Kota Seribu Pahlawan, Pengusik Kenyamanan Penjajah Belanda di Ranah Minang

Kota Seribu Pahlawan, Pengusik Kenyamanan Penjajah Belanda di Ranah Minang

Ilustrasi (Foto: unique)

Lampiran Gambar

Ilustrasi (Foto: unique)

Padangkita.com - Dalam sejarahnya, sejumlah wilayah di ranah Minang memiliki tokoh pejuang yang dengan gigih berkorban mengangkat senjata untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Sebut saja misalnya Imam Bonjol di Pasaman, Siti Manggopoh di Agam dan sejumlah tokoh pejuang lainnya.

Demikian pula dengan kota Padang, tepatnya Pauh. Dalam catatan Rusli Amran, Pauh merupakan salah satu wilayah yang sangat sulit ditaklukan oleh penjajah karena memiliki memiliki masyarakat bermental pejuang yang tidak suka dijajah.

Tercatat lebih dari 20 kali aksi pemberontakan  dan kerusuhan yang dilakukan orang-orang Pauh yang tidak suka dengan penjajahan Belanda. Dan apa yang dilakukan oleh penduduk Pauh sangat merugikan Belanda kala itu.

Pauh memang luar biasa, daerah ini memang merupakan wilayah yang kecil tetapi Belanda harus beberapa kali mengirimkan pasukan khusus untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di daerah ini.

Dan untuk memanggil pasukan khusus tersebut Belanda harus mengeluarkan dana tambahan dan hal tersebut merupakan pemborosan yang sangat besar.

Hasil bumi dari daerah ini sebenarnya hanya Padi. Namun, yang membuat Pauh menjadi daerah yang sangat penting waktu itu karena daerah ini merupakan perlintasan dagang antara Padang-XIII Kota yang melewati desa Ilalang.

Jika daerah ini tergangu maka pengiriman barang dagangan juga akan terganggu. Dan hal tersebut berdampak pada roda perekonomian.

Rakyat Pauh waktu itu terkenal dengan masyarakat yang peduli dan mau berkorban penuh bagi tanah leluhur mereka. Meski beberapa kali kota tersebut dibakar dan dimusnahkan oleh Belanda namun mereka tetap bersatu dan kembali menyerang pasukan Belanda.

Ada beberapa kali ekspedisi yang dilakukan Belanda untuk menghabisi dan memadamkan pemberontakan serta kerusuhan di Pauh ini diantaranya adalah ekspedisi Gruys dan Verspreet.

"Beberapa kali kota itu habis dirampok dan dibakar, diratakan dengan tanah dan penduduknya diusir ke segala penjuru. Namun mereka tetap bersatu dan menyerang lagi," tulis Rusli Amran dalam bukunya Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang (hal;204-205).

Pimpinan tertinggi VOC di Batavia pun menyebutkan bahwa Sumatara Barat adalah daerah yang paling "rewel" dan paling tidak bisa diamankan. Dan Pauh menjadi momok yang menakutkan bagi penjajah. Mereka amat ditakuti.

Belanda kala itu sempat putus asa dan ingin melepaskan Sumatera Barat dari wilayah jajahan mereka.

Bagi VOC yang mereka cari ketika menancapkan kuku penjajahan adalah mencari keuntungan. Namun pengiriman pasukan-pasukan khusus yang didatangkan dari Batavia merupakan pengeluaran. Dan pengeluaran ini jauh lebih besar dari pemasukan yang
mereka dapat di kota Padang.

Menurut Rusli, jika masyarakat Pauh bergerak maka para pedagang XIII-Kota tidak berani turun dan berdagang ke Padang, akibatnya perputaran uang dan ekonomi tak berjalan.

Alasan Pauh menyerang bentang dan pos-pos pertahanan Belanda disebabkan oleh banyak hal. Penduduk benci karena kepentingan mereka terganggu dan ada juga yang sakit hati atau balas dendam.

"Kerusuhan-kerusuhan juga disebabkan karena pemimpin-pemimpin yang merasa dirugikan atau tidak mendapat apa yang mereka inginkan," tulis Rusli selanjutnya.

Sejarawan Belanda, Velantijn dan van Bazel mencatat bahwa Belanda (VOC) betul-betul kewalahan dalam menghadapi Pauh, daerah kecil tetapi memiliki masyarakat yang memiliki mental besar.

Selanjutnya | halaman 2

Rusli juga menyampaikan argumentasi sejarah yang cukup menarik. Baginya, ketika singgasana Aceh berhasil dijungkirkan di sepanjang pantai barat, terutama Padang, yang kemudian menghangatnya hubungan antara VOC dengan Minangkabau (baca: kerajaan), tapi tidak bagi orang Pauh, Kuranji, dan Koto Tangah.

Mereka terus mengusik, bahkan menganggu stabilitas VOC di kawasan Muaro Batang Arau, yang menjadi bandar dagang.

Di sana loji-loji VOC berdiri gagah, dan semula terasa aman karena Aceh telah disingkirkan, dan ‘hati’ Kerajaan Minangkabau dapat direbut. Pihak Kerajaan Minangkabau luruh pada Belanda, karena merasa berjasa menyingkirkan Aceh yang selama ini menjajah secara ekonomi di pantai barat.

Kenyamanan yang dipandang bakal lama, nyatanya sirna, ketika puluhan kali rakyat Pauh dan Koto Tangah melakukan serangan ke loji Belanda.

Salah satu hari yang paling diingat Rusli adalah 7 Agustus 1669, ketika dua loji VOC yang menjadi simbol kekuasaan Belanda diserang dan dibakar hingga hanya bersisa nama dan cerita. Menurut Rusli, serangan itu merugikan pihak Belanda sebesar 28.000 gulden.

“Seorang yang disebut bernama Berbangso Rajo dari Minangkabau sebagai otak penyerangan,” tulisnya.

Argumentasi lain yang dikemukakannya, penyerangan loji memperlihatkan kehendak rakyat tidak mau kebebasan dagangnya diganggu seperti zaman Aceh sebelumnya.

Dikatakannya, tahun serangan yakni 1669, jatuh di kala VOC mengakui resmi bahwa kedaulatan atas kota-kota yang diduduki Belanda sepanjang pantai Minangkabau dipegang oleh Yang Dipatuan di Pagaruyung.

Baca Juga

2.000 Hektare Lahan Pertanian Rusak, Kementan Siap Kucurkan Rp10 Miliar untuk Rehabilitasi
2.000 Hektare Lahan Pertanian Rusak, Kementan Siap Kucurkan Rp10 Miliar untuk Rehabilitasi
Pimpin Rakor Penanganan Bencana di Sumbar, Ini Poin-poin Penting Instruksi Kepala BNPB
Pimpin Rakor Penanganan Bencana di Sumbar, Ini Poin-poin Penting Instruksi Kepala BNPB
Muhammad Rizal Pemain Persikopa Dikontrak Persija Jakarta, 3 Pemain Menyusul Ikut Trial
Muhammad Rizal Pemain Persikopa Dikontrak Persija Jakarta, 3 Pemain Menyusul Ikut Trial
Gandeng Lantamal II Padang, Pemko Pariaman Siapkan Anggaran Evakuasi Eks KRI Teluk Bone
Gandeng Lantamal II Padang, Pemko Pariaman Siapkan Anggaran Evakuasi Eks KRI Teluk Bone
Terima Ucapan Selamat, Prabowo ke Andre Rosiade: Kita Bangun Sumbar!
Terima Ucapan Selamat, Prabowo ke Andre Rosiade: Kita Bangun Sumbar!
Calon Wali Kota Padang
Calon Wali Kota Padang