Padang, Padangkita.com - Siapa yang tidak kenal dengan Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa dipanggil Buya Hamka? Ulama kelahiran Maninjau, Sumatra Barat, 17 Februari 1908 ini, merupakan seorang sastrawan, penulis, wartawan, politisi, dan sebagainya.
Dia merupakan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia yang pertama, tokoh Muhammadiyah, pejuang kemerdekaan yang telah dinobatkan sebagai pahlawan nasional, dan sebagainya.
Namun, di balik nama besar yang disandangnya, mungkin belum banyak yang tahu bahwa Hamka ternyata juga dikenal sebagai pribadi yang sayang binatang.
Dia memiliki seekor kucing bernama Si Kuning yang setia duduk di pangkuannya ketika menulis, menemani Hamka pergi salat ke masjid, dan seolah ikut bersedih ketika Hamka telah tiada.
Diceritakan Irfan Hamka, anak kelima Buya Hamka, dalam bukunya berjudul "Ayah...", perkenalan pertama Hamka dengan hewan peliharaannya itu pada 1950, ketika dia bersama keluarganya tinggal di Gang Toa Hong II, Kebon Jeruk, Kecamatan Taman Sari, Jakarta.
Pada suatu hari, ketika Hamka salat subuh di rumah bersama istri dan anak-anaknya, dia mendengar suara anak kucing dari arah teras rumahnya. Suara anak kucing yang kehilangan induknya itu sudah terdengar sejak malam.
Selesai salat, Hamka lalu membuka pintu depan rumahnya. Segera dia melihat seekor anak kucing berwarna kuning, berjalan beringsut-ingsut.
Hamka meraih anak kucing yang tampak kotor dan kurus itu, lalu membawanya ke dapur. Dia membersihkan kotoran di kedua mata anak kucing itu, dan memberikannya minuman susu kental merek Cap Nona dicampur air.
Kucing itu dengan lahap meminumnya. Dia lalu tidur di sebuah keset pembersih kaki yang terbuat sabut kelapa. Hamka tampak puas dengan perbuatannya. Kepada anak-anaknya, Hamka menyuruh memberi anak kucing itu susu bila kelaparan lagi.
Sejak saat itu, jadilah kucing tersebut sebagai hewan peliharaan Hamka hingga puluhan tahun kemudian. Si Kuning yang dulu merupakan kucing yang kotor dan lusuh telah berubah menjadi tegap, tangkas, dan bersih.
Di rumah Hamka tidak tampak lagi berkeliaran tikus-tikus. Si kuning tidak pernah lengah dan menangkap bila ada tikus berlari di dekatnya.
Si Kuning juga sangat menurut pada Hamka. Dia selalu menyambut kedatangan Hamka di dekat pintu rumah sekembalinya Hamka dari kantor atau bepergian. Dia menggosok-gosokkan badannya ke kaki Hamka bila telah pulang.
Ketika Hamka pergi ke Amerika selama empat bulan, si Kuning seakan kehilangan tuannya. Dia mengeong terus mencari keberadaan Hamka.
Sewaktu Hamka pindah rumah di Jalan Raden Fatah, Kebayoran Baru, pada 1956, si Kuning juga dibawa serta.
Dia dikurung di dalam sebuah sangkar burung sewaktu dinaikkan ke atas truk, tiba di rumah baru, hingga dua hari setelah Hamka pindahan, dengan tetap dikasih makan dan minum tentunya.
Sore hari, entah siapa yang membuka sangkarnya, si Kuning terlepas. Waktu itu Hamka belum pulang dari bepergian. Si Kuning lalu pergi ke sana ke mari menyusuri bagian rumah, mencari tuannya. Kucing itu menghilang setelah berlari ke halaman.
Alhasil, keluarga Hamka pun sibuk mencarinya. Si Kuning pun akhirnya dinyatakan hilang.
Hingga 15 hari kemudian, Irfan Hamka bersama ibunya, Ummi Hajah Siti Raham Rasul, pergi ke rumah kontrakan mereka dulu di Gang Toa Hong II. Hal itu karena sewaktu pindah mereka belum sempat pamitan dengan tetangga. Perlu naik becak dan mobil angkutan umum agar sampai ke rumah sewa lama mereka itu.
Setelah kembali bersilaturahmi, mereka pun mendapatkan laporan dari tetangga mereka bahwa si Kuning pulang ke bekas rumah sewa mereka. Ia mengeong ke sana ke mari. Setiap rumah tetangga dimasuki. Diberi makan, tidak mau. Setelah dua hari mondar-mandir, kucing itu kembali menghilang seperti mencari keberadaan Hamka.
