Padangkita.com – Sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Sumatera Barat menyoroti rencana Kawasan Ekonomi Khusus Mentawai di Siberut Barat Daya, Sumatera Barat. Program yang diajukan oleh Pemkab Mentawai dan Pemprov Sumatera Barat itu dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat setempat.
Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai Rifai memandang rencana KEK Mentawai yang berbasis korporasi dikhawatirkan tidak akan bermanfaat bagi masyarakat Mentawai. Ia mencontohkan pada pengelolaan hutan di Mentawai yang juga berbasis korporasi yang tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
“Konsep pariwisata yang akan dibangun ini adalah pariwisata modern, tentunya ekslusif. Kalau bersifat ekslusif, tentu akan ada masyarakat yang terpinggirkan,” ujar Rifai dalam diskusi mengenai KEK Mentawai di Kantor YCMM, Jl. Gunung Semeru IV No. 3 Gunung Pangilun, Padang, Selasa (16/01/2018).
Diskusi tersebut turut dihadiri oleh perwakilan Walhi Sumbar, Qbar Padang, Fakultas Perikanan UBH, Yayasan Cinta Maritim, dan lainnya.
Rifai memahami bahwa KEK Mentawai ditujukan pemerintah untuk memajukan Kabupaten Mentawai. Akan tetapi, ia tidak setuju dengan disain yang diajukan program ini yang tidak menguntungkan masyarakat. Semestinya pemerintah memberdayakan masyarakat setempat sebagai pelaku pariwisata.
Dalam investasi apapun, kata Rifai, yang akan mendapatkan keuntungan adalah pelaku. Maka dalam hal ini, yang menjadi pelaku pariwisata adalah korporasi, jadi masyarakat tentu tidak akan diuntungkan.
“Semestinya masyarakat yang diberdayakan jadi pelaku pariwisata. Misalnya, masyarakat punya pulau. Maka masyarakat yang punya pulau itu mestinya diperkuat/dimampukan untuk membuat homestay atau penginapan yang memenuhi standar-standar hiegenis. Harusnya itu yang dilakukan pemda,” ujarnya.
Tidak hanya itu, rencana KEK Mentawai juga dikhawatirkan akan mengganggu kehidupan masyarakat setempat.
Perwakilan WALHI Sumbar Khalid Saifullah mengatakan bahwa berdasarkan draf AMDAL KEK Mentawai lahan masyarakat yang terpakai sebanyak 2.600 hektar akan dibebaskan. Padahal lahan tersebut masyarakat banyak yang digunakan masyarakat untuk perkebunan kelapa, cengkeh, sagu, dan persawahan.
Selain itu, sistem ganti rugi juga sangat merugikan masyarakat karena yang diganti dalam pembebasan itu hanya tanaman, sedangkan lahan tidak.
“Di samping itu, masyarakat Mentawai tampaknya juga tidak mendapat peluang dalam operasional KEK yang eksklusif. Orang-orang yang dapat akses berbisnis di situ tentu orang yang punya modal. Apakah masyarakat sekitar mampu berdaya saing untuk mendapatkan kesempatan untuk berusaha di kawasan itu? Belum tentu,” ujarnya.
Sementara itu, Perwakilan Yayasan Cinta Maritim Yani menilai perencanaan KEK tidak tepat bila dilakukan di Mentawai. Keberadaan KEK akan mengganggu kehidupan masyarakakat di Siberut Selatan dan Barat Daya, apalagi sebelumnya masyarakat sudah terdesak dengan keberadaan Taman Nasional di sana.
“Keberadaan KEK juga akan mengancam mangrove di sana, terutama di Teluk Katurei. Kasusnya akan sama dengan Kawasan Mandeh. Padahal mangrove merupakan tempat pemijahan ikan paling besar,” ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Gubernur Nasrul Abit menyampaikan bahwa pengusulan KEK Mentawai saat ini tinggal menunggu AMDAL dan rekomendasi dari gubernur Sumbar.
Menurut Wagub, investor sudah menyelesaikan 16 dari 18 persyaratan yang ada. Ia pun mengharapkan pengusulan KEK Mentawai bisa berjalan sebagaiman mestinya.