Ketiga, ialah tentang basis pengetahuan yang diajarkan. Natsir, dalam artikelnya itu, menekankan pentingnya sekolah tinggi Islam menghasilkan kelompok intelektual yang memiliki basis pengetahuan keislaman dan kebudayaan yang kuat sebagai alternatif pendidikan ala Barat. Natsir tidak menafikan kalau tiap-tiap sekolah tinggi dapat mementingkan pengetahuan umum. Tetapi bukan semata-mata itu saja, “Yang penting pula ialah kematangan-otak (maturiteit) atau persediaan-ruhani yang cukup untuk berpikir menurut garisan ilmu pengetahuan”. Dapat dikira pendapat ini ialah upaya integratif untuk tidak saling menafikan, tetapi jika itu sekolah tinggi Islam mau tidak mau mesti memberi penekanan lebih kepada ilmu pengetahuan menurut garis Islam.
Keempat, ialah sekolah tinggi Islam harus lahir dari rahim masyarakat Muslim itu sendiri. Inisiatif haruslah keluar dari kaum Muslimin sendiri, bukan titah dari atas (maksudnya tentu pemerintah kolonial Belanda, kalau sekarang tentu ialah keputusan pemerintah-penguasa). Selengkapnya Natsir menulis bahwa Sekolah Tinggi Islam "akan berdiri dengan kokoh lantaran berurat dan berakar dalam satu pundamen kekuatan dan kemauan umat yang telah terbukti kekerasan dan keteguhannya.” Jadi segala kebijakan-kebijakannya tidak dirumuskan berdasarkan keinginan pihak penguasa, tetapi mesti mempertimbangkan kebutuhan umat Islam/rakyat Muslim sendiri sebagai pemilik sahnya dan yang akan mengambil manfaat sekolah tinggi Islam itu.
Selain itu, umat Islam dalam mendirikan perguruan tinggi jangan asal ikut-ikutan. Buat perguruan tinggi orang umum, buat perguruan tinggi pula awak yang Islam ini (kalau sekarang kira-kira: jadi universitas orang, jadi universitas pula awak).
Niat mendirikan sekolah tinggi Islam itu, kata Natsir pula, bukan sekadar hendak pelepaskan tanya orang saja: apakah orang Islam di Indonesia telah mempunyai universitas Islam apa belum, akan tetapi hendaknya dapat menjadi "saluran dalam memberi pengajaran tinggi, juga terutama hendak memberi aliran kepada kekuatan dan usaha rakyat dalam kalangan pelajaran dan pendidikan, serta menjadi pusat pimpinan inisiatif rakyat sendiri”.
Terakhir, kehadiran sekolah tinggi Islam dapat menjadi pemersatu dari, dalam bahasa Natsir, "dua golongan inteligensia" yang acap bersiteru dalam masyarakat Muslim. Kedua golongan ini, yang bermazhab tradisionil dengan didikan ketimuran dan yang modernis berpendidikan Barat, dalam sekolah tinggi Islam, berhak mendapat penghargaan yang sama. Bahkan, kata Natsir, di antara kedua golongan ini, yang pertamalah yang harus mendapat prioritas, sebab kehadiran sekolah tinggi Islam bagi mereka akan memperkokoh dasar yang sudah ada, "jang memperlengkapi dengan rempah-ragam bahasa-bahasa dan ilmu pengetahuan dasar-dasar agama jang ada pada mereka, jang perlu untuk berhadapan dengan segala matjam lapisan masjarakat," demikian Natsir.
***
Tidak sampai dua tahun sejak Natsir terlibat polemik tentang ide-ide sekolah tinggi Islam, di Sumatra menjelang tahun 1940, pemuka Muslim di daerah itu mulai merasa dan telah sampai pada kesadaran bahwa sekolah tinggi Islam memang sudah harus perlu ada didirikan terutama di daerah mereka sendiri. Pendorong-pendorong munculnya keinginan memiliki sekolah tinggi Islam di Sumatra, khususnya bagian tengah, terutama karena banyaknya sekolah menengah Islam di seluruh Sumatra yang melahirkan tamatan yang berlimpah dengan hasrat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sementara di daerah ini sendiri tidak ada satu pun sekolah tinggi Islam yang tersedia untuk “menampung” hasrat itu. Tetapi bukan tidak mungkin keinginan itu dipicu oleh gagasan-gagasan yang dicetuskan terutama oleh Natsir dalam tulisan-tulisannya di beberapa suratkabar.
