompas.com, 22 Maret 2021).
Kedua kalimat tersebut sebenarnya satu paragraf karena masih berada dalam satu kesatuan ide pokok, yakni Anies Baswedan kembali mengunggah aktivitasnya berinteraksi dengan warga DKI Jakarta. Namun, dalam berita tersebut kedua kalimat itu dipisahkan menjadi dua paragraf.
Barangkali media melakukan itu karena pertimbangan tampilan. Apabila kedua kalimat itu disatukan menjadi satu paragraf, lalu dibaca melalui ponsel, tumpukan barisnya menjadi lebih banyak. Begini tampilan susunan kalimat tersebut dalam satu paragraf di ponsel.
JAKARTA, KOMPAS.com – Gubernur DKI Jakarta
Anies Baswedan kembali mengunggah
aktivitasnya berinteraksi dengan warga DKI
Jakarta. Kali ini Anies mengunggah foto sedang
berbincang dengan warga di Masjid Nurul Abrar
di kawasan Mangga Dua, Jakarta Utara.
Pertimbangan tampilan itu juga berhubungan dengan pertimbangan kenyamanan membaca. Sebenarnya, kedua kalimat yang disatukan menjadi satu paragraf itu tidak terlalu menumpuk sebab paragrafnya tidak panjang (tidak banyak kalimat penjelas) sehingga masih nyaman dibaca. Namun, jika paragrafnya panjang karena kalimat penjelasnya banyak, paragraf seperti itu jelas melelahkan mata ketika dibaca, apalagi jika dibaca di ponsel, lantaran tumpukannya terlalu panjang.
Sementara itu, di media cetak kalimat seperti itu disatukan menjadi satu paragraf, padahal potensi tumpukan kata di media cetak lebih besar karena tulisan disusun dalam kolom sempit. Berita Kompas edisi 10 Maret 2018 berikut ini contohnya (“Panglima TNI Tunjuk Tiga Pangdam Baru”).
JAKARTA, KOMPAS — Rotasi kem-
bali berlangsung di tubuh Ten-
tara Nasional Indonesia. Kali ini,
Panglima Tentara Nasional In-
donesia Marsekal Hadi Tjahjanto
menunjuk tiga panglima koman-
do daerah militer baru dalam
mutasi bersama 30 perwira
TNI.
Oleh sebab itu, kalau berbicara tentang tampilan dan kenyamanan mata membaca, lebih tidak nyaman sebenarnya membaca panjangnya tumpukan kata di media cetak karena kolomnya sempit dan tulisannya kecil. Namun, media cetak yang bagus tetap memuat paragraf sesuai dengan prinsip paragraf agar sesuai dengan kaidah bahasa.
Dampak
Tanpa disadari oleh wartawan yang memecah paragraf itu, pembaca mengeluarkan usaha lebih untuk memahami informasi dalam kalimat(-kalimat) penjelas yang dipisah menjadi paragraf-paragraf berbeda, yang diceraikan dari kalimat utama. Padahal, kata Rosihan Anwar dalam Bahasa Jurnalistik dan Komposisi (1991), menulis dengan cara paragraf membuat pembaca lebih gampang mengikuti dan memahami gagasan serta pikiran penulis.
“Apabila gagasan-gagasan seorang penulis ditumpukkan dalam suatu onggokan yang tidak karuan, maka pembaca tidak dapat mengikutinya atau menolak mencoba memahaminya. Jadi menulis paragraf berarti mendisiplin diri buat mengutarakan pikiran dalam bahasa yang terang dan jernih,” ujar wartawan fenomenal itu.
Katanya lagi, pembaca yang membaca tulisan itu seolah-olah dengan beraturan menginjak anak-anak tangga pikiran penulis, dari satu paragraf ke paragraf yang berikut.
Dampak lanjutan dari pemisahan kalimat(-kalimat) penjelas menjadi paragraf-paragraf berbeda ialah pembaca sulit dan lambat memahami informasi. Jika susunan paragraf yang diterbitkan media menyulitkan atau memperlambat pembaca memahami informasi, berarti penulis beritanya mengabaikan prinsip menulis berita, khususnya berita lempang (straight news). Wartawan penulis berita lempang sebaiknya mengasumsikan bahwa pembaca harus mendapatkan informasi secepat mungkin dan pembaca tidak punya banyak waktu untuk dihabiskan membaca berita tersebut.
Solusi
Pertimbangan tampilan dan kenyamanan membaca itu tidak diajarkan dalam buku-buku jurnalistik, khususnya bab bahasa. Saya belum menemukan tulisan atau buku yang ditulis pengajar atau pakar jurnalistik yang menganjurkan agar orang memisahkan kalimat-kalimat penjelas dalam sebuah paragraf menjadi paragraf berbeda karena persoalan tampilan dan kenyamanan membaca. Yang dianjurkan oleh pengajar dan pakar jurnalistik ialah membuat kalimat-kalimat pendek atau mengupayakan kalimat tidak terlalu panjang karena kalimat panjang lebih sulit dicerna daripada kalimat pendek. Inilah solusi untuk membuat paragraf menjadi tidak terlalu panjang sehingga masih enak dipandang sekaligus nyaman dibaca. Solusi tersebut juga tidak mengorbankan keutuhan dan prinsip paragraf karena tidak menjadikan kalimat penjelas sebagai paragraf baru.
Meskipun tidak diajarkan dalam pelajaran jurnalistik, pertimbangan tampilan dan kenyamanan membaca itu sepertinya menjadi kesepakatan tidak tertulis oleh sebagian media daring dalam membuat paragraf berita. Hal itu tentu berhubungan dengan peralihan media massa dari media cetak ke media daring. Karena sekarang zaman media daring, beberapa media sepertinya mengubah pakem lama menulis paragraf berita dengan pakem baru yang disesuaikan dengan wadah tempat berita itu dibaca, yakni dari kertas koran ke komputer, laptop, tablet, dan ponsel. Selain itu, adakah pertimbangan lain, misalnya pertimbangan ramah optimisasi mesin pencari alias seach engine optimization (SEO), misalnya paragraf satu kalimat (paragraf pendek) lebih ramah SEO daripada paragraf yang berisi beberapa kalimat (paragraf panjang)?
Dua media daring besar di Indonesia, yakni Tribunnews.com dan Kompas.com, sudah memakai paragraf satu kalimat tersebut. Tidak tertutup kemungkinan nanti media daring lain mengikuti jejak kedua media yang satu grup itu, seperti tren pembagian berita di media daring menjadi beberapa halaman, yang diikuti banyak media.
Kalau nanti semua media sudah memakai paragraf satu kalimat tersebut karena pertimbangan selain pertimbangan prinsip paragraf dalam bahasa, berarti tidak ada gunanya lagi pelajaran bahasa Indonesia, khususnya pelajaran tentang paragraf, diberikan kepada calon wartawan. Calon wartawan sudah bisa meninggalkan bab paragraf dalam pelajaran bahasa jurnalistik—konon kelak semua media cetak beralih menjadi media daring, yang gejalanya sudah terlihat sejak sekarang, terbukti dengan tutupnya banyak media cetak.
Selain itu, media daring yang memakai paragraf seperti itu sebaiknya membuat pernyataan terbuka di bagian disklaimer untuk menjelaskan hal itu agar publik paham bahwa paragraf dalam media daring bukanlah paragraf yang layak ditiru dalam, misalnya, menulis karya ilmiah atau menulis buku. Media tersebut perlu membuat pernyataan seperti itu karena pengaruh bahasa media sangat kentara terhadap masyarakat. Sebagai contoh, penghilangan kata bahwa dalam hampir semua media massa di Indonesia ditiru oleh publik dalam membuat tulisan yang bukan berita, seperti opini dan karya ilmiah. Penghilangan kata bahwa yang saya maksud itu contohnya begini: Presiden mengatakan, pemerintah melarang mudik lebaran 2021 atau Presiden mengatakan pemerintah melarang mudik lebaran 2021. Kalimat itu tidak gramatikal karena tidak ada konjungsi antara predikat (mengatakan) dengan objek yang berupa klausa (pemerintah melarang mudik lebaran 2021). Kata penghubung yang dapat menjembatani predikat dengan objek yang berupaka klausa ialah bahwa. Saya sudah menjelaskan hal itu cukup panjang dalam esai “Kata Bahwa dalam Bahasa Indonesia Jurnalistik” dalam Perca-Perca Bahasa (Diva Press, 2021). Selain itu, bahasa media tidak hanya berpengaruh terhadap publik, tetapi juga terhadap orang yang memproduksinya. Kawan saya seorang wartawan mengaku terbawa gaya menulis berita saat menulis tesis. Dia rata-rata menulis satu paragraf satu kalimat dalam tugas akhir program magister itu. Pengujinya lalu mempertanyakan hal itu.
Karena pengaruh bahasa media sangat “berbahaya” terhadap publik, publik perlu diselamatkan darinya. Buruknya bahasa media, seperti kasus paragraf itu, berpotensi besar mengubah cara pandang publik terhadap paragraf. Kini mayoritas orang membaca berita di media daring, bukan di media cetak. Jika setiap hari mereka dicekoki oleh media dengan paragraf satu kalimat, bukan tidak mungkin paragraf seperti itulah yang tertanam dalam benak mereka sebagai paragraf yang benar. (*)
Holy Adib
Esais bahasa