Jakarta, Padangkita.com - Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menegaskan komitmen untuk memperkuat pengawasan dan memperjuangkan hak-hak konsumen di ruang digital.
Sikap tersebut disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan pakar hukum perlindungan konsumen Henny Marlyna dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) dan Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Hilmi Adrianto, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (3/11/2025).
Rapat yang dibuka oleh Wakil Ketua Komite III Erni Daryanti, merupakan bagian dari inventarisasi materi Pengawasan Atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan fokus pada transaksi digital dan e-commerce yang semakin pesat berkembang.
Dalam pengantarnya, Erni menyoroti ketidakseimbangan posisi antara pelaku usaha dan konsumen dalam ekonomi digital yang memberikan kemudahan dalam melakukan transaksi jual-beli namun melahirkan ketimpangan bagi hak-hak masyarakat.
“Kemajuan teknologi memang memberikan kemudahan, namun di sisi lain juga melahirkan ketimpangan. Karena itu, kami memandang perlu memperkuat mekanisme perlindungan agar hak-hak masyarakat tetap terjamin,” ujar Erni.
Pada kesempatan tersebut, Anggota DPD RI asal Jawa Barat Agita Nurfianti menyoroti perlindungan bagi penjual dan pelaku usaha kecil yang perlu diperhatikan dalampenyusunan Revisi Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.
“Kasus penipuan bukan hanya dialami konsumen, penjual pun sering menerima transaksi palsu, bahkan foto produk mereka dicuri dan digunakan untuk penipuan. Bagaimana perlindungan bagi pelaku usaha seperti ini?” ujarnya mempertanyakan.
Sementara Anggota DPD RI asal Jawa Tengah Denty Eka Widi Pratiwi menekankan pentingnya edukasi publik dan pengawasan di daerah agar masyarakat paham hak dan kewajiban sebagai konsumen sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
“Minimnya literasi konsumen perlu menjadi perhatian kita bersama, oleh sebab itu konsumen harus diberikan pemahaman mengenai hak dan kewajibannya sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan diharapkan lembaga perlindungan konsumen juga hadir hingga tingkat kabupaten dan kota untuk mengatasi persoalan tersebut,” kata Denty.
Adapun dari Anggota DPD dari Sulawesi Selatan Al Hidayat Samsu menyoroti urgensi pembaruan hukum. Menurutnya, revisi terhadap UU Perlindungan Konsumen harus mempertimbangkan kemajuan teknologi dan sistem perdagangan elektronik.
“UU Perlindungan Konsumen lahir di masa transaksi digital belum berkembang. Dalam revisinya nanti, perlu ditinjau kembali aspek hukum dan mekanisme penyelesaian sengketa online agar relevan dengan perkembangan zaman,” tandasnya.
Akademisi sekaligus praktisi hukum konsumen dari Universitas Indonesia Henny Marlyna memaparkan bahwa pengaduan konsumen di sektor e-commerce meningkat signifikan selama dua tahun terakhir.
Berdasarkan data YLKI dan BPKN, sektor jasa keuangan dan e-commerce menjadi dua bidang yang paling banyak diadukan masyarakat. Jenis sengketa yang dominan meliputi barang tidak sesuai deskripsi, penipuan online, pengembalian dana yang sulit, keterlambatan pengiriman, dan kebocoran data pribadi.
“Banyak konsumen yang justru digugat balik oleh pelaku usaha setelah mengadu. Hal ini menunjukkan lemahnya budaya hukum kita dan perlunya mekanisme imunitas hukum bagi konsumen,” jelas Henny.
Ia juga menyoroti bahwa implementasi Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU No. 27 Tahun 2022) belum sepenuhnya berjalan. Padahal, data pribadi merupakan bagian penting dari hak konsumen atas keamanan dan kenyamanan bertransaksi.
Dari sisi industri, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Hilmi Adrianto menjelaskan bahwa pelaku e-commerce telah menerapkan beragam langkah untuk menjaga kepercayaan konsumen. Di antaranya dengan menyediakan tombol aduan yang mudah diakses, pemblokiran akun pelanggar, edukasi pengguna, dan pengawasan internal terhadap penjual dan produk digital.
“Konsumen yang berdaya akan mampu melindungi dirinya sendiri. Karena itu, edukasi literasi digital menjadi kunci selain regulasi yang adaptif,” ujar Hilmi.
Hilmi juga menekankan perlunya revisi UU Perlindungan Konsumen agar menjadi kerangka hukum adaptif (umbrella regulation) yang selaras dengan perkembangan teknologi, tanpa menambah beban perizinan baru bagi pelaku usaha.
Selain itu, Hilmi mendorong pemerintah memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa daring (Online Dispute Resolution/ODR) serta memperjelas peran pemerintah, platform, dan konsumen dalam ekosistem digital.
Baca juga: Setjen DPD RI Luncurkan Pojok Baca Digital, Terkoneksi dengan Buku Digital Perpusnas
Menutup rapat, Komite III DPD RI menegaskan bahwa penguatan perlindungan konsumen digital adalah bagian dari upaya memperkokoh kesejahteraan masyarakat di tengah arus ekonomi digital. DPD RI akan terus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU Perlindungan Konsumen dan mendorong kolaborasi lintas sektor agar masyarakat Indonesia terlindungi secara adil dan setara di ruang digital. [*/rjl]