Natsir, yang berasal dari Sumatra, mungkin telah terlibat percakapan dengan pemuka-pemuka Muslim di sana sebelum maupun sesudah artikel itu ditulis. Jikapun hal itu tidak terjadi, pemuka-pemuka Muslim di sana jelas telah bersinggungan dengan ide-ide pendirian perguruan tinggi Islam melalui berita-berita suratkabar yang skala pembacanya telah meluas pada kurun itu.
Yang jelas, Persatuan Guru Agama Islam (P.G.A.I) di Sumatra berkumpul pada tahun 1940 untuk memprakarsai berdirinya Sekolah Islam Tinggi (STI). Sekolah tinggi ini menjadi lembaga pendidikan tinggi Islam pertama di Sumatra bahkan di Indonesia. Berdiri di Padang, kota penting di wilayah pesisir barat Sumatra, sekolah tinggi Islam ini memiliki tiga jurusan: Jurusan Bahasa Arab, Ilmu Agama, dan Zending Islam yang mula-mula menampung lebih-kurang 20 orang, yang terdiri dari pemuda-pemudi keluaran Normal Islam, Islamic College, Kulliyatul Muballighin. Tidakkah ini sesuai belaka dengan gagasan Natsir tentang calon mahasiswa yang terlebih dahulu mesti diutamakan?
Direkturnya adalah Mahmud Yunus yang sekaligus merangkap sebagai dosen. Para dosennya yang lain, selain Mahmud Yunus, adalah ulama-ulama muda yang juga sudah cukup terkenal pada masanya: Nasharuddin Thaha, Muchtar Yahya, dan Husain Yahya, semuanya dari Darul Ulum Mesir. Lulusan Mesir memang mendominasi cendikiawan dan pendidik Muslim pada masa ini dan kurun-kurun setelahnya.
Beberapa dosen lainnya lulusan-lulusan lokal dan ulama dari kalangan kaum tua, di antaranya adalah Abu Bakar Djaar, S.M. Latief, Saleh Djaafar, dan Syaikh Ibrahim Musa dan Syekh Sulaiman Arrasuli. Adalah menarik untuk dicermati bagaimana kaum modernis dan tradisionalis ditampung dalam satu wadah bersama di perguruan tinggi ini yang tidak pernah ada sebelumnya; sebelumnya kaum tua dan kaum muda mengajar di lembaga milik mereka masing-masing. Tidakkah ini sejalan juga dengan pandangan Natsir kalau kedua golongan yang berbeda mazhab itu harus mendapat tempat dan hak yang sama?
Pelajarannya lebih banyak didominasi pelajaran agama, tetapi ilmu-ilmu yang bersifat umum juga tidak dinafikan. Syaikh Ibrahim Musa mengajar Ushul, Syaikh Abbas Abdullah mengajar Tafsir, Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli mengajar Fiqhi, L. Mudo Hamid Hakim mengajar Hadits, Bustami Abdul Gani mengajar Bahasa Arab, Nashroeddin Thaha mengajar Sejarah Islam dan Sejarah Hukum Islam sekaligus, Mr. Harun Al-Rasjid mengajar Pengantar Ilmu Hukum, A. Sani mengajar Sosiologi, Adam Saleh mengajar Bahasa Indonesia, A. Hamid mengajar Bahasa Inggris, dan A. R. Sutan Mansur mengajar Ilmu Tauhid. Tidakkah hal begitu itu yang diinginkan Natsir?
Sekolah Islam Tinggi di Padang itu tutup-berhenti setelah Jepang datang. Upaya mendirikan perguruan tinggi Islam baru muncul kembali jauh setelah Indonesia mereka.
Setidak-tidaknya, pikiran-pikiran Natsir tentang perguruan tinggi Islam pada beberapa sisi telah diadopsi atau sekurangnya berkecocokan dalam pendirian perguruan tinggi Islam yang pertama ini. Jika perguruan-perguruan tinggi Islam yang berdiri kemudian telah bersalin rupa dalam berbagai konsepsi dan praktiknya, yang bisa jadi cocok bisa juga tidak dengan gagasan-gagasan awal Natsir, mungkin tuntutan masing-masing zamannyalah yang membuat itu terjadi. Tetapi jika perkembangan perguruan-perguruan tinggi Islam kita sekarang ini masih terlihat menyisakan ketimpangan di sana-sini, maka tidak ada salahnya gagasan-gagasan Natsir itu kita patut-patut lagi. Tentu saja agar terhindar dari menjadi perguruan tinggi Islam yang, seperti kata Natsir, "kemari senteng, kesana sendjang". [*]
Pandai Sikek, Februari 2022.
Penulis: Deddy Arsya, dosen sejarah di IAIN Bukittinggi