PADA 21 Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto secara resmi meluncurkan 80.081 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP/KKMP) di Desa Bentangan, Klaten, Jawa Tengah (Jateng). Acara ini dihadiri oleh kepala desa dan lurah seluruh Indonesia, sebagai upaya mendongkrak ekonomi akar rumput melalui pembiayaan koperasi di desa.
Pemerintah bahkan menegaskan bahwa koperasi ini akan memperpendek rantai pasok, meningkatkan inklusi keuangan, serta membuka lapangan kerja dan kemakmuran desa.
Dalam pada itu, di balik gema ajakan gotong-royong dan kemandirian desa, sejumlah praktisi dan lembaga mengingatkan akan potensi bencana tata kelola.
Lembaga Center of Economics and Law Studies (CELIOS) menyuarakan kekhawatiran: struktur kelembagaan sekadar replikasi top-down tanpa akar budaya koperasi sejati, potensi korupsi masif, dan ancaman opportunity cost dari pendanaan yang bersumber dari Bank Himbara. Bahkan Indeks Pemerintah sempat menyoroti pemaksaan fiskal dan kelemahan prinsip sukarela sebagai batang tubuh koperasi sejati.
Top-Down yang Menyimpang
Menurut Undang-Undang No. 25/1992 tentang Perkoperasian, koperasi mesti berbasis kesadaran dan kehendak sukarela anggota, muncul dari kebutuhan nyata warga. Pergram koperasi tujuannya adalah agar tumbuh secara organik—melalui prinsip otonomi, asasi keanggotaan terbuka dan sukarela, dan pengelolaan oleh anggotanya sendiri
Alih-alih demikian, instruksi dari pusat memaksa desa untuk ‘meratifikasi’ pembentukan koperasi sebelum launching, tanpa mempertimbangkan kesiapan atau kebutuhan lokal. Berbagai pengamat menyebutnya Koperasi ‘by instruction’, bukan ‘by intention’, sebuah ironisasi bahwa koperasi yang dilahirkan bukan dari keinginan rakyat, namun merupakan produk kebijakan beraroma sentralistik.
Pendekatan ini mirip kembali ke rezim Orde Baru yang memperluas Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai alat negara, bukan gerakan rakyat. Ia menghapus roh koperasi sejati, kemandirian, demokratis, dan dibangun dari bawah, seperti yang jauh-jauh hari digaungkan Mohammad Hatta.
Pengikisan Otonomi Desa
UU Desa (No. 6/2014) memberi desa modal demokrasi dan keuangan: Dana Desa digunakan sesuai keputusan Musyawarah Desa (Musdes). Strategi ini memastikan kebijakan pro-rakyat dan mengedepankan partisipasi.
Ironisnya, penerapan Merah Putih menyalahi spirit ini: desa terpaksa mencadangkan anggaran untuk “pembayaran cicilan pinjaman program pusat” yang sifatnya belum sepenuhnya teruji efektivitasnya. Celios juga mencatat bahwa “76 % aparatur desa menolak” karena merasa otonomi fiskalnya dikorbankan.
Maka Musyawarah Desa, yang seharusnya jadi ruang demokrasi ekonomi desa, berubah fungsi menjadi ruang formalitas pelaksanaan kebijakan pusat. Ironis: label koperasi pemberdayaan justru melemahkan peran desa sebagai institusi berdaulat.
Fantastis, tapi Berisiko
Pada dasarnya, suplemen pembiayaan koperasi kabarnya sangat besar, dengan asumsi dana underground economy dan opportunity cost mencapai Rp 4,8 triliun per bulan jika kerentanan pengadaan dan rent-seeking tidak dikendalikan. Total kebutuhan membangun 80 ribu koperasi diperkirakan mencapai Rp 200 triliun–Rp240 triliun, sebuah angka yang mengerikan jika disalahgunakan.
Sementara itu, kondisi dana desa digambarkan sangat terbatas, sekitar Rp 3 triliun untuk kebutuhan lapangan kerja. Ketimpangan ini membuka peluang pergeseran tujuan: daripada digunakan produktif, dana bisa dialihkan ke proyek yang lebih menguntungkan powerful interest group.