Baru dua bulan setelah mereka pindah, si Kuning kembali muncul di rumah Hamka di Jalan Raden Fatah. Hal tersebut membuat Hamka dan keluarga bahagia.
Namun, keadaan si Kuning saat kembali sangat memprihatinkan. Badannya kurus dan banyak bekas luka karena mungkin sering berkelahi dengan kucing lain. Telapak kaki si Kuning juga mengelupas dan ada bekas darah kering.
Oleh Hamka, luka-luka di tubuh si Kuning diobati. Dia juga dikasih susu sapi murni. Si Kuning lalu menjilatinya dengan rakus.
Keluarga Hamka sangat heran bagaimana caranya si Kuning pulang ke bekas rumah mereka di Gang Toa Hong II dan muncul kembali di rumah baru mereka di Kebayoran Baru. Padahal, jarak keduanya sekitar 50 kilometer. Namun, mereka senang kucing itu bisa kembali.
Setelah itu, si Kuning kembali menjadi peliharaan kesayangan Hamka. Dia tidur di tempat tidur Hamka. Dia tidur di unjuran kaki Hamka. Bila Hamka sedang menulis karangan, si Kuning bakal duduk di atas kaki Hamka yang duduk bersila. Hamka pun tidak merasa terganggu dengan perilaku kucingnya itu.
Si Kuning juga punya kebiasaan lain. Kucing ini selalu mengikuti Hamka bila pergi salat ke Masjid Agung, baik subuh, magrib, atau Isya. Dia mengikuti Hamka pergi dan pulang. Selama salat, si Kuning menunggu dengan setia di dekat pintu masjid. Banyak jemaah yang terheran kesetiaan kucing itu kepada Hamka.
Waktu Hamka jadi tahanan pemerintahan Soekarno, si Kuning kembali mencari keberadaan tuannya di seluruh ruangan rumah. Dia juga jadi jarang pulang. Setelah pemerintahan Soekarno jatuh, si Kuning kembali bertemu dengan Hamka.
Alkisah, istri pertama Hamka, Hajah Siti Raham Rasul meninggal dunia. Hamka menikah lagi dengan seorang perempuan dari Cirebon bernama Hajah Siti Chadijah. Irfan dan saudara-saudara merestui pernikahan ayah mereka itu dan memanggilnya dengan sebutan Ibu, karena ingin ada yang menemani Hamka di hari-hari tuanya, sedangkan anak-anaknya sudah berumah tangga.
Suatu hari, Hamka pun dihadiahi seekor kucing anggora warna putih jantan oleh tamu yang datang ke rumah mereka. Sejak kehadiran kucing baru itu, si Kuning tidak pernah lagi masuk ke dalam rumah.
Menurut Irfan, tampaknya Ibu tidak membolehkan si Kuning datang karena mungkin takut berkelahi dengan kucing anggora, penghuni baru rumah mereka.
Sehari-hari, si Kuning mendapat makanan dari Zaki dan Hilmi, anak Hamka yang lain, yang masih tinggal di rumah tersebut.
Singkat cerita, kesehatan Hamka menurun, dan dirawat di Rumah Sakit Pertamina Pusat. Dia wafat lalu dimakamkan di pemakaman Tanah Kusir.
Suatu hari, setelah Hamka meninggal dunia, si Kuning tidak pernah muncul lagi di rumah mereka. Ia pergi entah ke mana.
Dan, pada suatu Jumat, Irfan Hamka salat Jumat di Masjid Agung Al-Azhar. Dia duduk di dalam. Di sebelahnya satu saf duduk seorang jemaah subuh, murid ayahnya.
"Tadi sebelum ke sini, saya ziarah ke makam Buya. Di situ saya melihat kucing kuning kesayangan Buya sedang tidur di atas pusara Buya. Saya kenal betul dengan kucing itu yang selalu menunggu Buya di depan pintu masjid," bisik jemaah itu seperti ditirukan Irfan Hamka, sebelum khatib menaiki mimbar.
Karena penasaran, Irfan Hamka selesai Jumat langsung ke Tanah Kusir. Dia mencari keberadaan si Kuning di pusara ayahnya dan di arena pemakaman. Namun, binatang kesayangan Hamka sewaktu hidup itu tidak berhasil ditemukan.
Si Kuning telah menghilang, tidak tahu lagi keberadaannya. Seakan ikut merasakan kesedihan atas kepergian tuannya untuk selamanya.
Baca Juga: Ternyata Buya Hamka Adalah Ulama yang Pertama Kali Gunakan Akronim Nama, Ini Sejarahnya
Si Kuning yang sudah tua, usianya mungkin sudah 25 tahun sejak dipungut Hamka, menurut Irfan, telah menjadi bagian dari sejarah hidup mereka dan Hamka itu sendiri. [fru]