Padang, Padangkita.com – Mungkin tak banyak yang mengenal nama Mardanas Safwan. Padahal ia adalah sosok yang berjasa bagi dunia pendidikan, sejarah kepahlawanan, sejarah Kota Padang dan sejarah Minangkabau.
Mardanas Safwan adalah penulis kisah-kisah kepahlawanan seperti, Tuanku Imam Bonjol, RA. Kartini, Muhammad Husni Thamrin, Sutan Baharuddin II dan lainnya.
Nama lengkapnya adalah Drs. H. Mardanas Safwan, seorang sejarawan yang mencurahkan hidupnya untuk menulis.
Salah seorang anak kandung Mardanas, Prima Idwan Mariza, mengisahkan, bahwa Ayahnya yang sejarawan adalah tulang punggung keluarga.
Ayahnya tersebut, kata Prima, juga sosok inspiratif, yang berjuang dengan caranya sendiri. Mardanas lahir di Payakumbuh, 1 Maret 1938 dan meninggal 14 Februari 2006.
Selama hidupnya, Mardanas telah menunjukkan dedikasinya sebagai penulis biografi para pahlawan. Karya-karyanya berjumlah puluhan, dan sudah diakui oleh salah satu universitas ternama di Belanda.
“Saya ingat waktu itu beliau mendapat penghargaan sebagai 100 Authors Productivity dari Universitas Leiden, Belanda, penghargaan diterima oleh rekannya sesama penulis, Sutrisno Kutoyo,” ungkap Prima, sebagaimana dikutip dari Info Publik.
Mardanas merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Sejak kecil, dia memang ulet membantu kebutuhan hidup keluarganya. Ia berdagang pada masa penjajahan Jepang.
Keuletan sejak kecil itulah, yang membuat penulis Sejarah Kota Padang ini, menjadi seorang peneliti dan juga sejarawan yang sukses dan tekun dalam bekerja dan berkarya. Banyak karya-karya tulisannya yang diakui dunia, salah satunya adalah Sejarah Minangkabau.
“Dari sejarah, saya bisa menghidupi keluarga saya dan mengantarkan anak-anak sesuai cita-citanya. Jika kamu ingin berhasil cintailah pekerjaanmu karena itu sudah menjadi pilihanmu dan tanggung jawabmu. Begitulah pesan beliau kepada anak-anaknya,” kenang Prima.
Tak hanya Sejarah Minangkabau, sosok yang pernah menghiasi wajah pendidikan Indonesia melalui bukunya ini, juga menulis beberapa buku populer lainnya, seperti Teuku Nyak Arif, Sutan Mahmud Baharuddin II, Teuku Umar dan Sejarah Nasional Indonesia yang ditulis bersama Prof. Dr. Nugroho Notosusanto.
Menulis seakan sudah menjadi bagian dari hidup Mardanas Safwan. Ia tak pernah merasa kesulitan dalam menekuni pekerjaannya sebagai peneliti sejarah dan budaya.
Saat melakukan penelitian, ia tak segan untuk tinggal selama beberapa bulan untuk mengenal, dan memahami adat atau budaya suatu daerah.
“Banyak filosofi-filosofi budaya Minangkabau yang tidak diketahui, yang menjadi kesulitan adalah saat menghimpun data atau informasi dari narasumber yang sudah tiada. Namun hal itu tidak mematahkan semangat dan dedikasinya untuk menggali informasi mengenai alam budaya Minangkabau,” kata Prima.
Pada saat bertugas di Kanwil Pendidikan dan Kebuadayaan Sumatra Barat (Sumbar), Mardanas membuat buku pegangan yang menjadi muatan lokal atau mata pelajaran bagi siswa SMP dan SMA se-Sumbar yaitu, Alam Budaya Minangkabau.
“Agar para generasi muda paham dan tahu tentang adat budaya Minangkabau secara benar dan menyeluruh,” ujar Prima.
Mardanas Safwan seakan tak pernah lelah dalam berkarya, setelah pension pun ia masih tetap aktif menulis.
Di mata Prima, ayahnya merupakan sosok disiplin dan tegas, namun, dalam mendidik, tidak pernah berkata atau berbuat kasar kepada anak-anaknya maupun anak didiknya.
"Beliau itu kan dosen, jadi dalam mendidik anak, ia tidak pernah kasar kepada anaknya, ia selalu membebaskan anaknya dalam memilih cita-cita dan tujuan hidupnya," ujar Prima.
Hanya saja, lanjut Prima, Mardanas tidak pernah secara khusus menurunkan bakat menulis kepada anaknya.
“Ayah kami menyerahkan sepenuhnya keinginan anak-anaknya,” ulas Prima.
Prima mengaku sering diajak sang ayah melihat dan terlibat langsung ketika melakukan penelitian. Bahkan ketika menemani istri (Ibu Prima) yang juga seorang peneliti Dra. Izarwisma tentang Budaya Mentawai. Kemudian, meneliti dan menulis buku Sejarah Kota Padang dan buku yang cukup fenomenal Sejarah Minangkabau.
Namun sayang, Prima menyesalkan beberapa karya tulisan ayahnya sudah tidak lagi ada di Indonesia.
"Saya malah menemukan buku Sejarah Minangkabau tersimpan di Universitas Leiden," terangnya.
Baca juga: Sejarawan Gusti Asnan Nilai Padang Punya Banyak Modal Untuk Bangun Museum
"Karya-karya beliau sangat menginspirasi dan memiliki nilai budaya yang tinggi,” ujar Prima. [*/pkt]