Jakarta, Padangkita.com - Wakil Ketua MPR-RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid (HNW) mendukung penolakan sejumlah pihak soal penghapusan penyebutan Madrasah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Diketahui, banyak pihak menolak penghapusan Madrasah dari RUU tersebut, diantaranya Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) yang terdiri dari Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Majelis Pendidikan Kristen (MPK) di Indonesia, Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK), Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Persatuan Tamansiswa, dan Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (HISMINU).
Pria yang akrab disapa HNW, yang juga Anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi masalah Agama ini mengingatkan Kemendikbudristek untuk memahami konstitusi secara benar, karena UUD NRI 1945 telah secara eksplisit menyebutkan tujuan pendidikan nasional yang sangat terkait dengan agama, dan terminologi keagamaan, serta pentingnya satuan pendidikan keagamaan seperti Madrasah dalam kontribusinya yang panjang terhadap pendidikan nasional.
Menurutnya, penghapusan Madrasah dalam RUU Sisdiknas yang beredar tidak sesuai dengan teks dan spirit UUD NRI 1945 pasal 31 ayat 3 dan 5, sehingga wajar bila ditolak oleh APPI dan masyarakat luas. Seharusnya Kemendikbudristek melalui RUU Sisdiknasnya memayungi, mengakui dan mengembangkan seluruh bentuk satuan pendidikan yang diakui, sudah berkembang dan secara merdeka diterima dan diakui oleh Masyarakat dan oleh Negara.
"Bukan justru menghapuskan institusi Madrasah dan memperbesar diskriminasi antar satuan pendidikan tersebut,” disampaikan Hidayat dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, dikutip Padangkita.com, Rabu (30/3/2022).
HNW yang merupakan Wakil Ketua Majelis Syura PKS menganggap, tidak disebutkannya Madrasah merupakan langkah mundur ke tahun 1989, kembali ke masa Orba, dimana dalam UU Sisdiknas waktu itu (UU No. 2/1989) Madrasah tidak dimasukkan menjadi bagian dari satuan pendidikan Nasional.
Namun, diera Reformasi, masalah tersebut sudah dikoreksi dengan hadirnya UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, dimana Madrasah dinyatakan sebagai bagian pendidikan formal. Karenanya dirinya berharap jika ada Revisi UU Sisdiknas, maka itu antara lain dalam rangka menghadirkan keadilan bagi Madrasah, dan teradvokasinya posisi yang seimbang antara madrasah dan sekolah, bukan justru menghapus Madrasah sebagai satuan pendidikan formal yang sudah diakui oleh Negara dan peraturan perundangannya.
“Memang Madrasah berada dibawah Kementerian Agama, sementara Sekolah di bawah Kemendikbudristek dan Dinas Pendidikan Daerah. Tetapi terbukti dari Madrasah bisa muncul lembaga pendidikan yang berkualitas dan unggulan bahkan secara Nasional seperti MAN Insan Cendekia, sekalipun pendanaan Madrasah yang bersumber dari APBN tertinggal jauh dari Sekolah yang mendapatkan alokasi dari APBN dan APBD. Ini diantara masalah yang seharusnya diselesaikan melalui RUU Sisdiknas terbaru, bukan justru malah menghapus Madrasah,” sambungnya.
HNW menilai, alasan Kemendikbudristek melalui Kepala Badan Standar Kurikulumnya (27/3) bahwa penghapusan tersebut agar penamaan jenjang pendidikan menjadi lebih fleksibel, hanyalah dibuat-dibuat dan menunjukkan Kemendikbudristek tidak memahami secara benar soal tujuan Pendidikan dalam konstitusi juga sejarah UU soal Sistim Pendidikan Nasional.
Sebab UU Sisdiknas yang digunakan sekarang (UU No. 20/2003) justru sudah sesuai dengan Konstitusi, mengakui eksistensi Madrasah, dan karenanya memasukkan unsur ‘bentuk lain yang sederajat’ dalam tiap pasal mengenai bentuk pendidikan. Dan menurutnya tidak ada urgensi pengubahan nama satuan pendidikan di tengah banyaknya beragam persoalan pendidikan yang harus diselesaikan.
“Misalnya di pasal 28 ayat 3 UU 20/2003 disebutkan bahwa pendidikan usia dini berbentuk TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat. Artinya fleksibilitas penamaan itu sudah dimungkinkan dan tidak bisa menjadi alasan untuk penghapusan Madrasah. Patut dipertanyakan juga jika Kemendikbudristek hendak mengubah nama satuan pendidikan seperti Madrasah yang sudah mempunyai jejak sejarah yang panjang dan sudah sangat melekat di masyarakat,” lanjutnya.
HNW melihat, insiden penghapusan madrasah dalam RUU Sisdiknas juga berakar dari Kemendikbudristek yang tidak mementingkan pendidikan keagamaan dan pentingnya ajaran agama (iman, takwa, dan akhlak mulia) sebagai tujuan pendidikan nasional, sekalipun disebut sangat jelas di dalam UUDNRI 1945.
Baca Juga:Madrasah Dihapus di RUU Sisdiknas, DPR Bakal Panggil Mendikbudristek
Pasalnya kejadian ini mengingatkan kembali beberapa kontroversi yang sebelumnya dibuat oleh Kemendikbud seperti hilangnya frasa Agama dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035, hilangnya frasa iman dan takwa kepada Tuhan YME dalam PP tentang Standar Pendidikan Nasional, dan hilangnya banyak tokoh bangsa dari kalangan Umat Islam dalam Jilid I Kamus Sejarah Indonesia. Sekalipun semuanya kemudian ditarik oleh Kemendikbud. [isr]