Soal pendirian. Contohnya, memilih mengundurkan diri sebagai Ketua MUI ketika ia memilih berseberangan pendapat dengan pemerintah mengenai fatwa dilarang umat Islam melakukan perayaan Natal bersama.
Hamka juga seorang pemaaf, manakala bersedia menjadi iman shalat jenazah Soekarno, meski pernah dizalimi.
Hamka, menurut Mestika Zed juga seorang negarawan. Salah satunya identitas yang terlihat adalah membedakan ruang publik: wacana politik, penguasa, dengan ruang pribadi.
Di masa tua, Mestika menilai, Hamka menegaskan eksistensi sebagai seorang buya. Ia mendirikan Al Azhar di Kabayoran Baru, sebagai bukti buya memiliki ‘surau’ atau ruang. Dan disana akan berkumpul jamaah, yang bisa diinterpretasikan sebagai pengikuti, sebagai bentuk berpengaruh.
“Saya kira ada hubungan dengan pola Minangkabau. Dia seseorang pemimpin dan ulama, harus ada wadah. Ia menjadi centre of excelence. Surau itu. Ada pengikut,” pungkas Mestika Zed.
Dengan begitu, bisa dikatakan Hamka menerapkan teori Elite dan Massa, dimana ada jamaah dibelakang, tidak mudah ia digoyang atau dihantam secara individu.
Mestika mengisahkan, tahun 1970-an, kepemimpinan dan kepopuleran Hamka memang betul-betul terlihat imam pemimpin ketika ia ke Padang. Banyak yang histeris, ingin bersentuhan dengan dia.
“Jamaah berasal dari banyak wilayah di Sumbar,” tukasnya.
Identitas keulamaan Hamka lebih kental dipandang umat, ketimbang sebagai pemimpim publik seperti Tan Malaka, Natsir, Agus Salim dan Hatta.
Hamka, menurut Mestika Zed, juga memiliki kontribusi hebat dalam pemikiran sejarah. Salah satu teorinya, Islam di Indonesia harus dilihat sebagai bagian dari dunia Islam keseluruhan yang berpusat di Timur Tengah.