Padang, Padangkita.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mendesak Kapolda Sumatra Barat (Sumbar) mengambil alih dua kasus dugaan extrajudicial killing atau pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Agam.
Sebab, Polres Agam sebagai pihak yang mengusut kasus tersebut sekaligus adalah terlapor. Sehingga, LBH meragukan pengusutan dua kasus tersebut akan benar-benar berjalan secara objektif.
Kasus pertama adalah Ganti Akmal, 34 tahun, warga Cumateh, Jorong V, Nagari Persiapan Sungai Jariang, Kecamatan Sungai Jariang, Kabupaten Agam. Mayat, Ganti dipulangkan oleh Polres Agam pada tanggal 9 Maret 2022 sekira pukul 22.00 WIB ke rumah keluarga.
Kondisi jasad Ganti waktu itu dalam keadaan muka dipenuhi luka lebam, hidung dan telinga mengeluarkan darah, kepala bagian belakang sudah melunak, pergelangan tangan kanan patah dan beberapa luka gores di bagian tubuh lainnya.
Kematian yang janggal ini langsung dilaporkan keluarga ke Polres Agam dalam Laporan Polisi Nomor: STTL/55.a/III/2022-Spkt Res Agam tertanggal 10 Maret 2022.
Diketahui, Ganti pada tanggal 9 Maret 2022 ditangkap sebagai tersangka oleh Polres Agam dalam dugaan tindak pidana eksploitasi anak. Ganti ditangkap di sebuah pondok di kebun kelapa sawit yang jauh dari permukiman warga sebagaimana surat penangkapan Nomor : SP.Kap/08/III/2022/Reskrim yang diserahkan kepada keluarga.
Sebelum itu, LBH juga mencatat, kasus Syafrizal, 34 tahun alias Poron yang merupakan narapidana yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan IIB Lubuk Basung dan ditangkap kembali oleh Polres Agam pada tanggal 9 Januari 2022.
Kemudian, mayat Poron dipulangkan ke rumah keluarga pada 10 Januari 2022 dalam keadaan luka pada bagian dahi, bagian kepala terdapat 3 jahitan, di bagian pinggang memar, di kaki terdapat luka tembakan, jari-jari tangan luka-luka.
Ketika jenazah Poron dimandikan, keluarga melihat ada darah yang mengalir dari telinga korban. Kematian ini juga telah dilaporkan keluarga kepada Polres Agam dalam Laporan Polisi Nomor: STTL/13.a/I/2022/Spkt Res Agam tertanggal 15 Januari 2022.
Mayat Poron dipulangkan ke rumah keluarga dengan keterangan gantung diri oleh Puskesmas.
“Kematian karena gantung diri ini patut dipertanyakan kebenarannya. Rentang kejadian tidak mengidentifikasi korban benar gantung diri karena secara kasat mata dan bukti-bukti foto saat kejadian korban tergantung di pintu sel yang tidak terlalu tinggi, dan jika orang berdiri dari tempat gantungan tali masih bisa menyentuh lantai,” ungkap Decthree Ranti Putri, Advokat Publik LBH Padang lewat keterangan tertulis yang dikirim ke Padangkita.com, Selasa (15/4/2022).
Keberadaan korban saat ditemukan sedang terduduk di lantai dengan tali melingkar di leher dan juga ditemukan banyak memar dan luka-luka di sekujur tubuh korban.
“Terlebih visum yang dilakukan Puskesmas hanya pemeriksaan luar saja dan diduga dilakukan bukan oleh ahlinya sehingga kami masih meragukan sebab kematian korban,” ulas Decthree.
Dua kasus dugaan penyiksaan yang mengakibatkan kematian yang berujung pada extrajudicial killing ini, ditangani oleh Polres Agam.
“Terlapor juga berada di lingkup Polres Agam serta pada kasus Ganti, laporan dan terlapor adalah Polres Agam yang mana akan berdampak pada ketidakjelasan keberpihakan kepolisian dalam menangani kasus ini, kami meragukan integritas serta independensi proses penegakan hukum,” tegas Decthree.
Sejak awal penanganan, kata dia, Polres Agam tidak kunjung melakukan autopsi terhadap korban sampai sekarang dengan berbagai alasan yang tidak berdasar. Polisi, lanjut Decthree, terkesan ogah-ogahan untuk mencari kebenaran materil dari kematian korban.
Seyogianya, jelas Decthree, penghukuman dijatuhkan oleh pengadilan, tidak dibenarkan kepolisian melakukan tindakan penghukuman sekecil apapun.
Larangan untuk melakukan penyiksaan juga diatur oleh UU No. 5/1998 tentang Pengesahan Convention Against Tortureand Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) yang telah diratifikasi melalui UU No. 12/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Bahkan, lanjut Decthree, Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia secara tegas menempatkan hak untuk tidak disiksa sebagai bagian dari HAM yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun (non-derogable rights).
“Kondisi ini menyebabkan keluarga korban dan pendamping kehilangan kepercayaan atas proses hukum yang sedang berjalan saat ini dan meragukan profesionalitas, integritas serta independensi proses penegakan hukum,” kata Decthree.
Oleh sebab itu, kata dia, LBH Padang mendesak kedua kasus ini diambil alih oleh Polda Sumbar demi menjamin keadilan bagi keluarga korban.
“Kasus penyiksaan yang mengakibatkan kematian atau extrajudicial killing ini penting untuk ditindak tegas untuk menciptakan sistem penegakan hukum yang tidak sewenang-wenang dan dengan tidak melanggar HAM,” tegas Decthree.
Lebih jauh, ia menyebutkan, seringkali kasus-kasus penyiksaan ini mandeg di kepolisian sehingga pelaku bebas berkeliaran dan mengulangi lagi di kemudian hari. Hal ini berdampak hebat pada menurunnya kepercayaan rakyat pada institusi kepolisian sehingga bisa terjadi delegitimasi penegakan hukum di tengah-tengah masyarakat.
Baca juga: Lapor ke Komnas HAM, Pihak Keluarga Ungkap Kejanggalan Tewasnya Napi di Lapas Lubuk Basung
“Oleh sebab itu, kami mendesak Kapolda Sumbar tegas dalam menangani kasus ini,” tegas Decthree. [*/pkt]