Risiko Laten Seluas Negeri
Rekam jejak koperasi di Indonesia tidak bebas dari korupsi. Kasus Puskud Hasanuddin yang menjerat Nurdin Halid antara 1992–1998 adalah contoh korporasi koperasi menjadi lahan penyelewengan dana petani hingga Rp 115,7 miliar.
Di masa kini, ketiadaan transparansi dan pengawasan serta pengadaan top-down memperluas celah: potensi rendahnya fungsi pengawasan internal koperasi lokal, rent-seeking dalam pengadaan, penyelewengan pinjaman, serta pengelolaan dana Himbara bisa terjadi secara masif. CELIOS memprediksi hingga 20 % dari total biaya bisa bocor melalui ekonomi bawah tanah, dan ini bisa diartikan sebagai Rp 4,8 triliun per bulan secara nasional.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan sudah meminta agar program ini memperkuat transparansi dan akuntabilitas seraya memperingatkan potensi korupsi besar sepanjang program ini berjalan.
Urgensi Manajemen Profesional
Tidak hanya masalah dana dan pengawasan, tatakelola koperasi memerlukan manajemen bisnis profesional — modern, berbasis akuntansi, audit, dan strategi usaha yang matang.
Situs resmi menunjukkan tujuan program Merah Putih antara lain: membuka cold storage, klinik desa, apotek, logistik, simpan-pinjam, gerai sembako, dan lain-lain. Pertanyaannya, siapkah desa yang belum memiliki SDM manajerial dan modal awal dalam mengelola unit jasa ini?
Akademisi dari IPB mengingatkan bahwa program ini harus menjadi gerakan rakyat yang bottom-up; bila tidak, ia akan menjadi “pusat distribusi dana tanpa pengelolaan satupun dari komunitas lokal”. Model top-down yang mengabaikan invest in human capital akan menumbuhkan koperasi retorika, ada di nama saja, profit bukan milik anggota, justru zonanya elite lokal atau oligarki mikro.
Tiga Mandat Darurat
Untuk menghindari malapetaka tata kelola dan korupsi struktural, setidaknya diperlukan tiga langkah konkret, Pertama, Transparansi penuh: laporan penggunaan anggaran koperasi online, audit eksternal dan internal, publikasi ke publik desa secara rutin.
Kedua, perlu pendampingan dan pelatihan profesional: harus ada program Capacity Building SDM desa dalam manajemen bisnis, akuntansi, risiko, dan tata kelola. Sementara ketiga, oengawasan eksternal independen: libatkan BPK, auditor publik, serta dorongan penegakan hukum dari Kejaksaan dan KPK.
Intinya, tidak boleh ada ruang untuk praktik gelap seperti rentseeking, mark-up harga, pengadaan fiktif, atau manfaat hanya dinikmati segelintir elite.
Kesimpulannya, Koperasi Merah Putih layak diapresiasi sebagai gagasan—tapi gagasan tidak cukup. Tanpa pemahaman mendalam atas sejarah, prinsip, dan arsitektur koperasi sejati, program ini berpotensi hanya menjadi alat negara berefek mahal: korupsi struktural, pengikisan otonomi desa, pemborosan sumber daya publik, dan kegagalan sistemik.
Baca juga: Koperasi Merah Putih dari Perspektif Ekonomi Politik
Jika pembangunan koperasi Merah Putih ingin bermakna, ia harus kembali ke akar: bukan dibentuk karena instruksi, tapi lahir karena kebutuhan, dikelola oleh warga sendiri, dengan modal solidaritas dan profesionalitas. Pemaksaan kebijakan, meski dengan niat baik, bisa berbalik jadi bencana korupsi. [*]
Penulis: Mohammad Isa Gautama, Kepala Pusat Kajian-Gerakan Bersama Antikorupsi (PK-Gebrak), dan Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Padang (UNP)