Jakarta, Padangkita.com — Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) melalui Komite III menegaskan pentingnya transformasi lembaga Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) agar lebih adaptif menghadapi tantangan perdagangan berbasis elektronik (e-commerce) yang kian pesat.
Hal tersebut dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komite III DPD RI bersama BPKN dan BPSK Provinsi DKI Jakarta di Gedung DPD RI, Senin (3/11/2025).
Ketua Komite III DPD RI, Filep Wamafma, menilai perubahan pola transaksi masyarakat di dunia digital telah menciptakan ketimpangan posisi antara pelaku usaha dan konsumen.
“Seringkali konsumen hanya dianggap sebagai objek bisnis untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Karena itu, BPKN dan BPSK tidak bisa lagi bekerja dengan pola lama di tengah era transaksi online. Lembaga ini harus segera berinovasi agar mampu memberikan perlindungan nyata bagi seluruh masyarakat Indonesia,” tegas Filep.
Ia menambahkan, diperlukan langkah konkret untuk memperkuat otoritas, regulasi, serta kelembagaan BPKN dan BPSK agar mampu menjawab tantangan perlindungan konsumen digital.
“Undang-Undang Perlindungan Konsumen perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, terutama dalam jual beli online yang kerap menimbulkan ketidaksesuaian antara iklan, produk, dan perjanjian jual beli. DPD RI akan mendorong pemerintah memperkuat tata kelola serta kewenangan kedua lembaga ini,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, anggota DPD RI asal Bangka Belitung, Zuhri Muhammad Syazali menanyakan pandangan BPKN dan BPSK mengenai praktik perlindungan konsumen di negara lain yang bisa menjadi bahan komparasi bagi Indonesia.
“Kita perlu melihat negara mana yang memiliki sistem perlindungan konsumen terbaik agar bisa menjadi acuan dalam memperbaiki mekanisme kita,” katanya.
Sementara itu, Senator asal Kalimantan Timur (Kaltim), Aji Mirni Mawarni mempertanyakan hubungan kelembagaan antara BPKN dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengingat OJK memiliki peran strategis dalam sektor pembiayaan dan leasing. Untuk memaksimalkan kinerja BPSK, dirinya berharap BPSK dapat menjadi bagian dari BPKN.
“Jika selama ini kendala BPSK dalam hal penyelesaian kasus masih terkendala oleh minimnya anggaran, mengapa BPSK tidak dibawah BPKN saja agar dapat dibiayai oleh APBN,” sahut Aji Mirni.
Menanggapi hal tersebut, Ketua BPKN Mufti Mubarok mengungkapkan bahwa BPKN telah melakukan studi banding ke beberapa negara dan menemukan bahwa lembaga serupa di luar negeri mendapatkan kepercayaan yang besar dari negara dalam menjalankan fungsi perlindungan konsumen sedangkan di Indonesia kewenangan BPKN dan BPSK masih terbatas.
“Kami juga sudah mengusulkan agar BPSK berada di bawah koordinasi BPKN dan didanai melalui APBN, bukan lagi APBD, agar operasionalnya lebih efektif,” jelasnya.
Mufti juga menjawab terkait maraknya leasing tidak resmi yang merugikan konsumen.
“OJK seharusnya menjadi pengatur utama lembaga pembiayaan. Saat ini masih banyak lembaga pembiayaan yang belum terdaftar resmi, dan hal ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua BPSK Provinsi DKI Jakarta, Badia H. Siregar, mengungkapkan bahwa keterbatasan kewenangan masih menjadi kendala utama BPSK dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa.
“Sering kali putusan kami dianulir oleh Mahkamah Agung karena dianggap masuk dalam ranah OJK, terutama untuk kasus wanprestasi. Ini menunjukkan perlunya kejelasan batas kewenangan antar lembaga,” pungkasnya.
Baca juga: Komite III DPD RI Tegaskan Komitmen Perkuat Perlindungan dan Hak-hak Konsumen di Era Digital
Melalui RDP ini, Komite III DPD RI menegaskan komitmennya untuk memperkuat sistem perlindungan konsumen di Indonesia agar selaras dengan perkembangan teknologi digital. “Kita tidak boleh menunggu masalah menjadi besar baru bertindak. Konsumen harus dilindungi sejak dari sistem,” tutup Filep Wamafma. [*/rjl]











