Bulan ini, 29 tahun yang lalu Natsir wafat.
Saya tidak tahu bagaimana harus mengenangnya sekarang. Apakah saya harus mengulang-ulang mengingat-ngingat yang telah banyak diketahui orang tetapi terus saja diabaikan:
Dia pernah jadi Perdana Menteri. Mosi integralnya yang terkenal menyelamatkan Indonesia dari perpecahan. Dia yang selalu sederhana. Memakai jas dengan tambalan bahkan di saat jadi Perdana Menteri. Ke mana-mana dengan sepeda dan menolak diberi mobil. Ketika masa jabatannya habis, dia tidak mau diantar mobil dinas, dan lebih memilih pulang meninggalkan rumah dinas Perdana Menteri dengan sepeda ke rumah kontrakannya. Dia pindah dari rumah kontrakan yang satu ke kontrakan lainnya sambil terus mengarang, berceramah, berpidato.
Saya tidak tahu apa pentingnya itu sekarang dan nyaris merasa sangat sia-sia telah menyebutnya. Semua itu mungkin hanya dongengan, atau kisah yang dilebih-lebihkan, seolah-olah berasal dari dunia yang lain sama sekali dengan kondisi sekarang ketika para pejabat negara sibuk memamerkan kekayaan di tengah-tengah kesulitan hidup orang banyak.
Saya lalu membaca lagi tulisan-tulisan Natsir yang paling awal. Seorang penulis prolifik yang melintasi banyak topik pembicaraan. Dia berdebat panjang dengan Soekarno tentang Islam dan politik. Polemiknya dengan seorang penginjil bersoal Nabi Muhammad menampakkan ketajaman pikirannya dan kemampuan dialektikanya yang kuat. Orang-orang minta pendapat padanya, dari soal agama dan politik hingga soal roman. Tak semua memperoleh jawab memang. Ia sadar diri akan batas pengetahuan dan kemampuan keilmuannya. Tanggapannya tentang roman, misalnya, dengan jujur dia akui ketidakmampuannya untuk memberi tanggapan.
Saya juga membaca polemiknya dengan Dr. Satiman mengenai cita-cita mendirikan perguruan tinggi Islam pada akhir tahun 1930an. Mungkin kita bisa mengenang Natsir pada sisi yang ini saja. Tapi, saya sangsi juga, apa pentingnya gagasan-gagasan Natsir tentang itu diulas ketika perguruan-perguruan tinggi Islam kita kini sibuk dengan urusan remeh-temeh birokrasi, soal-soal bagaimana menangguk sebanyak mungkin mahasiswa, dan perkara-perkara bagaimana memperoleh pendapatan sebesar-besarnya sebagai badan usaha? Ya sudahlah!
***
Pada Juni 1938, Natsir menulis artikel bertajuk “Sekolah Tinggi Islam”pada majalah Pedoman Masjarakat (diterbitkan juga di Pandji Islam tahun yang sama). Artikel itu semacam pembuka polemik untuk Satiman yang menulis di majalah yang sama tentang topik yang sama pula. Apa saja gagasan-gagasan Natsir yang perlu kita tilik kembali tentang perguruan tinggi Islam?
Pertama-tama, ialah soal calon mahasiswa. Tamatan sekolah menengah Islam sangat berlimpah, akan tetapi sekolah tinggi Islam sebagai lanjutan dari pendidikan menengah itu tidak ada. Untuk itu, menurut Natsir, sekolah tinggi Islam harus membuka pintu selapang-lapanganya terlebih dahulu bagi tamatan sekolah menengah Islam “yang beratus-ratus itu”, seperti dari Normal Islam, Islamic College, dan Kweekschool Muhammadiyah.
Dalam prosesnya nanti, dapat juga menerima calon mahasiswa dari sekolah menengah umum, tetapi seorang tamatan sekolah menengah Islam tidak dapat didudukkan bersama-sama dengan seorang tamatan H.B.S. atau A.M.S (sekolah menengah umum zaman kolonial) dalam satu kelas untuk menerima pelajaran tinggi yang sama dengan begitu saja terutama untuk jurusan-jurusan yang mempelajari dasar-dasar agama (maksudnya tentulah ilmu-ilmu dalam rumput ushuluddin dan syariah). "Kalau dipaksa-paksakan tentu mungkin! Akan tetapi kalau-kalau Sekolah Tinggi kita itu nanti, mendjadi Sekolah Tinggi 'karikatur', kemari senteng, kesana sendjang," demikian Natsir.
Kedua, ialah soal bahasa pengantar dalam pengajaran. Natsir lebih memilih bahasa Arab sebagai bahasa yang harus dikembangkan sebagai bahasa pengantar keilmuan dalam sekolah tinggi Islam. Natsir menilai bahwa bahasa Arab sesungguhnya sudah menjadi bahasa yang telah lama menjadi bagian dan telah lama pula akrab dengan lidah umat Islam di Indonesia.
Sekalipun Natsir tidak mengesampingkan bahasa-bahasa asing lain semisal bahasa Inggris maupun bahasa Belanda, namun internasionalitas dan nilai bahasa Arab sebagai bahasa ilmiah (bahasa ilmu pengetahuan) juga tidak kalah dengan bahasa asing lain itu. Telah berabad-abad bahasa Arab memerankan diri sebagai bahasa ilmu yang mengglobal/mendunia.