Minangkabau di awal abad 20, kepulangan trio ulama Minang; Haji Rasul, Abdullah Ahmad, dan Syekh Muhammad Jamil Djambek, langsung menebar peperangan dengan kaum adat.
Mereka berlawanan arus dengan kaum tradisional yang dihiasi oleh Syekh Abbas Qadhi, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Arifin Al-Arsyadi, dan lainnya. Inti yang dipolemikan adalah soal tarekat.
“Hamka lahir dari modernis Indonesia yang berlangsung di Minangkabau. Ia pewaris sah dari kelompok modernis. Ia membawa wacana agama untuk perubahan sosial,” ujar Mestika Zed.
Mestika Zed mencontohkan, ketika Buya Hamka merevolusi adat Minangkabau dengan strategi menulis sebagai wujud dialog dengan masyarakat.
Hamka dengan embel-embel Buya di depan nama adalah bentuk apresiasi dan pengakuan atas keulamaannya. Buya sama halnya Kiyai, adalah titel untuk orang yang dianggap memiliki kadar keilmuan yang tinggi dalam Islam, punya surau, dan punya jamaah sebagai bentuk memiliki pengaruh besar di Minangkabau.
Menurutnya, Hamka membangun identitas sebagai ulama diawali tahun 1950-an. Ia bersuara di wilayah dimana tidak dipantau atau dikejar betul, ketika kelompok agama dibungkam.
“Tafsir Al-Azhar lahir saat ditahan karena dianggap cukup berbahaya bagi Demokrasi Terpimpin,” tukas Doktor sejarah tamatan Vrije Universiteit ini.
Mestika menilai, Hamka adalah seorang yang berjiwa merdeka dan berwawasan terbuka. Meski ditahan dalam penjara, ia terus mendalami pelajaran agama, yang sebelumnya bisa dikatakan sudah punya dasar-dasar.
Terpenting untuk Hamka, bilang Mestika Zed, sebetulnya adalah kemerdekaan berpikir dan kepiwaian dia menulis sama hebatnya dengan bicara.
Mestika melanjutkan, jika dihubungkan dengan problema kebangsaan dalam arti sesungguhnya, Hamka adalah seorang intelektual, bisa menyambungkan pemikiranya dengan realitas yang ada, lalu melemparkan ke masyarakat.
“Watak istiqimah seorang Hamka tergambar karena dia siap konfrontasi termasuk dengan rezim lama,” ungkap penulis buku Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini.